Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tidak ada Juara Satu dalam Menulis

Setiap hari selalu saja ada para kompasianer baru yang bergabung. Salah satu harapan mereka adalah menjadikan rumah kompasiana sebagai tempat berbagi berinteraksi. Namun diantara mereka tidak sedikit yang belum menorehkan sejarahnya untuk berbagi bersama kompasianer lain karena alas an tidak bisa menulis. Mereka merasa malu dan minder karena dalam sangkaannya, semua kompasianer pandai menulis. Sehingga tidak jarang diantara kompasianer tersebut yang hanya mengomentarai tulisan dari kompasianer lainnya yang telah mampu menorehkan sejarahnya dalam hal menulis.



Motivasi besar dari kompasianer, khususnya yang masih merasa minder untuk menulis, adalah belajar bagaimana caranya menulis dengan membaca dari tulisan kompasianer dan mengomentarainya. Di antara mereka ada yang sudah mulai menulis dan masih tetap berkomentar. Tidak menjadi masalah karena berkomentar pun pada dasarnya adalah pekerjaan menulis. Dari satu komentar, menjadi dua komentara, dan jiak dikumpulkan akan menjadi satu, tentu komentar-komentar tersebut menjadi banyak. Jadilah tulisan jika dikumpulkan walaupun barangkali tidak nyambung. Saya senang dengan pernyataan Admin Kompasiana (jika tidak salah)bahwa Komentar juga adalah hak kekayaan intelektual yang harus dihargai. Ini tentu menjadi motivasi baru para kompasianer baru yang sedang belajar menulis seperti saya.

Menulis di Kompasianer memiliki kepuasan tersendiri, karena jikapun tulisan kita tidak ada yang mengomentari, minimal kita mengetahui bahwa tulisan kita ada yang membaca. Ibarat pedagang, ada yang menawar saja sudah untung walaupun tidak jadi membeli karena itu adalah apresiasi dan penghargaan buat pedagang. Begitupun untuk para kompasianer baru dan yang sedang belajar menulis. Terlebih lagi jika tulisan kita ada yang mengomentari tentu senangnya bukan main? Betul? (mode on Zaenudin MZ).

Apalagi jika tulisan kita masuk pada 5 besar tulisan yang terpopuler, tertinggi rating dan terbanyak komentarnya, tentu senangnya bukan main dan kita barangkali menjadi tambah semangat untuk menulis. Suatu penghargaan yang luar biasa. Menulis lagi, menulis lagi, dan menulis lagi. good job!(mode on Rianty)

Menulis lagi, menulis lagi dan menulis lagi, bahkan ada yang kecanduan barangkali, sampai-sampai stress untuk melahirkan ide menulis karena idenya sangat sulit datang. Bagi yang kebanjiran ide dan memiliki banyak waktu luang tentu akan melahirkan banyak tulisan. Tulisan kita pun beberapa kali masuk HL karena menarik perhatian dan menyangkut kepentingan umum. Karena tulisan masuk HL orang pun bertambah lagi kegembiraan, dan masuknya HL (headline) melahirkan kembali ide untuk menulis tentang tulisannya yang masuk HL.

Kompasiana tidak hanya menghargai tulisan-tulisan yang menyangkut kepentingan umum dan menarik untuk dijadikan HL sehingga menambah semangat para penulis baik yang baru belajar, setengah mateng ataupun yang sudah mateng sekalipun. Di Kompasiana juga motivasi itu datang dengan berbagai program lomba blogger , seperti iB Blogger, Resensi, puasa dulu baru lebaran, menyambut kemerdekaan, hari pahlawan, Nokia Green Ambassador, dan tentu banyak lagi. Program hasil kerjasama kompasiana tersebut dilaksanakan dengan kontinyu. Dari program-program tersebutlah lahirlah pemenang lomba menulis. Saya sendiri pernah ikut lomba namun belum pernah mendapatkan juara. Namun tidak menyurutkan untuk terus belajar menulis karena tujuan mengikuti lomba bukan karena hadiahnya, namun karena proses mendapatkan ide dan kreatif serta pembiasaan menulis agar menjadi terampil dan mendapatkan spritualitas menulis sehingga menulis tidak cepat stak atau kehabisan ide. Karena bagi saya sendiri, menulis adalah proses mencipta, menciptak bukanlah barang gampang, harus ada proses mendapatkan ide, bahan, alur sehingga terbentuklah tulisan. Tidak menang lomba ya tidak apa-apa yang penting terus menulis. Itu saja!

Namun ada saat ketika saya merasa prustasi karena tulisan saya seolah tidak mendapatkan apresiasi. Dulu saat-saat pertama, kedua, ketiga dan seterusnya tulisan tidak pernah dimuat oleh sebuah harian, saya merasa down, hilang semangat apakah tulisan saya memang tidak layak?hingga akhirnya pada saat ke enamkali tulisan itu dikirim akhirnya dimuat juga. Padahal yang keenam kalinya tidak berharap lagi tulisan itu dimuat. Saya sering sharing dengan teman di kost bahwa tidak dimuatnya tulisan kita dalam sebuah media belum tentu tulisan kita tidak layak, namun bisa jadi karena tidak sesuai dengan visi misi media atau tidak masuk kategori atau bisa jadi isunya sudah basi.
Kompasiana atau blog-blog kroyokan lainnya belum hadir pada saat itu. Akhinrya tulisan-tulisan yang tidak pernah dimuat hanya menjadi arsip mati dalam computer. He..he…, tapi bagiku itu tidak menjadi masalah, karena dalam pikiran saya saat itu, tulisan-tulisan yang tidak dimuat merupakan catatan perjalanan saya sebagai petunjuk sejarah saya dalam menulis.

Berkaitan dengan banyaknya lomba menulis bloger di Kompasiana, barangkali ada beberapa penulis terutama penulis pemula seperti saya yang memang meniatkan diri menulis untuk mendapatkan hadiahnya. Yang kebagian menang lomba tentu sangat senang dan merasa memang tulisannya baik dan bermutu atau setidaknya ada yang diperjuangkan dalam tulisan tersebut. Masuknya tulisan sebagai salah satu pemenang, baik pemenang hadiah utama atau harapan tentu menjadi momentum untuk meneruskan bakatnya dalam bidang menulis tapi bagi yang berharap banyak dengan hadiahnya tentu juga kecewa. Padahal dalam pikirannya tulisannya sudah sangat bermutu dan bagus. Sehingga layak jika tulisannya tersebut masuk kategori juara walaupun juara harapan.

Inilah yang saya dapatkan dari pelajaran menulis, bahwa tidak dimuatnya tulisan kita dalam media cetak tidak berarti tulisan kita tidak layak, inilah yang menyemangatiku untuk terus menulis walaupun jarang. Ketika mendapatkan ide yang menurut saya bagus maka saya tulis dan berusaha untuk mencari referensi yang berkaitan dengannya jika menuntuk adanya aturan akdemik popular. Sehingga walaupun ditolak lagi-ditolak lagi saya terus mengirimkan tulisan.

Sama halnya yang terjadi dengan saya dan kompasianer lain. Jika tulisan kita ternyata tidak masuk dalam kategori juara lomba, atau minimal tidak pernah masuk dalam headline-nya Kompasiana yakinlah bahwa hal tersebut bukan persoalan tulisan kita tidak layak jadi HL/ juara, jelek, tidak memenuhi standar menulis, itu Karena lebih pada penilaian subjektif sang Juri. Semua orang memiliki sisi subjektif walaupun ada aturan yang menjadi standar objektif. Saya ingat pernyataan WS Rendra yang dikutif dari Ignas Kleden yang saya tafsir ulang,”Dalam hal menulis tidak ada juara nomer satu, karena menulis tidak seperti lomba lari yang menentukan siapa pelari tercepat dan sampai pada garis finish yang menjadi juara nomer satu, karena menulis seperti halnya makan, ia tergantung selera.
Demikianlah nasihat untuk diri saya sendiri.

1 comment for "Tidak ada Juara Satu dalam Menulis"

  1. tulisan ini menambah semangat belajar saya yang tak berbakat menulis, Tulisanku tak sebagus ini, tapi izinkanlah aku untuk bercerita tentang lahirnya seorang pangeran. sudilah kiranya memberi masukan agar aku bisa menjadi penulis yang terarah. untuk admin terimakasih.

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...