Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hibah Digital


Beberapa pekan lalu, tepatnya minggu kedua bulan Januari, SOPA sempat menjadi trending topic pada twitter, bukan hanya menjadi topic yang dibicarakan masyarakat dunia juga menjadi perbincangan hangat media-media nasional termasuk Harian “PR”. Pada rubric UpDate, “PR” (02/02) menurunkan artikel bahwa Rencana Undang-undang tersebut merupakan bentuk pengekangan. 

SOPA atau kependekan dari Stop Online Piracy Act merupakan rancangan Undang-undang penghentian pembajakan massal yang terjadi secara online di dunia maya. Jika SOPA tersebut diberlakukan maka kita akan kesulitan untuk mengunduh berbagai file-file yang diperuntukan secara gratis oleh penyedia layanan tersebut, sebut saja Youtube. Para creator juga akan sulit untuk sekedar berbagi file-file hasil kreatifitasnya sehingga aktifitas sharing dan connecting menjadi hilang.

Alasan inilah yang mengundang protes sejumlah perusahaan yang berbasis penyediaan konten gratis, seperti google, facebook dan Wikipedia yang bergerak pada layanan konten terbuka secara gratis. Dengan hilangnya kegiatan sharing dan connecting maka sebesar 30,14 % atau sebesar 2 milyar penduduk dunia akan kehilangan aktifitasnya seperti diteliti oleh Sharing Vision (“PR” edisi 02/02/2012), ia juga akan kehilangan kesempatan untuk mencerdaskan dirinya sendiri melalui aktifitasnya yang mandiri melalui dunia maya.

Abad Digital, Era Cracking Zone
Oleh sebagian manusia digital, era internet merupakan abad perayaan konten gratis. Orang bisa berbagi file apapun secara gratis dengan perantara dunia maya. Jika dahulu, untuk memasuki jendela pengetahuan dunia harus membeli eksiklopedia yang harganya ratusan ribu bahkan jutaan rupiah, tentu tidak banyak orang yang bisa membacanya, namun sejak adanya internet, Wikipedia mampu menghadirkan konten-konten pengetahuan gratis. Begitupun updating film dan lagu-lagu, kita bisa mengunduhnya secara gratis dari salah satu situs di internet dan ataupun dari Youtube. Bahkan beberapa stasiun televisi menjadikan Youtube sebagai sumber data untuk program acaranya seperti tayangan terlucu, kejadian paling aneh, tayangan paling haru, dan lain sebagainya. 

Saat penulis membutuhkan referensi buku, bisa mengunduhnya secara gratis di internet. Bahkan untuk keperluan informasi yang disampaikan oleh media cetak dalam negeri kita dapat membacanya secara gratis dalam bentuk epaper, seperti yang disediakan oleh “PR” edisi epaper. Hal serupa dilakukan oleh media cetak lain yang telah menyediakan edisi epaper-nya.

Apa yang dilakukan oleh google, Wikipedia, Youtube, dan PR epaper menunjukan bahwa era ini sebagai abad gratisan. Hal inilah yang disebut oleh Rhenald Kasali sebagai cracking zone. Dalam bukunya yang diberi judul Cracking Zone (2011), ia menyebutkan bahwa cracking zone dicirikan oleh semangat bisnis yang mengusung jargon freemium alias gratis atau mendekati gratis—alih-alih premium atau berbayar mahal. Bagi mereka yang kreatif justru bisa mendapatkan keuntungan dari yang gratis, seperti melalui pemasangan google ads di blognya. Inilah era cracking zone.

Sang Cracker, Manusia Megakreatif
Para pelaku usaha di dalam cracking zone atau disebut cracker seperti yang dimaksudkan oleh Rhenald Kasali, tidak pernah kehabisan ide untuk terus memproduksi dan memasarkan karya-karya terbaiknya. Ia selalu mencari retakan dan celah baru ditengah himpitan kompetisi. Mereka tidak akan mengeluh dan berhenti berkreatifitas walaupun pembajakan terjadi dimana-mana atau bahkan karyanya sendiri yang dibajak orang. Justeru mereka akan mencari cara bagaimana agar karya yang dibajaknya mempunyai feedback untuk dirinya. Seorang penulis akan dengan senang hati jika tulisannya dimuat di banyak situs atau pun dikutif di media cetak walaunpun namanya tidak dicantumkan, terlebih lagi jika sumber dan namanya tercantum. Ia akan dengan ikhlas membagikan kontennya dengan gratis tanpa syarat. Hal itulah sejatinya yang dilakukan oleh seorang cracker. Menjadi lampu penerang tanpa harus menjadi lilin. Meminjam istilah sahabat Sukron Abdillah, aktifitas ini disebut sebagai ‘hibah digital’.

Teringat apa yang pernah dilakukan oleh sebuah grup band Nasional dari Bandung, yaitu Coil/Koil. Band yang sudah melanglangbuana di jagat music rock metal tersebut membuat satu album yang dipasarkan secara gratis melalui media online. Bahkan satu single-nya berkolarborasi dengan Ahmad Dhani, pentolan Band Dewa. Apakah Koil mendapatkan keuntungan dari kreatifitasnya tersebut? Dalam suatu wawancara di sebuah situs, Koil mengakui bahwa keuntungannya didapatkan dari berbagai tawaran manggung dan penjualan berbagai aksesoris. Rugikah Koil dengan membagi lagunya secara gratis? Tentu saja tidak!
Hal serupa dilakukan oleh Pandji Pragiwaksono, seorang presenter dan penyanyi. Ia menyebarkan lagunya secara gratis disitusnya seperti ditulis oleh Rhenald Kasali (2011), bahkan isi lagunya sendiri menyuruh netters untuk membajak lagunya. “Kalau suka lagu ini ngga papa. Bajak aja dan bantu gue sebarkan ke seluruh negeri. Kita minta pendidikan gratis, tetapi lagu dibajak mengapa nangis?”

Baru-baru ini sutradara dan produser film Nia Dinata, akan memproduksi filmnya secara online seperti diberitakan “Pikiran Rakyat” (26/02). Walaupun tidak disebutkan apakah film tersebut akan dipasarkan secara gratis atau tidak, namun melihat semangat pelaku cracker, sepertinya film tersebut akan dipasarkan secara gratis. 

Semangat ‘hibah digital’ bahkan diformalisasikan menjadi sebuah faham baru di Swedia yaitu Kopimisme, sebuah faham yang melakukan ritual kopi mengkopi (copypaste) dan penggandaan dokumen digital (detik.com, 02/02). Ini mengindikasikan bahwa hibah digital merupakan semangat yang tidak akan pernah hilang di era revolusi informasi, bahkan di dunia konkrit pun, hibah sudah menjadi semangat baru perusahaan-perusahaan komersil dengan apa yang dikenal sebagai social enterprise atau social entrepreneurship.
["PR"/19/03/2012]

2 comments for "Hibah Digital"

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...