Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dibasuh Cinta

Bumi tiba-tiba saja menebarkan aroma permusuhan, langit menghimpit sesak menekanku dari segala arah, matahari seolah menikamku dengan kegelapan, dunia sekelilingku menjadi padam dendam, seolah hidupku yang akan padam. Aku tak bisa memandang buku-buku yang biasa tercecer dalam ruang sekretariatku, hanya kungan-kunang yang bisa kulihat berkeliling di atas kepalaku dengan asyiknya, seolah-olah menyoraki atas keadaanku yang kacau. Lututku menjadi lemas tak berdaya, badanku menjadi panas tak karuan, dadaku sesak seperti halnya pengidap asma kronis, hampir saja aku terjatuh, tapi lantunan musik pas band menyadarkanku, aku pun segera istighfar dalam hati lalu duduk untuk menguasai kondisi bandanku, lalu terdengar ucapan miftah dari arah bawahku yang sayup, akhirnya aku duduk kembali.

“ Maafkan aku edu, aku tak menyangka kejadiannya akan seperti ini, aku hanya mengikuti kata hatiku, ucap miftah”
Aku terdiam, menantikan cerita Miftah selanjutnya, tapi sebetulnya hanya untuk menguasai dan mengontrol emosiku, jangan sampai terjadi sesuatu antara aku dan Miftah.
“ tak apa, sebetulnya kamu belum tahu kalau aku sudah berniat sejak sebulan yang lalu akan mundur dari hubunganku dengan Dezah” balasku, seolah tak mau terlihat sebagai orang yang baru saja kalah dari pertempuran caturku dengan miftah, kala hubunganku dengan miftah baik-baik saja.
Aku mengelak, ya aku mengelak kalau aku benar benar sudah dinjak ubun-ubunku oleh Miftah atas kejadian ini. Aku mengelak seolah-olah aku sudah tidak kuat lagi melanjutkan hubunganku dengan Dezah. Miftah benar-benar tidak mengetahui kalau aku begitu menyayangi Dezah melebihi diriku sendiri, hingga apapun aku lakukan untuk Dezah, hingga hidupku hancur-hancuran demi mendapatkan Dezah. Dikala dezah membutuhkan satu kesenangan dan kebetulan aku tak ada uang sepeserpun, aku tak pernah sayang untuk menggadaikan handphone, komputer dan jam tanganku demi memenuhi tuntutan Dezah. Yang lebih parah adalah koleksi novel dan buku-buku pilsaatku aku jual semua hingga tak tersisa satupun, mungkin Cuma buku daras yang tersisa demi menyenangkan seorang Dezah
“ Aku pun sempat bingung ketika dia memintaku menikahinya”, lanjut Miftah.
Cerita lanjutan miftah ibarat gledek di tengah hari yang terik, dadaku semakin sesak, hatiku semakin panas, jantungku memompa darah dengan kencangnya naik ke ubun-ubun, kunang-kunang semakin ramai bersorak di atas kepalaku. Aku pejamkan mata untuk sekedar menguasai keadaanku.
“ Astagfirullah…begitu culasnya si Miftah, orang yang begitu kuhargai dan sering aku tolong, tega menikamku saat ku tidur”. gumamku dalam hati. Tetapi gigi grahamku dan bibirku tetap memerlihatkan kalau aku tidak mengalami apa-apa..
“ ga masalah, bukankah aku sudah berniat memutuskannya, kenapa mesti sakit hati”, sanggahku dalam hati, sambil menasihati diri sendiri.
Aku tak percaya kalau si Dezah yang mengawalinya, aku sangat tahu bagaimana seorang Dezah yang begitu alim bisa meminta si Miftah untuk menikahinya, bukankah si Dezah sudah berjanji akan menungguku sampai aku mendapat pekerjaan yang layak, adalah seberondong skeptisismeku atas pernyataan si miftah.
Adzan terdengar mendayu-dayu, diganggu raungan motor dua tak yang tak mau kalah, aku tersadar, kulihat jam dinding menunjukan pukul 18.10. tak terasa, dua jam sudah aku luangkan waktuku untuk si Miftah bangsat sahahabatku, hanya untuk mendengarkan apologinya tentang hubungannya dengan Dezah, wanita yang sangat kucintai.
“ Aku akan terima apapun perlakuanmu Du”. Ucap Miftah
“ aku mengakui kalau aku salah, tapi aku pun tidak bisa menolak permintaannya, karena aku kasihan melihat tatapan matanya yang kosong, Dia benar-benar ingin menikah denganku”.ucapnya lagi.
Suhu tubuhku terasa semakin panas, darahku semakin menaiki ubun-ubun, tapi kunang-kunang segera kuusir agar tak mengganggu kondisi tubuhku.
“ Bukk…plakk dasar culasII’, aku mengeluarkan kekesalanku, tanganku melayang di pipinya. Dia terhuyung ke pinggir sambil meraba pinggiran bibirnya yang berdarah.
“ Sebagai permintaan maafku Aku akan terima apapun yang kau lakukan kepadaku”. Miftah seolah mengulang kata-katanya.
Aku tersadar dari lamunanku, aku begitu kesal, dongkol, sakit hati. Seandainya aku bisa meninjunya seperti apa yang kulamunkan tadi mungkin aku akan sedikit puas. Tapi sayang kenyataannya si Miftah tak pernah benar-benar minta maaf padaku. Seolah-olah dia tak bersalah apapun.
“Percuma aku berlama-lama disini, kalau hanya untuk menerima kepedihan’. Bisiku dalam hati.

Aku berdiri, dan tanpa sepatah kata pun aku beranjak keluar dari sekretariat untuk pulang, karena aku sudah tak kuat lagi menerima kenyataan pedih yang harus ku telan sendirian. Aku tak ingat sedikitpun kalau aku tidak shalat maghrib. Sesampainya dikamar, aku buka diariku yang kutulis seminggu yang lalu:

Bandung, 11 Agustus 2004

11 Agustus 2004, tidak kurang tidak lebih menjelang hari ulang tahunmu bulan depan, Dezah, aku sudah menyimpan kado cantik untukmu, walaupun masih lama tapi aku sangat meemperhatikanmu Dezah. Dezah, begitu sempurna bagiku, campuran wanita modern dan sholehah, tak pernah kau tinggalkan shalat dhuhamu terlebih shalat wajib lima waktu. Kaupun tak pernah tinggalkan aktifitas mendamping anak-anak jalanan dan kasus perempuan bermasalah. Tetapi kaupun tak pernah tinggalkan aktifitas nonton bioskon, makan fastfood dan seafood juga kebiasaan yang ku anggap kurang baik yaitu shoping.

Suatu saat aku pernah menjual komputerku hanya untuk memenuhi nafsu belanjamu, kau kemanakan uang hasil kerjamu, kau kemanakan uang kiriman orangtuamu, tapi aku tidak berani menanyakan itu, aku terlampau takut dan sayang padamu, aku hanya menuruti, kalau kau senang aku ikut bahagia.
Kadang aku tidak mengerti ada semacam ironi atau barangkali split kepribadian dalam dirimu dezah, pada satu sisi kau begitu sosialis dan seolah seorang yang sederhana disaat berada di tengah-tengah anak jalanan tapi di sisi lain, sisi konsumtifmu tidak mencerminkan kalau kau seorang pekerja sosial. Aku benar-benar tak mengerti. Tapi aku tidak banyak berfikir ke arah sana. Yang jelas aku sangat cinta kamu Dezah maharani, itu lah nama lengkapmu yang sangat indah ya Dezah Maharani, seorang aktifis pekerja sosial.

Dezah…Hiasan kamarmu adalah setumpuk buku-buku mengenai kehidupan mereka, traficking, dan kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) serta sejumalah tentang pilsafat perempuan dan feminisme ditambah biografi wanita-wanita sukses sepanjang Abad, mulai dari Ratu Balqis, Faatima Azzahra, Margaret Teacher, Kartini, Aquino dan lain-lain.

Aku kagum padamu, kau begitu tegar, hidup sendirian di kota besar tanpa sanak keluarga. Keluargamu hanya mereka; anak jalanan, ibu rumah tangga korban KDRT dan korban traficking. Tapi tak ketinggalan sepatu-sepatu bagus, baju-baju mewah dan kerudung-kerudung yang modis hasil dari kegiatan shopingmu. Rakmupun dipenuhi film dokumenter dan laga, ya hanya itu. Aku belum pernah menemukan sebuah buku atau novel tentang percintaan atau compact disc percintaan. Keseharianmupun, kau tak pernah mengeluh tentang hidup dan masalahmu baik masalah pekerjaan, kuliah, keluarga ataupun tentang hubungan kita. Kita pun tidak pernah membicarakannya mau mengarah kemana hubungaN kita. Kau begitui enjoy dengan aktifitasmu dan akumenganggap karena aku masih kuliah dan belum mempunyai pekerjaan tetap.
11 september bulan depan kau wisuda, bertepatan pula dengan hari ulang tahunmu yang ke 27, walaupun hendak mendekati kepala tiga tapi kau tak pernah berkeluh kesah, kau begitu menikmati aktifitasmu. Aku sudah menyiapkan kejutan untukmu. Sebuah mukena cantik dan sebuah buku dari Maxim Gorki “IBU”, kau pasti akan menyukainya dan aku akan mendapatkan senyuman darimu yang akan membuatku begitu tenang hidup di dunia ini.

#
badanku diselimuti kehangatan, sinar mentari menerobos memaksa masuk melalui sela-sela mataku, akupun membuka mata.
“ya Allah aku melewatkan shalat maghrib, isya dan shalat shubuhku”.gumamku.
Kulihat jam didnding, jarum jam pendek pas berada pada angka 9.00. Aku hendak beranjak, tapi tiba-tibak langit seolah-olah mendekatiku, udara disekitarnya terasa hampa, kepalaku begitu berat, badanku tak kuat untuk berdiri, aku teringat pada cerita-cerita miftah yang sejak dua hari lalu resmi jadian dengan Dezah, Sesaat aku berfikir, aku jatuh tertidur lagi.
#
“ sudikah kau maafkan aku Edu”
“ Maafkan aku Edu”
“ Edu aku tak kuasa menahan penderitaan ini, maafkan aku .from Dezah”
3 pesan pendek beruntun kuterima, dari nomor yang sama. Aku baca yang terkhir ternyata dari Dezahl. Kenapa Dezah tidak menggunakan handphone-nya sendiri, sekilas aku bertanya pada diriku. yang pertama dikirimnya tengah malam, yang kedua dikirim pagi hari dan yang ketiga dikirimnya sesaat sebelum aku bangun, pukul 11.18. Tapi aku tak tertarik dengan pesannya. Aku beranjak bangun. Kendatipun hari ini sangat berat hidupku tapi aku harus melanjutkan aktifitasku. pukul 13.00 ada perbaikan mata kuliah dan jam 15.30 ada rapat senat untuk persiapan OSPEK.
#
Aku menggeliat, jam wakerku berdering tepat pukul 02.00 pagi. Akupun beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi. Setelah selesai mengambil Air wudlu, baju kuganti dengan pakaian koko dan sarung serta kusemprotkan wewangian yang membuatku tenang.
Dalam shalat malamku aku “menjerit” sejadinya, tak terasa air mata mengalir cukup deras, sengaja aku tak menghapusnya agar aku benar-benar bisa menyesal dan bisa bangkit lagi akan hidupku yang sedang terpuruk. Hal ini sebagai tanda penyesalanku atas apa yang aku lakukan dan tidak aku laksanakan. Sudah satu minggu ini aku meninggalkan ibadahku yang paling inti, kalaupun aku shalat itu karena aku malu oleh kawan-kawanku yang memang agamis. Sebelumnya aku tak pernah sampai lupa waktu barang satu waktupun dalam urusan ibadah ini.
Setelah selesai shalat malam, hatiku terasa plong terbebas dari beban yang selama ini kurasakan, rembulan di atas sana tersenyum seolah bergembira atas kebengkitanku. Lampu neonpun ikut berbinar mencerahkan alam pikiranku. Lalu aku ambil diari:

Bandung, 27 agustus 2007

Tiga SMSmu tak pernah aku balas. Aku anggap itu datang dari dunia mimpiku yang telah mendahului hidup yang sekarang sedang koma, masa laluku. Kalaupun aku menganggapnya nyata aku pikir itu hanyalah sms nyasar yang tak punya kepentingan terhadapku, jadi maafkan aku, walaupun aku tahu
Tetapi SMS itu telah aku baca dan selalu menggelitik empeduku dengan penafsiran-penafsiran. Walaupun singkat dan padat hanya kata “maaf” tapi aku tergoda untuk memberikannya makna dengan berbagai ragam dan dalih persepsi. Pesan pendek ini adalah kata-kata penuh makna yang sedikit tercemar oleh ruang-ruang kosong, memisahkan persahabatan yang menghasilkan..
Dengan penuh harap, mudah-mudahan aku masih berada dalam genggaman-Nya dan termasuk hamba-Nya yang shaleh.‘mudah-mudahan apa yang diharapkan dan sedikit usaha seperti yang kau ataupun aku lakukan setiap detik dalam menulis kata yang kurang bermakna ini, aku dalam keadaan setengah sadar. Aku masih berharap bahwa kalimat-kalimat yang aku goreskan dalam lempengan kertas ini , bisa menjadi pengakhir keberhentian sekaligus peng-awal kreativitas yang menyebar ke seluruh ruang kosong yang pernah aku sebutkan bahkan hampa sekalipun, untuk menghadirkan makna yang kuanggap hilang, membersihkan darah hasil goresan belati hatimu di tubuhku. Juga menyembuhkan yang aku anggap itu sebagai luka.
Sms itu membuatku menafsirkan bahwa perasaan bagiku adalah mutlak tetapi apa yang dirasakan dan kondisi yang menyertainya selalu menghasilkan kerelatifan. Ibarat dua orang yang berada dalam ruang yang sama mutlak akan merasakannya secara berbeda, begitupun kau dan aku, selama kita bersama pasti akan merasakan hal yang berbeda dan aku yakin kau tahu hal itu…Semoga. Karena itulah aku rangkaikan hurup-hurup berserak ini untuk sekedar atau lebih, kau tahu apa yang kita rasakan bersama, lebih khusus setelah orang menganggap telah terjadi hal yang luar biasa pada masing-masing kita, yang orang menganggap seperti cerita dalam sinetron, begitu dramatis dan tidak disangka-sangka.
Ini adalah tahun ketiga aku mengucapkan semoga apa yang kau cita-citakan bisa kau raih, semoga panjang umur selamat ulang tahun yang ke-27 umur matang bagi seorang perempuan dan mudah-mudahan aku bisa bertindak dewasa seperti yang selalu kau katakan bahwa aku lelaki dewasa.
Mengenai SMS itu aku ingin mengatakan bahwa apa yang kau lakukan adalah hak patenmu, orang lain begitupun aku tak berhak untuk melarang-larangmu berbuat seperti apa yang kau lakukan, apalagi tidak jelas bagiku, barangkali kau sudah tertutup kini untuk bercerita apa adanya kepadaku. Kita harus menyadari bahwa apapun yang kita lakukan, hal-hal yang sosial sekalipun niscaya bukan untuk orang lain tapi untuk diri kita sendiri.. , kata kata ikhlasmu dan hanyalah targetan ideal yang aku yakini tidak akan pernah sesuai dengan kenyataaan apa yang kau rasakan, kau hanya manusia biasa seperti halnya aku, bukan Rabi’ah al-adawiah, bukan seorang sufi. Jangan pernah mengklaim bahwa kita telah mengajar, memberikan sumbangan atau bahkan berzakat sekalipun terhadap orang orang si sekitarmu Hal itu kita lakukan untuk kita sendiri, untuk menjaga eksistensi kita dihadapan makhluk lainnya, walupun secara materi kita telah memberikan sesuatu buat orang lain. Bila perasaan itu telah hinggap pada sanubari dan pikiranmu, niscaya kau telah jatuh pada rawa-rawa kesombongan.
Begitupun ketika kau yakin bahwa kau akan masuk surga. Karena kau tidak hanya beribadah kepadan Penggenggammu tapi juga berbakti kepada sesama. Dengan begitu kau yakin bahwa kau adalah makhluk tersaleh, itu…mmh, aku pikir adalah keterjebakan kesalehan, masuk surga atau tidak itu hanyalah kehendak Allah, tetapi apapun yang selalu kau ucap dan lakukan apabila kau yakin itu benar, lakukan saja tak perlu berpikir dan berasa dengan penilaian orang lain, toh tak akan berpengaruh terhadap nilai yang telah kau perbuat, setidaknya benar untuk dirimu sendiri, begitupun dengan aku, keyakinanku bahwa apa yang kulakukan adalah benar untuk diriku sendiri. Yaa begitulah hal itu semua menjadi lain bahkan berbalik bila beres dengan selain diri kita.. Hal-hal yang kita lakukan menjadi multi penafsiran. Apa yang menjadi keyakinan benarmu belum tentu menjadi benar menurut selain diri kita, menurut orang-orang yang ada di sekeliling kita; samping, belakang, depanmu. Teruskan saja…
Membaca SMSmu rasa keterusteranganku sudah enggan untuk berbicara, tapi ego mendorongku, kalau aku harus menyampaikan balasannya lewat-ocehan berceceeran tak berurut. Apa yang kau lakukan sekali lagi sama sekali tidak ada hubungan denganku, kenapa kau harus minta maaf, apa lagi dengan permintaan maaf yang tak jelas bagiku. Tapi satu catatan hanya Tuhan yang Maha Tahu, dengan segala apa yang telah diciptakannya. Manusia diciptakan diberi jalannya masing-masing. Begitupun dengan aku dan kau. Kau diberi jalan yang berbeda untuk melakukan perjanjian dengan Penggenggammu. Mungkin dan barang kali aku menganggap bahwa segala sesuatu selalu ada zakatnya, selalu ada karmanya, selau ada balasannya disitulah barangkali letak keadilan Tuhan. Aku sama sekali tidak menuntut sesuatu padamu—kalau memang kau merasa telah memperlakukanku tidak adil—dan aku tak pernah mendoakanmu agar kau merasakan hal yang sama. Itu adalah karma untukmu, keadilan Tuhan. Aku yakin ketika seseorang berbuat sesuatu terhadap orang lain, baik atau buruk akan mendapatkan balasan apa yang telah kita perbuat. Baik akan mendapatkan pahala dan sebaliknya, walaupun tidak mengikuti hukum logika, tapi sebagai makhluk berpeerasa kau akan merasakan yang seratus delapanpuluh derajat berbalikan dengan apa yang kau inginkan. Bahkan tidak sesuai dengan keadaan yang seharusnya. Tidakkah ini rahasia bumi pendiam, diluar kehendak kita…?. Di situlah barangkali kalu manusia itu mulia, karena diberikan kebebasan untuk melakukan perbuatan apapun dengan konsekwensi logis yang meyertainya.
Luka yang kuanggap talah kau goreskan adalah balasan untukku, tak perlu mimta maaf. Bahkan perlakuan dan perkataanmu telah aku jadikan ptuah untuk membimbingku tetap survive hidup, bukankah seperti apa yang scopeunhauer dan nitzhcze bilang bahwa untuk menjadi manusia sempurna orang harus melalui dulu kepedihan, penderitaan rasa cemburu dan lain-lain. Perkataan dan perlakuanmu sungguh menjadi pengalaman hidup yang tak terukur nilainya buatku. tak perlu minta maaf. Dengan permintaan maafmu justeru aku menganggap kau telah berbuat salah kepadaku, apa yang telah kau perbuat padaku? salah apa kau padaku?jangan minta maaf dengan ketidak jelasan. Mungkin itu lah salahmu. Kau tak pernah menjelaskan apa salahmu padaku.
Jika seseorang meminta maaf pada seorang lainnya, pastilah ia telah melakukan suatu kesalahan, begitupun aku menganggap kepadamu seperti itu. Barangkali hanya kondisi saja yang telah memaksaku terluka dengan sikapmu, walaupun aku tahu tidak baik menyalahkan kondisi. Tapi untuk terakhirkali kalau kau memang benar-benar telah melakukan kesalahan kepadaku yang membuatku terluka dan atasnya kau meminta maaf kepadaku, maka aku tak berhak memberimu maaf, maaf itu kepunyaan Tuhan yang selalu melindungi hatiku, maka meminta maaflah kepada-Nya dan minatalah agar kau tak pernah melukai siapapun. Yang kutahu, kesalahanmu hanya satu, kau tak pernah berterus terang kepadaku…, tapi tetap saja kau tak layak minta maaf kepadaku, hatiku sudah terlalu pedih, bahkan sampai hari inipun kau tak pernah ingin tahu kabarku, aku pedih Dezah….@

Aku baca kembali catatanku pada diari yang baru saja kutulis, aku berkomentar dalam hati;
“ sedikit munafik..”
#
Seperti baru terlahir kembali, kendatipun ada jeda tidurku semalam, aku bisa bangun shubuh, tidak seperti yang telah kulakukan dua minggu yang telah lewat, hidupku benar-benar tak karuan. Setelah selesai mandi aku shalat shubuh dan melakukan aktifitas bacaku.
Tapi sesaat akan kuambil sebuah novel, pas fhoto Dezah melirikku dengan tajamnya, aku terhenyak, dan kubalikan figuranya agar tak terlihat. Melintas dalam fikiranku kalau fhoto Dezah akan aku lempar ke keranjang sampah, tapi itu hanya luapan emosiku, tak mungkin aku membuangnya kekeranjang sampah. Mana mungkin wanita yang begitu kucintai dan kuhormati aku sia-siakan meskipun telah menyakitiku.
Aku ambil novelku yang belum selesai aku baca dua minggu yang lalu.
“ Ya Allah Engkaulah yang Maha membolak-balikan hati manusia, begitupun aku, bila saja Dezah bukan jodohku, maka jauhkanlah dari hatiku, tapi bila Dezah adalah jodohku maka jangan siksa aku seperti ini” bisiku dalam hati sebelum ku buka lembaran buku yang akan ku baca.
Tak terasa, halaman demi halaman telah ku lahap habis, cerpen “mantera pejinak ular” karya Mas Kuntowijoyo tinggal satu bab lagi. Tak terasa aku telah melahapnya hingga 150 halaman, aku seleseikan bacaanku samapi akhir bab kedua terakhir.
“ panas juga nih kepala” gumamku.
Cerpen ku simpan dalam tempatnya semula dan kurebakan diriku.
#
“ Edu aku tak kuat lagi mempertahankan hubungan kita, kau tak pernah memperjelas mau ke mana hubungan kita” cerita Dezah
“ Bukankah selama ini kau yang sibuk dengan aktifitasmus Sendiri?. Bantahku.
“ Dulu aku pernah cerita kalau aku serius sama kamu, aku ingin hubungan kita berlanjut sampai kita nikah’ lanjutku.
“ ya memang..”lanjut Dezah
“ tapi……….”bantah Dezah tak berlanjut.
Aku dengar ketukan pintu.
“ Tok…tok…tok”
“ Assalamu’alaiku..”
Aku terbangun dari mimpi, ketukan pintu terbawa ke alam mimpiku ternyata suara keatukan pintuku.
“Ya Allah aku tertidur” Gumamku
Sambil menggeliat aku jawab:
“ ‘Alaikumsalam” jawabku.
“ Suara Dezah” bisiku dalam hati.
Aku beranjak dari tempat tidur , lalu kubuka pintu kamarku.
Ternyata benar, Dezah berdiri di hadapanku sambil membawa kantong kardus. Dengan sikap dingin aku kembali ke tempat tidurku, karena kantuku masih terasa. Desah mengikutiku dari belakang dan duduk disampingku.
“ Kenapa kau tak terus terang dan bebrbicara langsung padaku?” tanyaku.
“ Sudah! Aku tak mau bercerita masalah itu” sanggah desah
“ Jangan kau bebani aku dengan rentetan pertanyaan-pertanyaanmu yang akan menyudutkan aku” Pinta Dezah.
“ ya, tapi kau tak pernah mengerti perasaanku” desakku
“ Sudah kubilang aku tak ingin membahas hal ini” pinta dezah
“ Aku akan menikah” tegas Dezah
“ ini barang-barangmu” lanjuatnya
Dezah mengeluarkan barang-barang yang kuberikan padanya selama dua tahun lebih bersama; Buku-buku, kaset, bross, gantungan kunci dan kerudung.
Pada saat mengeluarkan barang-barangnya itu, aku tak sanggup mengeluarkan kata-kata lagi, aku terdiam beku, mukaku terasa menebal, jantungku seolah berhenti berdetak, dunia sekelilingku merunduk seolah tak mau kena getah atas penderitaanku Pikiranku ingin menerawang atas seluruh penderitaanku, tapi aku tak mampu, aku seperti mayat hidup.
“ ini barang-barangmu” kata Dezah, seolah menyadarkanku dari kematian
“ Aku tak mau kalau barang-barangmu mengurangi manfaat dalam hidupku” lanjutnya.
Aku tak berkata apapun, aku benar-benar terhenyak atas keputusan dia yang solah-olah mendadak bagiku, sebab ini adalah pertemuan pertamaku sejak Dezah resmi berhubungan di si Miftah.

“ Aku pulang sekarang” sambil beranjak dan membereskan tas ranselnya.
Aku belum bergeming, aku diam seribu kata, aku hanya merasakan kehancuran dan sakitnya hatiku ibarat suatu luka yang dibalut oleh campuran cairan cabai dan tembakau, sakitnya tak tertahankan.
Handphoneku berbunyi tiga kali berturut-turut, menandakan 3 pesan pendek baru saja kuterima. Sambil menahan sakitku, aku buka, layar memperlihatkan pengirimnya; Sweetlove.

“Dezah’. gumamku dalam hati, sambil kuletakan kembali handphoneku di pinggir bantal.
“ Ya Allah Kuatkan hatiku, genggamlah hatiku agar aku selalu dalam pengawasanmu” harapku, sambil kupejamkan mata.***


Post a Comment for "Dibasuh Cinta"