Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dari Postmodernitas ke Hiperlokalitas

Bosan, Jenuh, dan Monoton…., kata tersebut dapat mewakili sebagian besar manusia yang menganggap dirinya hidup di lingkungan yang serba modern. Lingkungan serba modern atau hiruk pikuk modernitas dicirikan dengan lingkungan yang serba teknologis, tanpa campuran alami serta diatur oleh aturan yang serba mesin juga-dikejar oleh mesin waktu bernama Schedule dan jam tangan yang tentunya memiliki mesin. Aturan ini tampaknya dapat menerpa siapa saja, apalagi yang hidup diperkotaan dan bekerja pada sebuah institusi atau perusahaan besar multinasional.

Manusia modern tidak sebatas bersentuhan dengan dunia teknologis, namun juga berkaitan dengan sejumlah pandangan yang menganggap bahwa yang tahayul, irrasional, gaib, immateri, horror, hantu, sesajen, ataupun sesuatu hal yang tidak masuk akal adalah sesuatu hal yang tidak ada atau sesuatu hal yang tidak perlu dianggap ada apalagi dipercaya. Karena bagi dirinya yang ada hanyalah dunia dalam ukuran benda-benda dan materi belaka. Ia yang ada berdasarkan hakikat kebendaan dan semua dikaitkannya dengan rasionalitas dan empiris.

Begitupun agama dan hal-hal yang berbau tradisional dianggapnya nonsense, bahkan ia pun dengan bangganya mengatakan bahwa pada “masa kini masih ada orang yang membicarakan agama, plis deh!” Ia bangga seolah-olah menjadi orang yang serba rasional, bahkan kesangsiannya atau bahkan ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak rasional dalam ukuran dirinya digembar-gemborkan kepada ‘dunia’, aku hanya percaya pada kekuatan dan kehendak diriku!

Ia tidak pernah menyadari bahwa keniscayaan hidup sejak masa peradaban Yunani adalah kehidupan manusia yang digerakan oleh mitos-mitos, walaupun hanya sebatas sebagai sebuah kepercayaan kosong, namun mitos hampir dan bahkan yang menjadi ruh peradaban yunani pada masanya. Mitos yang menjadi basis filsafat yang diagung-agungkan sebagai sesuatu yang rasional. Mitologi menjadi ciri khas dari limu yang berkembang di Yunani.

Setiap tempat dan suku bangsa memiliki mitosnya sendiri, bahkan hampir setiap manusia yang menganut faham paling tradisionalis selalu memegang mitos sebagai basis gerakan moralnya untuk mengatur hidupnya, baik kini ataupun kelak. Di sunda sendiri, mitos paling popular sering diistilahkan dengan pamali sebagai pijakan bangsanya yang kini mulai tergerus oleh berbagai macam benda teknologis.

Di saat bermacam teknologi tersedia dan makin mempermudah kita dalam melakukan aktifitas, mitos dan semacamnya yang dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak masuk akal pada satu sisi makin ditinggalkan orang yang mengenyam berbagai macam pendidikan ‘modern’, namun pada sisi lain, manusia modern tersebut mulai sadar, bahwa tanpa mitos, ilmu yang didapatkannya menjadi semakin kering kerontang, tidak memiliki ruh. Ia mulai jenuh dan bosan dengan keadaan yang dianggap serba modern tersebut. Ia pun mulai menggali apa yang telah dianggap kampung dan tradisional. Berbagai macam kearifan lokal serta berbau alam mulai ia dekati. Ia rindu kalam ilahi, sesuatu hal yang natural, berbau mitos serta hal-hal yang dianggapnya dulu ‘nggak banget’.

Alam pikiran tradisional sebagai sumber mitos akan tetap ada ibarat Godspot yang tidak pernah terlepas dari manusia, karena manusia pada dasarnya dilahirkan dari sesuatu hal yang natural-bukan dilahirkan dari barang teknologis.

Kini, kearifan lokal dilirik kembali oleh manusia modern, karena disanalah ia mendapatkan kembali jati diriya sebagai manusia yang unik-alih-alih menjadi manusia global yang serba merujuk kepada yang dianggapnya telah melahirkan kepanikah dan hysteria. Kearifan lokal tidak sebatas kembali ke alam yang natur, namun juga kembali kepada mitos-mitos, sejumlah pemikiran, kegaiban, kampung, rumah bamboo, sesajen, agama lokal, kepercayaan dan lain sebagainya.

Sejumlah produk lokal dan yang tradisional adalah ciri khas manusia Indonesia yang memiliki sejumlah suku bangsa, ia tidak hanya melahirkan berbagai barang budaya yang telah dipatenkan oleh PBB, namun juga sejumlah kearifan lokal lainnya seperti kembali ke paranormal, percaya dukun, ramal-ramalan. Kesadaran akan lokalitas dan keunikan yang ada di dalamnya tersebut sebenarnya telah diangkat oleh cendekiawan dunia seperti Karl May, seorang novelis yang menceritakan perjalanan uniknya di Sumatera pada Abad 19-an melalui ‘Damainya Bumi’. Ia bercerita bagaimana orang Indonesia memiliki karakteristik pemikiran tradisional yang cerdas dan unik yang dapat dijadikan pijakan moral oleh siapa saja.

Tidak hanya diceritakan oleh Karl May, namun juga diangkat dalam film, bagaimana misalnya salah satu olah raga beladiri dari Indonesia ‘Peso Daiak’ menjadi latar dalam film aksi Holywood (saya lupa lagi judulnya), begitupun pada tahun 2010 lalu, Kearikan lokal dan alam Bali dijadikan latar dalam film Drama Holywood.

Kini yang modern paling kontemporer adalah kembali lagi kepada lokalitas, dan itulah yang paling Indonesia karena di Indonesia memiliki kekayaan filosofi lokal dari setiap daerahnya, alamnya yang indah, bahasanya, keseniannya, barang budayanya, produk lokalnya, dongeng anak nusantara. Kekayaan dan keunikan inilah yang menjadi ketertarikan siapapun untuk mengunjungi Indonesia, bukan karena menjamurnya Mall-mall dan Itulah yang paling Indonesia banget.***[dr]

Post a Comment for "Dari Postmodernitas ke Hiperlokalitas"