Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bermedia Sosial, Bukan Hanya Berjejaring


Apa sih media sosial itu?

Pertanyaan tersebut seperti pertanyaan guyonan, disaat media sosial sudah populer sejak beberapa tahun lalu, kita baru mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan media sosial. Selama ini, kita menganggap bahwa media sosial tak lebih dari Facebook, Blog, Twitter, atau jenis-jenis media yang di dalamnya memungkinkan seorang netizen bisa membuat akun dan berbagi konten. Di samping media yang telah disebutkan, sebagian dari kita mengenal media sosial karena dampaknya, baik positif atau karena pengaruhnya yang negatif.

Penelitian-penelitian tentang dampak internet atau lebih khusus media sosial telah banyak dipublikasikan dari berbagai sudut pandang ilmu; ekonomi, politik, sosial, budaya, bahkan hankam. Pada sisi lain, tidak banyak para akademisi yang mengkaji secara filosofis tentang media sosial, jika pun ada hanya berkutat pada permukaan luarnya. Pada sisi lain, jarang sekali referensi yang mengkaji secara komprehensif tentang media sosial. Beberapa buku yang muncul tentang media sosial berkutat pada cara dan pemanfaatannya. Namun tidak menyentuh persoalan ontologi yang sering menjadi rujukan radikal pada pencari ilmu.

Kehadiran buku ‘Media Sosial; Persfektif Komunikasi, budaya, dan sosioteknologi’ seakan menjadi jawaban atas kelangkaan tersebut. Rully Nasrullah, seorang akademisi, praktisi cyberculture, mengkaji persoalan media sosial dari hulu hingga hilir. Media sosial, baginya bukan hanya mempersoalkan dampak, jika benar-benar ingin dikaji secara radikal, juga persoalan filosofis. Buku ini menjadi penyempurna dari dua buku yang lebih dulu lahir dari tangan dinginnya; ‘Komunikasi antar Budaya di Era Siber’ dan ‘Teori dan Riset Media Siber’

Filosofi Media Sosial
Media sosial tidak tiba-tiba muncul. Ia juga tidak sekadar berada di permukaan. Eksistensi permukaan media sosial bermula pada persoalan mendasar interaksi antar manusia. Bagaimana memperpendek jarak, mengefisienkan biaya, memefektifkan waktu. Internet pun menjadi perantaranya sebelum media sosial populer. Internet menjadi cikal bakal lahirnya cyberspace sebagai tempat bernaungnya media sosial.

Keberadaan media sosial berbarengan dengan  keberadaan dan cara kerja komputer yang diintegrasikan dengan tiga cara bentuk bersosial melalui pengenalan, komunikasi, dan kerja sama  sehingga membentuk sistem bermasyarakat. Media sosial mengintegrasikan sistem tersebut melalui jaringan internet/ ruang siber.  

Dalam ruang siber ada sebuah sistem hubungan antarpengguna yang bekerja berdasarkan teknologi komputer yang saling terhubung. Keterhubungan antarpengguna itu sekaligus membentuk jaringan layaknya masyarakat di dunia konkrit lengkap dengan tatanan, nilai, struktur, sampai pada realitas sosial. Secara ontologis, sistem sosial di dalam jaringan ini seperti disebutkan oleh Fuch (2014) disebut sebagai Techno-social system, yaitu sebuah sistem sosial yang terjadi dan berkembang dengan perantara sekaligus keterlibatan perangkat teknologi.

Media sosial sebagai tempat berinteraksinya masyarakat di era siber memiliki ciri khas. Ciri inilah yang berdampak dan berpengaruh terhadap cara, pola, dan bentuk interaksi serta manfaatnya bagi kehidupan masyarakat.  Secara epistemologis, ragam manfaat ini bersumber dari internet yang menghubungkan antar titik jaringan sehingga membentuk jaringan sosial. Karena berada di dalam media jaringan, seorang pengguna internet bisa membuka atau menutup diri saat berinteraksi. Ia bisa memberikan identitas aslinya atau justeru mewujud dalam identitas palsu. Simulasi ini belum disadari oleh sebagian besar pengguna media sosial, sehingga bisa dengan mudah memberikan kepercayaannya kepada pengguna lain.  Melalui karakteristik media sosial, Rully Nasrullah tidak hanya mengkaji secara ontologis, juga epistemologis, dan aksiologis yang mengakibatkan pada dampak, baik positif ataupun negatif.

Melalui kajian filosofis, Penulis buku ‘Media Siber’ ini memberikan gambaran mendasar apa, siapa, dan bagaimana media sosial yang selama ini sudah akrab dengan para netizen. Sehingga pembaca mendapatkan gambaran utuh tentang kajian media sosial. Melalui bentuk-bentuk media sosial yang disajikan dalam Bab Tiga, pembaca akan bisa membedakan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam media sosial. Karena pada dasarnya, media sosial bukan hanya persoalan berjejaring melalui media yang saat ini sedang populer seperti facebook, twitter, instagram, ataupun Path. Namun juga bentuk media lain yang saat ini akrab digunakan pengguna seperti Line, WhattsApp, BBM, ataupun blog.

Bentuk-bentuk tersebut berbeda dalam menggambarkan realitas di media sosial. Pengguna bisa menciptakan realitas sosial sesuai dengan kehendaknya. Sebagai sebuah aplikasi, realitas dibentuk berdasarkan setelan-setelan. Realitas media sosial sendiri terdiri dari realitas ruang dan realitas waktu. Apakah kita akan terhubung selama 24 jam dengan siapapun atau kita memilih hanya terhubung dengan beberapa orang saja. Begitu juga dengan persoalan ruang, pengguna bisa memilih dengan siapa bersosial.

Sebagai buku kajian komprehensif, buku ini tidak hanya mengkaji persoalan medasar dari media sosial. Juga budaya permukaan yang dihasilkan dari interaksi media sosial seperti budaya media sosial; bahasa, komunitas, potensi riset, demokrasi, dan implikasi terhadap berbagai kajian dalam ilmu sosial, budaya, dan teknologi serta etika komunikasi.

Buku ini juga dilengkapi dengan berbagai data faktual atas kajian-kajian teoritis serta contoh-contoh kasus yang terjadi dalam konteks interaksi di ruang siber. Sehingga memudahkan pembaca dari berbagai kalangan untuk memahami teori-teori yang asing dan kening berkerut. Dus, buku ini tidak hanya direkomendasikan untuk mahasiswa ilmu komunikasi yang mendapatkan mata kuliah New Media/ Media Siber, Jurnalisme Siber, Cyber Public Relations. Juga bagi masyarakat umum yang sudah bergaul dengan media sosial.

Walaupun komprehensif dari sisi kajian, buku ini masih dianggap terlalu general. Karena tidak memberikan tuntunan praktis bagi para praktisi yang bergelut dengan media sosial, karena sifat kajiannya yang hanya sebagai pondasi. Wajar, jika kehadiran buku ini masih perlu diterjemahkan ke dalam buku-buku praktis. Seperti diungkapkan penulis, ia sedang menulis buku Cyber Public Relations, semoga cepat terbit, agar kehadiran Media Sosial betul-betul menjadi pondasi yang utuh karena ada rangka bangunan di atasnya. Bravo!



                      

4 comments for "Bermedia Sosial, Bukan Hanya Berjejaring "

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...