Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Meneropong Paradigma Komunikasi Kesehatan

Dunia modern membuat pemisahan yang konfrontatif antara akal dan hati, antara yang empiris dan idealis. Para filsuf menyebut pemisahan ini dengan istilah dualistik, baik dalam ilmu atau dalam praktik kehidupan. Lebih jauh, pemisahan ini mendorong pada apa yang kita kenal dengan dehumanisasi, yaitu suatu penolakan terhadap peran kehendak dan kebebasan dari manusia, karena manusia diibaratkan sebagai mesin yang berjalan secara mekanik. Dalam dunia kedokteran, efek dari pandangan dualistik ini mengakibatkan pada mekanisasi penyakit yang muncul pada tubuh manusia. Penyakit dianggap sebagai sesuatu hal yang empiris belaka. Arogansi dari cara pandang ini menganggap bahwa suatu penyakit dapat disembuhkan dengan analisa ilmiah semata. Namun pada kenyataannya tidak semua penyakit dapat disembuhkan secara ilmiah kedokteran, bahkan sama sekali ada suatu penyakit yang tidak dapat dianalisa secara ilmiah. Permasalahan ini muncul karena tidak tepatnya paradigma dalam komunikasi kesehatan, yaitu paradigma komunikasi kesehatan sains modern. Paradigma ini memandang manusia sebagai objek sehingga analisa yang dilakukan lebih cenderung kaku, memilah-milah, tidak utuh. Pada sisi lain berkembang paradigma komunikasi kesehatan yang dapat menutupi kekurangan paradigma komunikasi kesehatan modern. Paradigma ini melahirkan persepsi yang utuh terhadap manusia sebagai subjek dan objek sekaligus dari kesehatan, sehingga dapat menutupi kekurangan yang dimiliki oleh paradigma komunikasi kesehatan modern.


Key Word: Filsafat manusia, Paradigma, Komunikasi, Kesehatan, Holistik, Ilmiah/ modern, pengobatan alternatif, pengobatan modern, agama. 

Pendahuluan

Tulisan ini saya awali dari sebuah cerita yang dikisahkan oleh seorang muballigh Sunda kenamaan (almarhum Al-Ghazali) sekitar tahun 1990-an dalam salah satu ceramahnya yang sampai hari ini masih terngiang-ngiang di telinga penulis. Kisah ini merupakan penggalan dari ceramahnya tersebut. Ia menceritakan tentang seorang Amerika yang menderita Insomnia Kronis, menahun. Berbagai obat ia coba, berbagai dokter ia datangi, berbagai terapi ia jalani, termasuk konsultasi kepada para psikolog dan psikiater, namun usahanya tidak menghasilkan perkembangan yang signifikan. Namun dengan usaha dan mencari informasi, akhirnya ia mendapatkan kabar bahwa obat ampuh yang dapat menyembuhkan penyakitnya tersebut adalah di dunia Timur, khususnya Indonesia, lebih jauh obat ampuh tersebut adalah “Pil Sholat”. Alhasil karena ingin terbebas dari penyakitnya tersebut sang Amerika pun pergi ke Indonesia, untuk mencari apa yang dinamakan dengan “Pil Sholat”. Ketika berada di pesawat, kebetulan ia duduk berdampingan dengan orang Indonesia yang baru saja menyelesaikan studinya di Amerika. Dari hasil obrolannya, ia cukup banyak mendapatkan informasi tentang “Pil Sholat”. Yang dimaksud dengan obat ampuh tersebut ternyata bukan sejenis Pil, namun ia berupa gerakan-gerakan dalam ibadah seorang muslim, orang yang menganut agama Islam. Begitupun orang Indonesia tersebut membeberkan secara panjang lebar bagaimana sholat sangat berpengaruh dalam keteraturan hidup seseorang, tidak hanya menyembuhkan penyakit insomnia yang diakibatkan oleh kegelisahan karena menjauh dari Tuhan. Tentu penderita insomnia tersebut tidak percaya begitu saja dengan penjelasan-penjelasan orang Indonesia tersebut. Namun dengan penjelasan yang cukup rasional tentang bagaimana Sholat secara fisik dan dari sudut pandang kedokteran dijelaskan olehnya barulah ia sadar, bahwa selama ini ia telah lama meninggalkan agama dan cenderung atheis, ia tidak pernah sadar bahwa dirinya ada yang menguasai dan menggerakan dirinya. Ia bahkan telah lama menentang eksistensi Tuhan sebagai penciptanya. Ia selama ini telah berbuat Dzalim terhadap sisi lain dari bagian tubunya, yaitu bahwa dia tidak pernah sadar bahwa ada jiwa/ruh/ nafs yang juga memerlukan masukan gizi rohani sebagai makanannya.

Penggalan kisah di atas memberikan satu gambaran bahwa terdapat field of experience dan field of reference yang cukup berbeda jauh bahkan mungkin bertentangan antara yang menganut agama dengan yang tidak. Misalnya ketika dijelaskan banyak manfaat tentang sholat, terlebih kepada orang yang tidak pernah mengenal agama, bahkan cenderung menjauhinya. Namun setelah dijelaskan secara ilmiah bahwa aktifitas ibadah ini secara ilmiah kedokteran banyak memberikan manfaat yang sangat berarti barulah sang Amerika tersebut faham dan mengerti. Perbedaan field of experience dan field of reference akan berpengaruh bagaimana ia mempersepsi suatu penyakit. Lebih jauh dalam lingkup yang general, persepsi lahir tidak hanya dari field of experience dan field of reference namun juga lahir dari perbedaan sudut pandang, atau dalam istilah filsafat dikenal dengan ‘Paradigma’. Paradigma berkaitan dengan pandangan seseorang tentang dunianya (worldview), paradigma atau wolrdview lahir dari filsafat hidupnya. Paradigma berkembang sebagai hasil sintesa dalam kesadaran manusia terhadap informasi-informasi yang diperoleh baik dari pengalaman ataupun dari penelitian.

Bagaimana cara ia memandang dirinya, bagaimana cara ia memandang dunianya, bagaimana cara mendapatkan pengetahuan menurut sudut pandangnya. Dari sinilah paradigma lahir yang akan melahirkan sikap hidup dalam dirinya, bagaimana cara ia memperlakukan tubuhnya, bagaimana cara ia memberikan masukan-masukan gizi terhadap tubuhnya.

Dalam pandangan penulis, berbicara komunikasi kesehatan, khususnya yang berhubungan dengan komunikasi kesehatan manusia, akan erat kaitannya dengan Filsafat manusia. Dari filsafat ini, dimana salah satu termnya adalah epistemology akan lahir paradigma mengenai manusia, sehingga akan muncul berbagai pertanyaan-pertanyaan filsafati, seperti siapakah manusia itu, dari mana asal manusia, bagaimana manusia ada dan lain sebagainya. Sebagai suatu pertanyaan filsafati tentu membutuhkan jawaban yang filsafati juga. Dari penjelasan tentang falsafah manusia akan lahir paradigma mengenai perlakukan terhadap manusia itu sendiri, khususnya di dunia kesehatan. Dalam artikel ini penulis akan mencoba mengurai sebatas kemampuan penulis tentang pandangan dan filsafat tentang manusia yang pada ujung-ujungnya akan melahirkan berbagai paradigma dalam menyikapi tubuh khususnya yang berkenaan dengan komunikasi kesehatan. Berangkat dari berbagai kejadian dan fenomena berbagai penyakit yang kadang tidak dapat dideteksi dan diteliti secara ilmiah penulis akan mencoba menganalisisnya. Penulis menawarkan dua paradigma yang pertama adalah paradigma sains modern atau paradigma Newton-Cartesian dan yang kedua adalah paradigma (sains) holistik yang sedikit banyak penulis rujuk dari ilmu keislaman.

Cara Pandang terhadap Dunia
Seseorang berprilaku, bersikap, bekerja, melakukan kebaikan, dan bagaimana ia berperilaku, bagaimana cara ia bersikap atau menyikapi sesuatu, bagaimana ia melakukan kebaikan atau sebaliknya, ditentukan oleh cara pandangnya terhadap dunia ini (worldview). Seperti halnya diceritakan dalam kisah di atas bagaimana misalnya orang Amerika yang memiliki pendidikan murni Barat menyikapi penyakit yang dideritanya kemudian bagaimana pendapat Orang Indonesia yang kebetulan seorang muslim dalam menanggapi penyakit yang diderita oleh orang Amerika tersebut. Dalam dunia keilmuan, orang yang memiliki pandangan bahwa tubuh tidak lebih dari seonggok daging atau sama dengan benda lainnya disebut sebagai materialis. 

Menurut kaum materialis hakikat dari tubuh adalah tak lebih dari materi belaka. Dengan demikian wajar bila ia tidak memiliki kepercayaan terhadap sesuatu yang menciptakan dirinya. Ia tidak menyadari ada ruang-ruang kosong yang tidak pernah ia isi karena ia tidak pernah mengetahuinya. Cara pandang ini berimbas pada sikap dan perilaku yang mengantarkannya pada kondisi dimana dirinya menjadi kering, termasuk berpengaruh terhadap bagaimana ia memperlakukan tubuhnya, berpengaruh terhadap bagaimana ia menyikapi penyakit yang dideritanya. Karena system pengetahuannya memberikan wawasan bahwa jika sakit (misalnya Insomnia yang dideritanya) maka ia hanya perlu memberikan rangsangan dengan obat agar tubuhnya bisa tidur. Pemberian rangsangan terhadap tubuhnya ini merupakan wawasan dunia kedokteran modern yang harus erba ilmiah. Namun setelah diberi obat tidur tidak juga menyelesaikan masalah, penyakitnya masih tetap bertahan dalam tubuhnya. Sang Amerika tersebut mencari dan mencari lagi dokter-dokter hebat, psikolog, dan psikiater, namun karena system pengetahuannya yang memandang bahwa tubuh ini tak lebih dari seonggok daging yang sama dengan benda lainnya, berjalan mekanik, maka penyelesaian masalah para psikolog dan psikiater Barat pun tidak menyelesaikan masalah penyakitnya. Mereka, baik para dokter Barat, psikolog, ataupun psikiater tidak pernah tahu atau tidak pernah percaya bahwa ada bagian dari tubuhnya yang memerlukan perhatian dan makanan lain, yaitu jiwa/ ruh/ nafs yang dikenal dalam dunia Timur khususnya Islam.

Dalam istilah filsafat, cara pandang ini dikenal dengan istilah paradigma sains atau paradigma ilmiah. Ia memandang dunia dari kacamata ilmiah yang memiliki ciri-ciri hipotetik, deduktif dan terukur. Cara pandang ini melihat sesuatu harus serba terukur, terindra dan general. Bila tidak memenuhi syarat dan kriteria tersebut maka dipandang tidak ilmiah dan ukuran ilmiah inilah yang menjadi patokan kebenaran bagi mereka. Tentu saja cara pandang ini tidak hanya dimiliki oleh penganut materialis, tapi juga kaum rasionalisme dan empiricism yang akan kita kenal dengan istilah dualistik. Inilah sumbangan dari ilmu yang dilahirkan pada babak modern. Dunia terbelah menjadi dua, yang ilmiah dan tidak ilmiah, akal dan hati, yang ilmiah adalah yang masuk akal. Mereka memaknai dunia sebagaimana difahami oleh akalnya baik secara rasional maupun empiris. Dan inilah keterbatasan dari ilmu. Suatu ilmu (sains Barat) tentang manusia seperti dalam kedokteran membatasai diri pada penyelidikan terhadap gejala empiris dan penggunaan metode yang bersifat observasional atau eksperimental. 

Filsafat Manusia; langkah awal memahami paradigma
Pandangan di atas merupakan pandangan dominan yang terjadi di Barat. Cara pandang di atas yang dalam istilah akademis dikenal dengan ‘paradigma sains/ilmiah’ lahir pada babak modern sejak Rene Descartes memberikan pernyataan bahwa Manusia ada karena berfikir (cogito ergo sum/ aku berfikir maka aku ada). Descartes ingin mendobrak dominasi gereja abad pertengahan terhadap ilmu yang menyesatkan. Namun dalam kenyataannya, pemikiran Descartes yang melahirkan sains modern telah pula menyesatkan manusia baru. 

Dalam babakan sejarah lahirnya berbagai ilmu, filsafat merupakan awal lahirnya sebuah ilmu. Para filsuf memikirkan (berfilsafat) tentang alam maka lahirlah tentang alam, para filsuf berfilsafat mengenai kehidupan sosial maka lahirlah sosiologi, para filsuf berfilsafat tentang manusia maka lahirlah psikologi, para filsuf berfilsafat tentang tubuh manusia maka lahirlah biologi, kemudian ilmu kedokteran dan lain-lain.

Namun tentu saja dalam perjalanannya ilmu tersebut tidak lahir begitu saja, karena berbenturan dengan berbagai pemikiran. Ketika para filsuf membuat satu pemikiran (filsafati) dengan suatu pernyataan (thesis) kemudian disanggah (antithesis) oleh filsuf lainnya, dari hasil sanggahan lahirlah maka muncul pernyataan baru (sintesa). Begitupun dalam dunia keilmuan. Dunia keilmuan yang lahir dari berbagai paradigma Filsafat dalam perjalanan sejarahnya merupakan hasil dari berbagai pertarungan pemikiran dan paradigma. 



Menurut Tafsir (Rosda:2001), sejarah filsafat merupakan pertarungan antara akal dan hati. Begitupun filsafat tentang manusia merupakan hasil dari pertarungan pemikiran filsafati. Filsafat manusia menurut Abidin, dengan metodenya yang sintesis dapat mencapai visi menyeluruh dan rasional tentang hakikat manusia (Abidin:2006:7). Filsafat manusia menurutnya berkenaan dengan totalitas dan keragaman aspek-aspek yang terdapat pada manusia secara universal. Filsafat manusia adalah gambaran menyeluruh atau synopsis tentang realitas manusia. Berbeda dengan ilmu tentang manusia, filsafat manusia tidak menyoroti aspek-aspek tertentu saja dari gejala dan kejadian manusia secara terbatas. Aspek-aspek seperti kerohanian dan kejasmanian, kebebasan dan determinisme, keilahian dan keduniawian, serta dimensi-dimensi seperti sosialitas dan individualitas, kesejarahan dan kebudayaan, kebahasaan dan simbolisme semuanya ditempatkan dalam kesatuan gejala dan kejadian manusia, yang kemudian disoroti secara integral oleh filsafat manusia (Abidin: 2006:10).

Dalam Filsafat Manusia terdapat aliran-aliran yang kemudian melahirkan ilmu yang pragmentaris. Disini penulis akan mengemukakan aliran-aliran dalam filsafat manusia yang kemudian dapat mempengaruhi paradigma dalam dunia keilmuan termasuk dalam dunia kedokteran yang selama ini berkembang. 

1. Paradigma sains modern
Paradigma sains modern lahir didunia Barat. Aliran-aliran ini pada dasarnya memiliki kunci yang sama dalam memahami manusia, yakni bahwa manusia adalah sesuatu hal yang dapat diobjektifikasi dan diobservasi, baik itu aliran materialism yang, idealism yang lebih menekankan akal dan pikiran serta aliran dualism yang dilahirkan oleh bapak filsuf modern Descartes.

a. Materialism 
Seperti telah disinggung di atas, materialism adalah satu faham dalam filsafat yang meyakini bahwa esensi kenyataan, termasuk di dalamnya adalah esensi manusia adalah material, benda atau fisik belaka. Ciri utama dari kenyataan fisik atau material adalah bahwa ia menempati ruang dan waktu, memiliki keluasan, dan bersifat objektif. Karena menempati ruang dan waktu serta berdifat objektif, maka ia bisa diukur, dikuantifikasi, diobservasi. Para materialis percaya bahwa tidak ada kekuatan apapun yang berdifat spiritual di balik gejala atau peristiwa yang bersifat material. Jika ada peristiwa atau gejala yang masih belum diketahui, atau belum dipecahkan oleh manusia, hal itu bukan berarti ada kekuatan yang bersifat spiritual di belakang peristiwa tersebut, melainkan karena pengetahuan dan akal kita saja yang belum dapat memahaminya. Metafor yang digunakan oleh materialism untuk menjelaskan gerak atau perilaku adalah mesin, dan benda-benda lain yang bersifat mekanis. Ilmu-ilmu alam seperti fisika, biologi, kimia, kedokteran adalah suatu bentuk dari materialism (Ibid:2006:27).

2. Idealisme
Aliran ini menyatakan bahwa kenyataan sejati adalah bersifat spiritual. Para idealis percaya bahwa ada kekuatan atau kenyataan spiritual di belakang setiap penampakan atau kejadian. Esensi dari kenyataan spiritual ini adalah berfikir. Karena kekuatan atau kenyataan spiritual tidak bisa diukur atau dijelaskan berdasarkan pada pengamatan empiris, maka kita hanya bisa menggunakan metaphor-metafor kesadaran manusia. Misalnya kekuatan spiritual dianggap bersifat rasional, berkehendal, berperasaan, kreatif. Pelopor idealism modern adalah Hegel, hegel memberikan gambaran bahwa yang menggerakan alam ini adalah Roh termasuk badan manusia pada hakikatnya adalah roh.

3. Dualisme
Aliran ini menyatakan bahwa kenyataan sejati bersifat fisik dan sipiritual. Aliran ini menolak pandangan dua aliran di atas bahwa yang menjadi esensi dari manusia adalah materi atau esensi dari manusia adalah roh. Menurutnya kenyataan sejati manusia adalah perpaduan antara materi dan roh.

Dalam perjalanan sejarah, paradigma sains modern muncul saat Descartes melahirkan paradigma dualistic sekitar tahun 1500-an. Dunia kedokteran beserta paradigma yang mengantarkannya didominasi oleh pemikiran Descartes yang dualistic, memilah-milah. Filsafat Descartes menyimpulkan bahwa res cogitan dan res extensa merupakan dua hal yang terpisah. Bahkan menurutnya, jiwa secara keseluruhan independen dari tubuh. Keterpilahan (dualisme) tersebut merupakan konsekuensi logis dari dalil filsafatnya “cogito ergo sum”. Pada sisi lain, paham dualisme ini menimbulkan pola penalaran yang serba dikotomis atau logika biner yang mengakibatkan para saintis, filosof juga masyarakat kebanyakan termasuk di dalamnya masyarakat yang berprofesi sebagai dokter/ petugas kesehatan akan sulit untuk memahami sesuatu jika lepas dari pola penalaran seperti ini. Contohnya dalam dunia kedokteran, seorang dokter akan terjebak dan terpaku pada peralatan canggih modern dalam mendeteksi berbagai penyakit, mereka akan terjebak pada bipolarisasi antara yang terdeteksi dan tidak terdeteksi. Ketika ada penyakit yang diluar kuasa kedokteran, semisal orang yang terkena santet, atau belum ditemukannya obat untuk menyembuhkan aids, maka dunia kesehatan tidak mampu membebaskan penderita dari penyakit yang diluar hasil deteksi peralatan canggih modern. Karena petugas kesehatan terkungkung oleh paradigma sains modern yang positivistic, dokterpun tidak mampu menolong pasien yang terkena penyakit-penyakit baru. Bagaimana menangani kasus penyakit kawat misalnya yang akhir-akhir ini sering ditampilkan di televisi yang menjangkit seorang wanita. Begitupun walaupun Penyakit aids bisa dideteksi, namun ilmu farmasi modern belum bisa menemukan obat untuk penyembuhan penyakit tersebut, yang bisa dilakukan oleh dokter hanyalah memperlambat kematian penderita.

Selain Descartes, Filsuf yang memiliki kontribusi dalam melahirkan sains modern adalah Isaac Newton yang dikenal sebagai Bapak Fisika Modern awal. Pandangan fisikanya diperlakukan sebagai seluruh pijakan bangunan ilmu pengetahuan ilmiah modern. Karenanya, mengkaji fisika Newtonian dalam memahami peradaban modern tidak bisa diabaikan begitu saja. Membicarakan Newton, artinya kita membicarakan sintesis ilmiah yang dilakukannya dari berbagai sumber pandangan sains sebelumnya. Newton berhasil menyintesiskan berbagai pandangan sains pendahulunya dengan apik dan sistematis, sehingga bangunan fisikanya menjadi utuh. Dengan melakukan sintesis dari berbagai sumber tersebut, mengkomplitkan penciptaan sains-baru (new science) yang menandai era baru sains: sains modern. Newton, seperti yang disebutkan oleh Husain Heriyanto, menggabungkan mimpi visioner rasionalisme Descartes dan visi empirisme Bacon, agar dapat ditransformasikan ke dalam kehidupan nyata, melalui peletakan dasar-dasar mekanika (http://ahmadsamantho.wordpress.com). Ia memadukan Copernicus, Kepler, dan Galileo di bawah asumsi kosmologis Descartesian yang mekanistik, atomistik, deterministik, linear, dan serba kuantitatif, dan pada saat yang sama, ia menerapkan metode eksperimental-induktif Baconian (Heriyanto: 2003: 40). Hardiman menyebutnya sebagai logika jika-maka, jika ‘a’ berarti bukan ‘b’, jika masuk angin maka akan demam. Padahal belum tentu orang yang masuk angin akan demam, bisa jadi hanya kembung.

Dunia modern yang dilahirkan dari logika Cartesian-newtonian menganggap bahwa secara ontologis terdapat pemisahan antara kesadaran dengan materi, sehingga alam dianggap tidak memiliki kesadaran. Ia menafikan jejak kreatif Tuhan pada alam semesta. Padahal jejak Tuhan pada alam semesta merupakan prinsip dasar pengetahuan tradisional secara umum, dan prinsip religiusitas, secara khusus. Bahkan dapat dianggap sebagai jejak holistik/ menyeluruh dan utuh.

Sehingga dalam pandangan Newtonian-Cartesian, manusia yang merupakan bagian dari kosmos dianggap sebagai benda atau objek belaka yang tidak memiliki keterhubungan dengan hal-hal yang ruhaniah. Maka tidak mengherankan jika kedokteran modern berasumsi bahwa manusia sebagai benda dapat diotak-atik menurut ukuran kedokteran ilmiah, tubuh manusia sejauh ukuran materi dapat dikuasai oleh ilmu kedokteran. Fenomena banyaknya kasus malpraktek, atau suatu penyakit yang tidak bisa dideteksi oleh peralatan canggih modern, padahal misalnya, seorang pasien merasakan sakitnya yang luar biasa, seperti kasus wanita yang memiliki kawat disekujur tubuhnya, atau meningkatnya penyakit stroke pada orang muda yang tidak bisa diprediksikan sebelumnya, belum ditemukannya obat HIV/ aids, anak yang lahir dengan kondisi yang sangat mengkhawatirkan atau penyakit-penyakit lainnya yang tidak bisa diprediksi oleh kedokteran ilmiah merupakan bukti bahwa paradigma komunikasi kesehatan yang dibangun kedokteran modern tidak mampu menjangkau, mempersepsi dan memaknai semua permasalahan kesehatan secara utuh, holistik. Selama penyakit tersebut tidak bisa diobservasi, maka tidaklah bisa diketahui dan dipahami. Dengan demikian maka nyatalah bahwa unsur lain atas timbulnya penyakit telah direduksi menjadi objek materi belaka dalam tubuh manusia. Dunia kedokteran dalam paradigma komunikasi kesehatan modern tidak mampu mendeteksi penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh penyakit hati yang selama ini kita kenal dalam agama, atau hal-hal diluar jangkauan ilmiah seperti santet misalnya. 

2. Paradigma sains Holistik
Persoalan dunia kesehatan yang tidak seluruhnya dapat diselesaikan dengan cara ilmiah dan bahkan memunculkan persoalan baru dengan kasus-kasus yang muncul di dunia kesehatan, seperti malpraktek atau HIV/ Aids yang belum ada obatnya, manusia kawat yang tidak bisa disembuhkan dan dideteksi secara ilmiah, dan barangkali masih banyak lagi kasus yang tidak kita ketahui. Dengan begitu banyaknya persoalan yang menghadang dalam dunia kesehatan tersebut dan kelirunya cara pandang dunia kesehatan terhadap manusia dan penyakit maka dituntut sebuah pandangan dunia yang cair, fleksibel dan menyeluruh agar realitas itu dapat difahami. Cara pandang itu dikenal dengan paradigma komunikasi kesehatan holistic, suatu cara pandang dalam memaknai, mempersepsi manusia secara utuh dan komprehensif, mencoba untuk menggali hakikat manusia dalam berbagai aspeknya.

Pandangan dunia baru (worldview) yang ditawarkan adalah Paradigma sains Holistik sebagai cara pandang yang menyeluruh dalam mempersepsi realitas, cara pandang untuk mengisi kekosongan pemaknaan dan paradigma dalam memahami realitas dan sains setelah sains modern tidak mampu memahami manusia secara utuh menyeluruh. Dengan munculnya paradigma sains holistik, diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap dunia kesehatan khususnya di Indonesia.

Karena bagaimanapun paradigma sains modern telah memunculkan banyak permasalahan dalam kehidupan, persoalan yang tidak bisa dijawab dan diselesaikan dengan teknologi modern. Manusia zaman modern seperti dikatakan oleh Syari’ati, ibarat mesin yang digerakan secara mekanik, Ia telah diatur oleh jadwal yang sedemikian rupa untuk mencapi tujuan hidupnya, hasrat untuk menguasai, menguasai ilmu, menguasai benda, menguasai manusia lainnya. Seperti halnya sebuah robot, yang digerakan oleh remote control, ia pun demikian, Hidup berdasarkan jadwal-jadwal yang telah dibuatnya, bertemu dengan manusia lainnya bukan dengan tujuan membangun hubungan sosial, namun membangun hubungan kerja yang mengikat dan formal, lagi-lagi untuk mencapai tujuan menguasai dunia, dengan menguasai orang-orang. Begitupun tidak sedikit dokter yang dipengaruhi oleh paradigma sains modern atau kehidupan modern, mendirikan klinik, Rumah Sakit, bekerja di rumah sakit, atau mengobati pasien bukan didasari oleh misi kemanusiaan, menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan keahliannya, namun demi mencapai sebuah tujuan, menguasai, menguasai dunianya dengan uang yang ia dapatkan dari bayaran para pasien. Sehingga tidak heran misalnya, karena berangkat dari hasrat menguasai dan mendapatkan sejumlah uang, factor-faktor kemanusiaan begitu menjadi terabaikan. Sehingga wajar jika muncul kasus Prita yang melaporkan Rumah Sakitnya tempat berobat ke media. Atau banyak kasus penolakan pasien yang ditolak oleh Rumah Sakit tertentu karena tidak memiliki biaya. Petugas Rumah Sakit tidak memandang bahwa tugas mulia seorang dokter adalah menyelesaikan permasalahan kemanusiaan menyangkut kesehatan manusia. Inilah pengaruh paradigma sains modern terhadap dunia kedokteran, selain tidak humanis dalam memperlakukan manusia juga berfokus pada sejumlah biaya yang menjadi tujuannya dalam bekerja. Menolong dengan senyuman dan rasa keberagamaan yang dalam dilandasi dengan keimanan merupakan factor yang signifikan dalam paradigma sains holistik.

Bahkan munculnya alat komunikasi canggih yang menjadikan manusia intens berkomunikasi, tidak meningkatkan kualitas komunikasi dan saling pemahaman dan kepercayaan, justeru mendorong kelompok-kelompok untuk menyalurkan hasrat dominasi dan eksploitasi mereka. Cara pandang yang dianutpun tidak memungkinkan relasi yang humanis karena pandangan dunia mereka bersifat mekanistik, atomistik, dualistik, oposisi biner, reifikasi dan materialistik.

Oleh karena itu manusia modern benar-benar membutuhkan sebuah pandangan dunia baru untuk dapat menanggulangi krisis-krisis dan problem-problem kemanusiaan, pemikiran, persepsi dan nilai yang dianut selama tiga abad ini harus diubah secara mendasar. (Heriyanto;2002;10). Fritjof Capra mengajukan pemikiran bahwa kita memerlukan revolusi budaya dalam pengertian sejati. Keberlangsungan seluruh peradaban kita akan sepenuhnya tergantung apakah manusia mampu mengadakan perubahan atau tidak. Manusia memerlukan sebuah paradigma baru, visi baru tentang realitas, perubahan yang mendasar pada pemikiran, persepsi, dan nilai yang kita anut selama ini.(Ibid;12).

Sebagai contoh, dalam dunia kesehatan, bagaimana seorang dokter memperlakukan pasiennya akan bersifat komunikasi linier, dimana pasien hanya dijadikan objek, bahkan dokter bersifat “etnosentrik” menganggap bahwa mereka tidak membutuhkan keahlian lain kecuali mendiagnosis penyakit, member obat dan melakukan tindakan medis untuk menyembuhkan penyakit. (Mulyana;2008;236). Intinya bahwa keahlian dalam bidang kedokteran modern mereka anggap sudah sangat cukup untuk mendiagnosis dan menyembuhkan pasien. Mereka tidak pernah menyangka bahwa ada prediksi-prediksi non ilmiah yang terjadi pada pasien. Semisal dimensi psikologis yang memerlukan sentuhan khusus seorang perawat atau dokter yang dapat mendorong dan membantu terhadap proses kesembuhan pasien. Atau malah lebih ekstrem lagi ada satu penyakit yang sama sekali tidak mampu didiagnosis secara kedokteran. Lantas bagaimana sikap seorang dokter? Disinilah paradigma komunikasi kesehatan berperan dalam memandang penyakit atau penderitanya.

Lantas bagaimana paradigma sains holistik memandang manusia dan bagaimana memandang penyakit?

Manusia dalam pandangan sains holistik tidak memilah-milah antara yang materi dan spiritual, antara subjek dan objek, antara jasmani dan rohani, antara yang imanen dan transenden, antara yang kelihatan dan yang ghaib. Dalam pandangan sains holistik ia merupakan satu kesatuan. Dalam memandang manusia, Paradigma sains holistik memandang bahwa manusia adalah satu kesatuan antara jasmani dan rohani, antara yang materi dan immateri. Didalam tubuh manusia terdapat yang imanen dan sekaligus yang transenden. Paradigma sains Holistik tidak memandang bahwa manusia berdimensi tunggal, namun memandang manusia sebagai makhluk yang unik. Ia tidak mendikotomikan antara yang materi dan spiritual. Spiritualitas atau bahkan agama yang bercirikan keimanan merupakan salah satu term dalam paradigma komunikasi kesehatan holistik.

Dalam terminology Al-Qur’an, manusia diistilahkan dengan Basyar dan insan. Basyar merujuk pada sifat materi manusia sedangkan kata insan merujuk pada sifat totalitas manusia, yaitu jiwa dan raga, (Shihab;1996;280) antara yang materi dan immateri, antara yang imanen dan transenden beserta seluruh potensi yang menyertainya. Iyarat yang merujuk pada yang spiritual, immaterial atau transenden ditemukan antara lain dalam uraian tentang sifat-sifat manusia, dan dari uraian tentang fitrah, nafs, qalb, dan ruh yang menghiasi makhluk manusia (Shihab; 1996;283). Fitrah dapat diartikan sebagai suatu potensi manusia yang selalu ingin berjalan lurus, agamis, selalu melakukan yang baik-baik, menolong orang, bersikap kritis, senang menerima nikmat. Sedangkan nafs adalah sisi terdalam manusia yang yang berpotensi baik dan buruk. Nafs juga mengandung pengertian sebagai tempat yang mewadahi gagasan dan kemauan dalam diri manusia. Sedangkan Qolb yang berarti “bolak-balik” merupakan wadah dari pengajaran, kasih saying, takut, dan keimanan. Sedangkan Imam Al-Ghazali menyebutnya sebagai alat berfikir, yaitu antara rasio dan hati, Rasio merupakan alat dalam logika berfikir sedangkan hati adalah alat dalam logika berperasaan. Masing-masing qalb tersebut memiliki logikanya masing-masing. (Al-Ghazali: 2004). 

Demikian pula manusia memiliki ruh, yang dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa hal ini merupakan urusan Allah, karena manusia hanya diberi pengetahuan sedikit saja tentang ruh.(Al-Qur’an; 17;85). Sedangkan akal, Shihab menjelaskan adalah suatu daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu, suatu daya dorongan moral serta daya untuk mengambil pelajaran, kesimpulan dan hikmah (Shihab;1996;294-295).

Sedangkan Syari’ati (Syari’ati:1992: 47) memandang bahwa manusia adalah makhluk yang asli, ia mempunyai substansi yang mandiri diantara makhluk-makhluk yang mempunyai wujud fisik dan yang ghaib. Syariati juga mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas, dan ini merupakan kekuatan paling besar yang luar biasa dan tidak bisa ditafsirkan. Lahirnya sejarah dalam pandangan Syari’ati dikarenakan adanya kehendak bebas manusia dalam memilih. Ia juga merupakan makhluk yang sadar sebagai karakteristiknya yang menonjol. Sadar dalam pengertian bahwa manusia memahami realitas alam luar dengan kekuatan berfikirnyanya yang menakjubkan termasuk dalam menyadari dirinya sendiri. Selain karena kemampuannya berfikir manusia juga adalah makhluk yang kreatif sehingga mampu menjadikan dirinya makhluk yang sempurna di hadapan alam, manusia dan Tuhannya. Dengan kehendaknya manusia mencita-citakan, berharap akan sesuatu yang ideal dalam arti bahwa dia tidak akan menyerah dan menerima apa adanya, tetapi selalu berusaha mengubahnya menjadi apa yang semestinya. Dan yang terakhir, dalam pandangan Syari’ati, yang terpenting dari manusia adalah bahwa manusia adalah makhluk yang bermoral sehingga manusia tidak bisa mengabaikan nilai (value). Nilai adalah ungkapan tentang hubungan manusia dengan salah satu fenomena, cara, kerja, atau kondisi yang didalamnya terdapat motif yang lebih luhur ketimbang keuntungan (utilitie). Oleh sebab itu kita menyebutnya sebagai jenis hubungan saral, kemuliaan dan ibadah.

Berbeda dengan paradigma sains modern, Paradigma sains holistik khususnya yang dilahirkan oleh Islam, memiliki pandangan yang luas, menyeluruh dan utuh terhadap manusia. Dalam diri manusia ada sesuatu yang tampak, namun juga sekaligus tersembunyi keunikannya yang tidak bisa terdeteksi oleh sains modern. Oleh karena itulah dalam paradigma sains holistik, manusia dipandang selain sebagai materi namun juga sebagai roh. Ia merupakan perpaduan antara jasmani dan rohani, bahkan lebih dari itu, adanya unsur rohani dalam diri manusia menyebabkan manusia memiliki banyak potensi. Dengan potensinya tersebut seluruh pikiran, harapan, cita-cita, sikap, berprilaku, keimanan, keteguhan, shabar, merasa cukup, iri dengki terhadap orang dan lain sebagainya dalam system sikap manusia akan muncul, hal ini merupakan akan berpengaruh terhadap kesehatan seseorang. Dengan demikian paradigma komunikasi kesehatan holistik memandang dan memaknai secara utuh keseluruhan system dalam tubuh manusia, fisik-nonfisik, materi-immateri dengan sikap hidup sehari-harinya. Salah satu term yang mendasar dari paradigma kesehatan holistik adalah masalah keimanan. Kecenderungan beragama yang kuat akan mempengaruhi terhadap ketenangan jiwa atau batinnya. Hal ini berkorelasi secara positif terhadap kesehatan fisik ataupun mental seseorang.

Dari Filsafat manusia di atas, baik pandangan sains modern ataupun pandangan holistik akan melahirkan paradigma dalam dunia kesehatan yang berhubungan dengan tubuh manusia berserta kompleksitasnya.
Dengan sangat tepat sufi besar, al-Ghazali, dalam Shihab (1996:291) menganalogikan permasalahan paradigma sebagai berikut:

Kalau kita membayangkan satu kolam yang digali di tanah, maka untuk mengisinya dapat dilakukan dengan mengalirkan air sungai-dari atas- ke dalam kolam itu. Tetapi bisa juga dengan menggali dan menyisihkan tanah yang menutupi mata air. Jika itu dilakukan, maka air akan mengalir dari bawah ke atas untuk memenuhi kolam, dan air itu, jauh lebih jernih dari air sungai yang mengalir dari atas. Kolam adalah Qolbu, air adalah pengetahuan, sungai adalah pancaindra dan eksperimen. Sungai dapat dibendung atau ditutup, selama tanah yang berada dalam kolam (kalbu) dibersihkan agar air (pengetahuan) dari mata air memancar ke atas (kolam).

Paradigma melahirkan persepsi
Dua paradigma di atas akan berpengaruh terhadap cara manusia mempersepsi manusia lainnya. Dalam dunia kesehatan, dua paradigma di atas akan berpengaruh pada cara seorang dokter memperlakukan pasiennya, atau pihak manajemen memperlakukan customernya. atau bahkan kita sendiri dalam mempersepsi kesehatan/ penyakit yang kita derita terhadap diri kita sendiri. Paradigma sains modern akan menafsirkan penyakit yang diderita oleh pasien berdasarkan asumsi-asumi ilmiah, sehingga terjadi kekakuan penafsiran. Oleh karena itu salah satu penyebab banyaknya malpraktek seperti dikatakan oleh Mulyana karena seorang dokter gagal mempersepsi penyakit yang diderita oleh pasiennya. Atau ketika seorang pasien yang sakit tidak bisa dideteksi dan diuji pesakitannya di labolatorium, namun dengan arogansi sains modern, maka dipersepsi dengan mengatakan bahwa tidak ada penyakit yang diderita oleh pasien. Penyakit yang ditimbulkan oleh pengaruh supranatural seperti akibat santet, atau gangguan supranatural lainnya tidak akan bisa diobservasi secara ilmiah oleh dunia kedokteran namun dengan arogansi ilmu kedokteran ilmiah petugas kesehatan cukup mengatakan bahwa pasiennya baik-baik saja. Hal ini barangkali pernah atau bahkan sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari kita, dimana seorang dokter tidak mampu mendiagnosis suatu penyakit yang diderita oleh pasiennya.

Persepsi merupakan inti dari komunikasi, sedangkan penafsiran adalah inti dari persepsi yang identik dengan penyandian balik dalam proses komunikasi (Mulyana; 1999;167) begitu dinyatakan oleh Mulyana dalam buku Best Sellernya. Menurutnya lebih lanjut, persepsi merupakan proses menafsirkan informasi indrawi atau interpretasi bermakna atas representasi objek eksternal. Persepsi dalam pengertiannya yang positivistic, seperti penulis kutif dari Mulyana merupakan pengindraan melalui alat-alat indra kita yakni indra peraba, indra penglihat, pencium, pengecap dan pendengar, atensi, interpretasi.

Berdasarkan sifatnya, persepsi bersifat dugaan (Mulyana; 1999;167). Dalam dunia kesehatan modern, karena paradigma yang dibangun adalah paradigma sains modern yang positivistic, maka persepsipun melakukan dugaan bahwa penyakit yang muncul berdasarkan dugaan-dugaan ilmiah seperti penulis jelaskan diatas.

Hasil penelitian sebuah lembaga kesehatan di Amerika tentang kasus Insomnia pada pendahuluan di atas, sekitar hampir 15 prosen orang Amerika menderita penyakit Insomnia. Hal ini menunjukan ada gejala umum yang menyebabkan insomnia. Jika gejalanya adalah fisik tentu sudah banyak obat tidur, atau gejalanya karena gangguan psikologi seperti depresi telah tersedia obat anti depresi. Namun seperti dijelaskan di atas, obat-obat tidur, saran psikolog dan psikiater tidak mampu memberikan solusi terhadap insomnia tersebut karena semuanya bercorak dugaan ilmiah belaka. Sementara penyakit yang diderita bukan disebabkan oleh masalah ketidakseimbangan fisik.

Insomnia merupakan gangguan tidur yang dialami oleh penderita dengan gejala-gejala selalu merasa letih dan lelah sepanjang hari dan secara terus menerus mengalami kesulitan untuk tidur atau selalu terbangun di tengah malam dan tidak dapat kembali tidur. Seringkali penderita terbangun lebih cepat dari yang diinginkannya dan tidak dapat kembali tidur (Republika: 12/05/09). Dalam pandangan sains modern, insomnia disebakan oleh ketidakseimbangan gelombang otak, solusi kedokteran modern untuk mengatasi insomnia adalah dengan obat tidur sebagai perangsang untuk menyeimbangkan gelombang otak. 

Jika merujuk pada buku SQ; memanfaatkan kecerdasan spiritual dalam berfikir integralistik dan holistik untuk memaknai kehidupan (Mizan:2001), di dalam otak terdapat titik/ modul tuhan (God Spot/Module). God Spot berada diantara lobus temporal. Namun tentu saja karena Danah Zohar hidup di lingkungan yang memiliki pandangan sains modern, ia hanya memaknai Godspot sebagai evolusi materi di dalam otak manusia (Zohar: 2001: 82). Bahkan lebih jauh, dengan merujuk hasil penelitian para psikolog dan neurolog Barat, Zohar menguatkan bahwa spiritualitas seseorang dapat diciptakan dengan merangsang Godspot tersebut dengan gelombang listik. Pendeknya hanya dengan memberikan obat tertentu maka orang akan mampu mencapai spiritualitas. Begitupun dengan penyakit Insomnia yang banyak diderita oleh 15 persen orang Amerika, mereka hanya perlu memakan obat tidur untuk menyeimbangkan gelombang dalam otak. Namun pada kenyataannya tidaklah semudah yang dipersepsi oleh dunia kedokteran modern, penyakit insomnia tersebut tidak juga sembuh. Dengan demikian, kita dapat mengambil kesimpulan sementara bahwa persepsi terhadap penyakit tersebut tidak pas atau bahkan salah.

Dengan demikian ada persoalan yang tidak bisa diselesaikan dengan observasi ilmiah belaka atau dugaan-dugaan dengan logika material atau logika praktik (Muthahari:2001). Bahkan Zoharpun sebagai seorang psikolog, ketika menyeimbangkan otak dengan spiritualitas masih bersifat positivistic. Godspot dipandangnya sebagai bagian materi dari otak yang bertempat diantara Lobus Temporal. Bahkan kebanyakan insomnia kronik, dalam dunia kedokteran Indonesia tidak bisa diketahui apa penyebabnya (Cermin Dania Kedokteran:1987). Bila masalahnya demikian maka ada sesuatu hal yang tidak bisa diketahui secara ilmiah. Disinilah pentingnya paradigma, paradigma sains modern memiliki kelemahan dan perlu dilengkapi, dibantu atau bahkan mungkin ada penggabungan antara paradigma sains modern dengan paradigma sains holistik untuk menambal dan melengkapi kekurangan tersebut dalam mempersepsi suatu penyakit. 

Pada dasarnya dalam pardigma komunikasi kesehatan holistik, penyakit tidak hanya dipandang sebagai problem ketidakseimbangan dan kerusakan fisik saja yang diakibatkan oleh virus atau bakteri, atau yang disebabkan oleh ketidakseimbangan gelombang dalam materi otak, namun juga bisa berarti problem keimanan. Kekurangintiman komunikasi antara manusia dengan sang Pencipta-nya akan menyebabkan kekeringan spiritual, kekeringan spiritual akan mendorong terhadap problem psikologis dan ujung-ujungnya akan berpengaruh terhadap fisik. Dalam pandangan sains holistik, tentu saja tidak hanya itu, aspek kesehatan pisik pun menjadi perhatian sebab dapat berpengaruh terhadap segala marabahaya yang ditimbulkan oleh kelemahan fisik. Bahkan menjaga kesehatan yang dikonotasikan dengan kebersihan merupakan bagian dari iman. Hal ini tentu berbeda dengan paradigma kesehatan sains modern yang memiliki logika bahwa hanya di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat, tidak sebaliknya. Sedangkan dalam ajaran Islam yang menjadi dasar bagi bangunan paradigma sains holistik antara kesehatan fisik, mental/ jiwa, ruh, termasuk kesehatan sosial, saling melengkapi agar kita hidup sehat secara utuh, seimbang antara kesehatan fisik dan mental termasuk kesehatan rohani, seimbang antara kesehatan individu dan kesehatan sosial. Bahkan jika kita menjawab pertanyaan dari teman kita misalnya’ apakah anda sehat’ “ maka jawaban yang kita berikan adalah “sehat wal afiat” yang artinya adalah tidak hanya sehat lahir dan mental saja, tetapi sehat secara sosial, terlindung dari segala macam marabahaya yang bisa datang kapan saja. Dalam pandangan komunikasi kesehatan holistik dimana keimanan sebagai pondasi, perlindungan ini tidak dapat diperoleh secara sempurna kecuali kita mentaati perintah-Nya (Shihab; 1996; 182).

Mempersepsi sehat, sakit dan penderita.
Persoalan paradigma komunikasi kesehatan yang bermula dari falsafah dalam memandang manusia akan berpengaruh terhadap persepsi kita tentang sehat, sakit dan penderita. Begitupun seorang dokter, perawat atau bahkan kita sendiri sebagai subjek sekaligus objek akan sangat dipengaruhi oleh cara pandang ini. Paradigma ini khususnya di Indonesia sebetulnya sudah cukup berkembang tentang cara memperlakukan manusia, namun karena masih minimnya pembelajaran tentang ilmu komunikasi dalam tataran praktis pada perguruan tinggi formal seperti dikatakan oleh Mulyana, terlebih paradigma keilmuan yang dominan adalah positivistic yang terpilah-pilah. Hal ini akan berpengaruh dalam mempersepsi sakit, sehat dan penderita. Dalam paradigma sains modern, sakit dipersepsi sebagai keadaan tidak seimbangnya keadaan fisik seseorang yang menderita sakit akibat pengaruh lingkungan, makanan (salah makan), kebiasaan hidup, ketidak seimbangan dalam tubuh, termasuk juga kepercayaan panas dingin seperti masuk angin dan penyakit bawaan. Sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai siksaan sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yang sehat (Soejoeti, tt). Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta perubahan lingkungan, WHO sebagai badan dunia kesehatan mendefinisikan sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik jasmani, rohani, maupun kesejahteraan sosial seseorang. Sedangkan pengertian sehat yang coba penulis tawarkan adalah integrasi antara pengertian Cartesian, pengertian WHO serta pengertian agama, dimana sehat tidak hanya sehat secara fisik, mental/ rohani, kesejahteraan sosial, namun juga sehat dalam semua tingkatan hubungan. Tingkatan hubungan dapat dirujuk dari ajaran Al-Qur’an, yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya, Hubungan manusia dengan sesame manusia serta hubungan manusia dengan alam. 

Dengan adanya persepsi baru terhadap makna sehat, yang lahir dari paradigma baru tentang kesehatan, maka diharapkan akan merubah cara manusia memperlakukan kesehatannya, begitupun akan merubah cara memperlakukan sakitnya ketika seseorang menderita suatu penyakit. Seorang tidak akan pernah mengalami sakit selama konsep kesehatan baru yang lahir dari paradigma baru tentang kesehatan dapat diimplementasikan. Menjaga kesehatan fisik, menjaga kesehatan rohani dan mental, melakukan komunikasi yang intensif dengan Tuhannya didasari oleh rasa keberagamaan serta kepasrahan yang total, melakukan komunikasi sosial sesama manusia agar tidak terjadi apa yang disebut alienasi sebagai salah satu problem manusia modern, dan terakhir adalah menjaga hubungan baik dengan alam agar tidak muncul berbagai bencana, baik global warming, banjir, longsor dan lain sebagainya yang ujung-ujungnya dapat memunculkan berbagai penyakit dalam pengertiannya yang total. Dengan mengimplementasikan konsep kesehatan baru maka seseorang dengan sendirinya akan mampu menjaga kesehatannya.

Berangkat dari paradigma kesehatan tersebut, seseorang akan memaknai sakit sebagai suatu ketidakseimbangan perilaku dalam melakukan hubungan-hubungan di atas, baik dalam hubungan pemeliharaan tubuhnya secara fisik dan rohani, atau hubungan komunikasi dengan Tuhan, sesame dan alamnya. Sehingga ketika suatu musibah yang dinamankan sakit menimpa dirinya, ia tidak hanya mengobatinya secara fisik, namun ia juga akan bertafakur (berfikir/ merenung) bahwa penyakitnya tersebut sebagai akibat ada hubungannya dengan ketidakseimbangan komunikasi yang dilakukan oleh dirinya terhadap Tuhan, sesama, atau alam. 

Begitupun ketika seorang dokter yang memiliki pandangan holistik, akan memperlakukan pasiennya, tidak hanya diagnosa penyakit yang ia lakukan, Komunikasi yang ia lakukan tidak linier, namun dua arah. Ia akan bertanya secara menyeluruh tentang konsep hidup si pasien, misalnya bagaimana perilaku hidupnya dalam menjaga kesehatannya, apa saja yang ia makan, apakah menjalankan agama dengan baik, atau apakah sering bersenda gurau dengan tetangga atau anak-anaknya, dan lain sebagainya. Dengan memberikan pertanyaan seperti itu, seorang dokter atau perawat mencoba menelusuri hubungan total dalam menjaga kesehatannya sebagai dasar dari konsep atau paradigma komunikasi kesehatan holistik.

Kelemahan paradigma kedokteran modern; sebuah tinjauan kasuistik
Di Indonesia, pengobatan alternatif kini sedang popular. Kepopuleran pengobatan alternatif tentu memiliki latar belakang kemunculannya. Beberapa alasan kenapa pengobatan alternatif begitu popuker akhir-akhir ini, penulis kutif dari kesehatan situs adalah ; pertama. Model Pengobatan Konvensional telah berubah dari maksud menolong menjadi mencari keuntungan dan menghilangkan rasa kemanusiaan. Alasan kedua menurut situs tersebut karena Mahal. Dan ketiga Tidak aman bagi kesehatan. Sedangkan dalam pandangan penulis, kenapa pengobatan alternatif begitu popular karena pengobatan alternatif dengan beragam pendekatan dan metode cukup mampu memberikan solusi bagi penderita. 

Rasionalisasi alasan tersebut dapat dijelaskan misalnya ketika banyaknya kasus penolakan pasien pada Rumah Sakit tertentu karena tidak mampu, manajemen Rumah Sakit tidak memperhatikan jika calon pasiennya sedang membutuhkan pertolongan segera, bahkan beberapa waktu lalu kita dengar di media televisi, karena tidak bisa membayar sejumlah tagihan seorang bayi ditahan oleh Rumah Sakit tertentu, jelaslah peristiwa ini menghilangkan rasa kemanusiaan, sehingga dinilai bahwa rumah sakit hanya mencari keuntungan. Dilaporkan juga tagihan sebuah Rumah Sakit Internasional terhadap salah satu pasien yang meninggal mencapai 500 jutaan lebih (Tribun:15/06/09), jumlah tersebut tentu bukan jumlah yang sedikit sehingga sangat masuk akal jika dikatakan bahwa biaya pengobatan konvensional atau dalam makalah ini dengan paradigma sains modern sangat mahal. Sedangkan jika dilihat dari obat-obatan, pengobatan dengan sains modern justru bisa membuat tidak aman bagi tubuh manusia sendiri, hal ini dikarenakan pengobatan modern banyak menggunakan obat-obatan kimia. Sementara diagnose kedokteran modern pun tidak mampu menyelesaikan semua persoalan kesehatan manusia, sehingga beralih kepengobatan alternatif.

Beberapa kasus dapat dijadikan bukti bahwa terdapat kelemahan dalam pengobatan dengan menggunakan paradigma komunikasi kesehatan modern adalah ketika tetangga penulis, sebut saja namanya Ibu Esih beberapa bulan yang lalu, divonis menerita kanker payudara. Ibu Esih yang berfrofesi sebagai penjual bakso dan gorengan bersuami dengan pekerjaan yang tidak tetap. Sejauh wawancara yang penulis lakukan dengan yang bersangkutan, Bu Esih divonis oleh Dokter salah satu Rumah Sakit Daerah di Wilayah Bandung terjangkiti kanker Payudara, Rumah Sakit Daerah tersebut tidak sanggup untuk melakukan diagnosa lanjutan terhadap penyakit yang diderita Ibu Esih. Dengan merekomendasikan ke Rumah Sakit yang lebih besar, dari sisi SDM, fasilitas ataupun kapasitas, akhirnya Ibu Esih memeriksa kembali hasil diagnose Rumah Sakit Daerah tersebut, dan ternyata memang benar, hasil diagnosa menunjukan bahwa Ibu Esih menderita penyakit kanker payudara dan dokter merekomendasikan agar calon pasien segera dioperasi jika penyakitnya ingin segera sembuh, dengan alasan agar tidak membesar. Dengan penghasilan yang pas-pasan, tentu saja Ibu Esih kaget, karena dalam bayangannya, biaya operasi tidaklah cukup dengan biaya satu juta. Setelah dikonfirmasi kebutuhan biaya untuk biaya operasi, pihak rumah sakit memberikan gambaran, bahwa setidaknya Ibu Esih harus menyiapkan sebesar 10 juta rupiah, untuk biaya operasi dan keperluan lainnya seperti biaya rawat inap dan obat. Dengan sejumlah uang yang bukan sedikit menurut ukurannya, Ibu Esih akhirnya berkonsultasi dengan suami serta tetangga. Keluarganya menunjukan ketidaksanggupan dengan biaya yang begitu besar menurut ukurannya.

Di kampung, dengan kehidupan sosial yang masih kental serta komunikasi yang masih terjaga dengan para tetangga, bila ada orang yang sakit, biasanya beritanya cepat tersebar, dan berita sakitnya Ibu Esih pun terdengar oleh para tetangga. Informasi tentang pengobatan Alternatif pun didapatkan oleh Ibu Esih dan Keluarga. 

Dengan bekal informasi dari tetangganya tersebut, akhirnya Ibu Esih mendatangi tempat pengobatan alternatif yang dimaksud. Setelah diperiksa, ternyata memang benar, sesuai dengan vonis dokter, Pak Haji (sapaan akrab Tabib) pun mengatakan bahwa Ibu Esih terjangkit kanker Payudara. Akhirnya Pak Haji melihat, mendoakan, mengusap, member air yang telah diberi doa untuk diminum, serta memberikan ramuan alami untuk diminum oleh Ibu Esih. Ibu Esih pun diminta datang dua minggu kemudian untuk chek up kembali. Hampir selama dua bulan Ibu Esih terus-terusan therapy ke pengobatan alternatif. Dan menurut pengakuannya, payudaranya lambat laun mengecil. Berbarengan dengan mengecil tonjolan di payudaranya, sakitnyapun ikut berkurang dan kini akhirnya sembuh.

Kasus kedua adalah penyakit Ginjal yang diderita oleh Kakak Ipar penulis. Sekitar Tahun 1997 menderita sakit batu ginjal parah, setiap melakukan pekerjaan berat sakitnya sudah tidak tertahankan, sehingga mengganggu aktifitasnya sebagai kepala keluarga. Jika pergi ke dokter sudah pasti harus dioperasi dengan biaya yang tidak sedikit. Dengan berbagai informasi yang didapat tentang pengobatan, akhirnya kakak sayapun melakukan therapy dengan pengobatan alternatif. Menurut Tabib, batu ginjal memang harus dikeluarkan, dan tidak mungkin bila dikeluarkan melalui penis, karena batu ginjalnya sudah besar. Maka mau tidak mau harus dioperasi. Dalam pengobatan alternatif pun dikenal bedah, tapi tidak serumit pengobatan konvensional. Akhirnya kakak sayapun dioperasi ala pengobatan alternatif, dan setelah dioperasi serta dikeluarkan batu ginjalnya kakak saya pun bisa langsung pulang. Berbeda dengan bedah yang dilakukan oleh dokter Rumah Sakit, yang meninggalkan bekas luka yang besar dan jaitan. Operasi yang dilakukan oleh Tabib hanya berupa garis sepanjang beberapa senti saja yang tampaknya bukan bekas operasi. Dengan pengobatan alternatif tersebut sampai hari ini Ginjal batunya sembuh total.
Satu kasus lagi adalah Kista (kanker rahim/ mulut rahim) yang menimpa isteri teman kuliah saya. Kista dalam dunia kedokteran, sejauh informasi yang saya terima, divonis bahwa orang yang menderita Kista tidak akan memiliki anak. Namun dengan therapy rutin, isterinya kini sedang hamil 6 bulan. 

Jika digali informasi tentang bukti keampuhan pengobatan alternatif, baik yang dijadikan sebagai pengobatan utama ataupun yang dijadikan pelarian karena kedokteran modern tidak mampu mengatasinya, barangkali tidak akan terhitung jumlahnya. Termasuk panti rehabilitasi pecandu Narkoba, yang sangat popular bukanlah berupa therapy dengan kedokteran modern namun therapy dengan pendekatan psikoreligius. Salah satunya adalah panti rehabilitasi Suryalaya yang cukup terkenal. Hal ini pun telah diteliti oleh seorang mahasiswa Pascasarjana Unpad tahun 2006 lalu.

Dari beberapa kasus di atas, kita dapat menganalisis bahwa terdapat kelemahan yang dimiliki oleh paradigma kedokteran modern terhadap penyakit. Keterbatasan paradigma kedokteran modern, dalam kehidupan nyata seperti dicontohkan di atas dapat di atasi dengan pegobatan akternatif. Pengobatan alternatif seperti yang dilakukan oleh Ibu Esih, Kakak penulis, atau isteri teman penulis, merupakan pengobatan dengan pendekatan religious/ doa serta obat-obatan alamiah. Masih banyak kasus yang tidak bisa dipecahkan oleh dunia kedokteran modern, seperti kasus yang dialami oleh seorang wanita dimana dari sekujur tubuhnya tumbuh kawat. Dunia kedokteran modern tidak mampu memberikan solusi, kecuali hanya meminimalisir rasa sakitnya saja. 

Paradigma komunikasi kesehatan sains modern menunjukan tidak mampu memaknai kesehatan, terlebih penyakit yang diderita oleh pasien secara total, menyeluruh dari hubungan manusia dengan berbagai komponen; dirinya, Tuhannya, sesama manusia atau dengan alamnya. Sehingga tidak mampu mendiagnosa penyakit diluar kuasa ilmiahnya. Dengan demikian seharusnya para pelaku kesehatan, masyarakat yang menjadi subjek sekaligus objek kesehatan harus disadarkan bahwa memaknai sehat dan sakit harus total, holistik agar mampu mengantisipasi datangnya penyakit. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati. 

Religiusitas; Landasan dalam Membangun Paradigma Komunikasi kesehatan holistik
Sekitar tahun 1990-an, Dunia Barat mulai sadar bahwa terdapat kekurangan dalam memahami manusia. Pemahaman humanism Barat yang anthroposentris mendorong manusia Barat pada kekeringan Spiritual. Hal ini dirasakan oleh kebanyakan orang-orang yang memiliki pandangan saintifik modern. Hidup mereka begitu hampa, kehilangan makna. Dengan kesadaran akan keringnya spiritualitas, mendorong mereka pada pencarian Spiritual. Tidak sedikit dari mereka yang mencari dan belajar spiritual ke dunia Timur. Dengan kesadarannya tersebut maka muncullah apa yang disebut zaman baru di dunia Barat, zaman dimana Spiritual menjadi penting atau lebih popular dengan New Age. Dengan perkembangan kesadaran di Dania Barat, mendorong WHO secara merumuskan definisi tentang kesehatan dengan memasukan kata Rohani/ spiritual sebagai salah satu komponen dalam upaya memperoleh kesehatan (Fanani: 2009). 

Kehilangan makna hidup dalam pandangan Zohar sangat erat berhubungan dengan kesehatan. Namun menurutnya, setiap mode kesehatan selalu dipandang bersifat Newtonian; penyakit adalah sesuatu hal yang harus diobati dan dimusnahkan. Karena perkembangan tren dalam memaknai manusia, maka sakit dipandang sebagai jeritan tubuh dan pemiliknya agar mendaptkan perhatian dalam hidup yang apabila ditinggalkan akan mengakibatkan kerusakan permanen, ketidakseimbangan fisik, emosi dan spiritual, bahkan kematian (Zohar: 2001:26). Bahkan menurutnya penyakit jantung kanker, penyakit jantung,, Alzheimer dan penyakit lainnya dimungkinkan didahului oleh depresi, rasa lelah, alkoholisme, dan kecanduan obat sebagai bukti dari krisis kekosongan makna yang masuk ke dalam sel-sel tubuh. Adanya pergeseran paradigma dalam memaknai sehat dan sakit ini, digambarkan dalam puisi oleh D.H. Lawrence,” aku sakit karena terluka jiwaku, sampai ke dalam emosi diriku”.

Kesadaran yang meningkat akan pentingnya spiritual dalam membangun paradigma komunikasi kesehatan holistik mendorong para ilmuwan melakukan penelitan terhadap hubungan aspek religiusitas dan kesehatan. Sebagian para ahli kedokteran dan ahli kesehatan badan dan jiwa mulai melakukan penelitian-penelitian tentang dampak spiritual keagamaan dalam upaya pengobatan dan penyembuhan bagi para penderita atau pasien, seperti, Dr. Comstock dan Partridge (1972), Dr. Larson dan Wilson (1982), Dr. Larson (1992), Dr. Oxman (1995), Dr. Dale Matthew dan Dr. Moore R.D (1996), Prof. Aulia, Prof. H. Dadang Hawari. Dari hasil penelitian diperoleh bahwa religiusitas berdampak positif pada proses penyembuhan pasien atau penderita. Beberapa praktik keagamaan seperti pemantapan aqidah, ibadah, zikir dan doa yang diamalkan oleh pasien atau penderita selama dalam proses penyembuhan dijadikan acuan sebagai alat therapy (Abidin;2006;56). Bahkan tidak sedikit dari ilmuwan Barat yang pada akhirnya memeluk suatu agama, walaupun spiritualitas yang ditawarkan oleh Zohar bukan berupa agama.

Khusus dalam setiap gerakan sholat misalnya, sebagai ibadah inti seorang muslim, terdapat bukti ilmiah sebagai sarana dalam melancarkan darah dalam tubuh kita, bahkan untuk menyeimbangkan otak dapat dilakukan dengan sujud, karena dengan sujud darah dapat mengalir ke otak. Begitupun dalam gerakan-gerakan lainnya seperti, takbir, tasyahud, gerakan salam memiliki fungsi tersendiri dalam melancarkan aliran darah dalam tubuh kita. Setiap gerakan pun dinilai sebagai gerakan olah raga yang dapat membakar kalori sebagai makanan kita.
Dengan temuan ilmiah dalam sholat sebagai salah satu aspek religious dalam kehidupan seorang muslim, tidak sedikit para ahli therapy yang mengembangkan therapynya melalui therapy sholat tahajud, therapy sholat shubuh sebagai sarana untuk menjaga kesehatan atau mengobati penyakit.

Begitupun dalam puasa, hasil penelitian para dokter Barat menyimpulkan bahwa degnan puasa orang akan merasa lebih baik secara fisik dan mental, merasa lebih muda, dapat membersihkan badan, menurunkan tekanan darah dan kadar lemak, lebih mampu mengendalikan seks, membuat badan sehat dengan sendirinya, mengendorkan ketegangan jiwa, menajamkan fungsi indrawi, memperoleh kemampuan mengendalikan diri sendiri, memperlambat proses penuaan (http://merbabu.multiply.com), bahkan menurut ahli tasauf (Chisty; 1999;137) mengatakan bahwa puasa merupakan obat yang terbaik.

Aspek religiusitas tentu bakan hanya aspek ibadah sebagai sarana komunikasi dengan Tuhannya, namun juga aspek hubungan dengan sesama manusia serta dengan alam. Dalam Islam, religiusitas pada garis besarnya tercermin dalam pengamalan akidah, syariah, dan akhlak, atau dengan ungkapan lain: iman, Islam, dan ihsan. Bila semua unsur itu telah dimiliki oleh seseorang , maka dia itulah insan beragama yang sesungguhnya. Artinya bahwa orang yang memiliki paradigma kesehatan holistik akan senantiasa menjaga keseimbangan komunikasi antara Tuhan, sesama dan alam serta menjaga keseimbangan dalam menjaga iman, islam dan ihsan. Dengan menjaga komunikasi dengan berbagai dimensi dalam kehidupan religiusnya berarti ia menjalankan prinsip menjaga kesehatannya secara holistik.

Menurut Fanani, Guru Besar Kedokteran UNS bahwa dalam praktek kedokteran, pemanfaatan agama memang telah digunakan dalam terapi di dunia kedokteran atau rumah sakit. Namun menurutnya, hanya dilakukan oleh petugas nonmedis yang pada umumnya tidak dibekali pemahaman tentang kedokteran dan keterampilan sebagai terapis (http://www.majalah-farmacia.com). Di Jawa Barat sendiri, beberapa Tahun lalu dikembangankan proyek Perawat Rohani Islam untuk rumah sakit-rumah sakit di Jawa Barat, namun sayang bukan dari petugas medis, mereka pada umumnya adalah sarjana yang memiliki pengetahuan agama dan praktik agama yang cukup namun tidak berlatarbelakang kesehatan . 

Kesimpulan: Integrasi sains modern dan paradigma holistik mungkinkah? 
Paradigma komunikasi kesehatan modern memiliki sejumlah kelemahan, baik dalam mempersepsi kesehatan, sakit atau pasien. Kesehatan hanya dipandang sisi pisik melulu, begitupun sakit dipandang sebagai gangguan terhadap fisik sehingga dokter hanya perlu mengobati, membuang penyakit fisik tersebut. Ketika berkomunikasi pun bersifat linier, penderita atu pasien dianggap sebagai objek sakit belaka sehingga tidak ada upaya menyentuh sisi psikologisnya yang dapat mendorongnya sembuh. Pada sisi lain paradigma komunikasi kesehatan modern yang tidak utuh dalam memandang manusia mendorong pada parsialnya penyelidikan dokter terhadap pasien, sehingga tidak didapatkan informasi yang mendalam terhadap latarbelakang suatu penyakit muncul, sehingga hasil diagnosanyapun kurang pas, atau bahkan salah sehingga terjadi malpraktek.

Munculnya pengobatan alternatif merupakan salah satu implementasi dalam cara memandang dan memperlakukan manusia sehingga komunikasi yang dilakukan terhadap pasien pun menjadi utuh, mendiagnosa seseorang secara menyeluruh; penyakit, penyebab, perilaku hidup, hubungan dengan Sang Pencipta, hubungan sosial, cara memperlakukan alam dan lain sebagainya. Dengan diketahui berbagai penyebab dari prilaku hidup serta hubungannya dengan berbagai dimensi kehidupan maka seorang tabib dapat menginterpretasikan diagnosa penyakitnya dengan tepat. Hal ini terbukti dari banyaknya kasus pengobatan alternatif yang cukup berhasil mengobati penyakit yang tidak bisa diatasi oleh dunia kedokteran modern. Atau bila pun kedokteran bisa mengatasi, namun dengan biaya yang tidak sedikit dan proses yang lama. Sedangkan dalam pengobatan alternatif, prosesnya cukup sederhana dengan biaya yang sangat murah dan obat-obatan alamiah yang dapat meminimalisir kandungan kimia dalam tubuh.

Namun tentu saja kita juga harus mengakui, bahwa munculnya rumah sakit-rumah sakit modern, sebagai bukti bahwa mereka sangat berperan dalam menyelesaikan persoalan kesehatan, namun dengan banyaknya kasus bahwa tidak semua penyakit dapat terselesaikan, mahalnya obat dan biaya pengobatan, serta banyaknya kandungan kimia dalam obat-obatan modern sehingga masyarakatpun banyak melirik pengobatan alternatif yang mudah, murah, aman.

Dengan demikian, dalam dunia kedokteran ke depan, dimana Indonesia sangat berpotensi dalam berbagai metode pengobatan alternatif serta potensi obat yang dimiliki oleh kekayaan alam, bisakah dunia kesehatan modern berintegrasi dengan berbagai pengobatan alternatif yang banyak jenis dengan berbagai metode?

Pertanyaan ini hanya dapat dijawab, serta dikembangkan diwilayah formal akademis yang melahirkan para sarjana dan ahli kedokteran. Karena bagaimanapun munculnya kedokteran modern dilahirkan dari paradigma yang mereka pelajari selama menuntut ilmu kesehatan. Jika arogansi sains modern dapat diminimalisir dan mulai dapat menerima hal-hal yang dianggapnya irrasional seperti ruhani, agama serta lainnya dan dijadikan sebagai salah satu kurikulum, maka bisa mungkin ke depan ada integrasi antara paradigma komunikasi kesehatan modern dengan komunikasi kesehatan holistik, dimana salah satu aspek dalam paradigma komunikasi kesehatan holistik adalah adanya unsur ruhani/ agama yang tidak bisa dideteksi secara ilmiah serta adanya intensitas komunikasi pada semua tingkatan hubungan dengan Tuhan, sesama dan alam. Dari paradigma ini akan lahir cara seorang petugas kesehatan (dokter, perawat, manajemen rumah sakit) ataupun masyarakat sendiri sebagai subjek sekaligus objek kesehatan dalam memperlakukan kesehatannya.



DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal;
2000 Filsafat Manusia; Memahami Manusia Melalui Filsafat.
Abidin, Zainal;
2006 Zikir Suatu Tradisi Pesantren Menuju Terapeutik Depresif ; Kajian Menuju Terapi Psikosomatik dan Neurosis.Purwokerto: Jurnal IBDA.
Hakim Mu’inuddin Chisty, Syaikh;
1999 Penyembuhan Cara Sufi. Jakarta; Lentera.
Heriyanto, Husein. 
2003. Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta: Teraju.
Mulyana, Deddy;
2001 Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy;
2008 Komunikasi Humoris; Belajar Komunikasi Lewat Cerita dan Humor. Bandung:Simbiosa Rekatama.
Muthahari, Murthadha;
2001 Mengenal Epistemologi. Jakarta: Lentera.

Shihab, M.Quraish;
1996 Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudlui atas Pelbagai Persoalan Umat.Bandung: Mizan. 
Soejoeti, Sunanti Z.;
Tt Konsep Sehat, Sakit dan Penyakit dalam Konteks Sosial Budaya. Pusat Penelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta. Departemen Kesehatan RI.
Syari’ati, Ali;
1994 Ideologi Kaum Intelektual. Bandung: Mizan.
Syariati, Ali; 
1992 Humanisme; Antara Islam dan Madzhab Barat. Bandung: Mizan. 
Tafsir, Ahmad;
2001 Filsafat Umum; Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zohar, Danah dan Ian Marshal;
2001 SQ; Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk memaknai kehidupan. Bandung: Mizan.

Lain-lain:
http://ahmadsamantho.wordpress.com/2008/07/29/merayakan-keseluruhan-menjajaki-paradigma-holistik-dalam-kehidupan-sosial/ diakses tanggal 29 Mei 2009.

http://uplink.or.id/v2/artikel/kesehatan-alternatif.html. diakses tanggal 29 Mei 2009
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=456 diakses tanggal 29 Mei 2009.

http://merbabu.multiply.com/reviews/item/37 diakses tanggal 29 Mei 2009, 

http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=456 diakses tanggal 29 Mei 2009

Cermin dunia kedokteran No. 34, 1984 hal. 57
Republika, edisi 12 mei 2009
Harian Tribun edisi 16 Juni 2009


Informan:
1. Ibu Esih Sukaesih; Penderita Kanker Payudara yang sembuh dengan melakukan therapy. Tinggal di kampung Cibangkonol, RT o3 RW 06 Desa Cibiru Wetan Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung
2. Kendar; Penderita batu Ginjal, sembuh dengan pengobatan alternatif, tinggal di Kelurahan Tomang, Grogol Petamburan, Jakarta Barat.
3. A. Ganjar Runtiko; Isterinya divonis Menderita Kista, setelah beberapa bulan therapy dengan do’a dan air putih kini tengah hamil, mudah-mudahan anaknya lahir dengan sehat, amin.

Di muat di Jurnal Observasi edisi Juli 2009

Post a Comment for "Meneropong Paradigma Komunikasi Kesehatan"