Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kata yang 'Menipu'


Pernahkan kita terjebak dengan kata-kata?atau bahkan merasa ditipu oleh sebuah judul yang bombastis? Ya sebagian besar pasti kita tertipu oleh judul-judul yang bombastis. Dikiranya masalah yang menarik buat kita, misalnya membicarakan masalah selangkangan eh tau-taunya justeru sama sekali tidak berkaitan dengan masalah selangkangan. Misalnya kata-kata ‘diperkosa’, ‘senggama’,’ngeseks’, ‘onani’, ‘bersetubuh’ dan kata yang sejenis lainnya. Jika ada judul tulisan yang seperti itu pasti pikiran kita sudah mengarah ke selangkangan seolah kata-kata tersebut berkaitan dengan masalah seks.
Tapi belakangan kata-kata tersebut sama sekali tidak berkaitan dengan masalah selangkangan. Kata-kata itu murni berkaitan dengan dunia social. Seperti kata ‘perkosa’ yang digunakan oleh Herman Hasyim yang menjadi Headlines atau tulisan saya yang menggunakan kata senggama dan masturbasi pada beberapa bulan lalu. Tulisan-tulisan tersebut jika kita baca substansinya sama sekali tidak berkaitan dengan masalah perkelaminan atau seks. Tapi murni masalah human relation. Barangkali beberapa kompasianer merasa tertipu dengan kata-kata tersebut karena sama sekali tidak berkaitan dengan isinya.
Sekarang jamannya postmo, era millennium ketiga, sehingga kata-kata menjadi postmakna, begitu kira-kira kata Yasraf Amir Piliang sang Filsuf Postmodern asal ITB. Postmakna artinya bahwa kata-kata tersebut sudah melampaui makna yang sebenarnya, ia melintas batas bukan lagi makna yang dimaksud pada pengertian konvensional. Apalagi dalam dunia komunikasi yang mengambil berbagai istilah dari berbagai disiplin ilmu, hal tersebut sah-sah saja. Bukankah jargon komunikasi yang sangat popular berkaitan dengan makna seperti ditulis Jalaluddin Rakhmat ‘word don’t mean but people mean’. Kata-kata itu tidak bermakna, tapi kitalah yang memaknainya.
 Namun dalam dunia tulis menulis, khususnya ilmu komposisi, yang barangkali baku, seseorang yang ingin memaknakan lain dari tulisannya tidak mentah-mentah menyodorkan kata yang ‘bugil’,  namun ia diberi baju, bajunya adalah tanda kutip. Jika kata ‘diperkosa’ (tanpa tanda kutif/ ‘bugil’) makna sebenarnya adalah memaksa seseorang untuk melayani kebutuhan seksualnya dengan cara kasar. Maka kata ‘diperkosa’ (dengan memakai tanda kutif/ ‘pake baju’) bisa dimaknai lain. Ia bisa dimaknai sesuai arahan dari penulis atau bahkan interpretasi para pembaca. Dalam dunia tulis menulis hal tersebut adalah sah, tidak ada unsur tipu-menipu sesuai dengan kaidah. Kecuali jika kata tersebut tanpa ‘baju’ atau tanda kutif barangkali kita sah-sah saja mengatakan penulisnya menipu.
Sejauh yang saya tahu, dan barangkali teman-teman disini lebih pada tahu dalam urusan produksi kata-kata. Memasuki dunia maya ini, jika pun tanpa harus menggunakan tanda kutif rasanya orang merasa sah-sah saja bilapun kata yang dipakai tidak menggunakan tanda kutif, sebab para pembaca pada akhirnya dapat membuat interpretasi sendiri dan memaknainya dengan bebas selagi masih berkaitan dengan substansi tulisan. Atau bahkan pembaca dan penulis sama sekali dapat memaknainya tanpa berkaitan dengan maksud sebenarnya. Inilah namanya postmakna, makna yang jauh melampaui makna yang sebenarnya bahkan sudah tidak berkaitan lagi dengan makna yang sebenarnya seperti kata Yasraf dalam bukunya ‘Postrealitas’. Di dunia maya kita bergelut dan berhubungan dengan makna-makna yang absurd, bias, melampaui, kabur, bahkan tercerabut dari makna itu sendiri, ia postmakna.
Dengan demikian kita seringkali menemukan kata-kata yang digunakan dalam istilah seks untuk dunia social, atau istilah teknik untuk dunia social. Namun tentu dengan makna yang sama sekali lain dari apa yang kita duga.
Salam
Semoga bermanfaat

Post a Comment for "Kata yang 'Menipu'"