Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Fajar Ciptandi, Pengusaha Batik Ceria

Menjadikan  Wirausaha Sebagai Karir Terakhir

Fajar, kedua kiri. Sumber: dwaya manikam.
Ketertarikannya ke dunia usaha nyaris tanpa mimpi. Ia tertarik ke dunia batik murni karena mendapatkan chemistry saat mengambil mata kuliah batik pada jurusannya. Ia pun tertarik ke dunia usaha karena memanfaatkan peluang yang terpampang di depan mata  saat mengikuti pameran hasil karya mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (ITB). Saat itu karya batik tulisnya yang merupakan hasil praktik mata kuliah dibeli oleh seorang pengunjung seharga 2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) tanpa ada proses tawar menawar harga.

“Saat itu setiap karya masterpiece mahasiswa dipamerkan di kampus ITB, saat ada pengunjung yang menawar, dengan begitu saja saya tawarkan tanpa berfikir panjang, eh ternyata gak ditawar lagi,”ujar Fajar Ciptandi saat ditemui di kampus STISI Telkom beberapa waktu lalu dengan wajah sumringah dan bangga.

Saat itulah Lajang kelahiran Bandung 26 tahun yang lalu tersebut berfikir untuk memanfaatkan peluangnya dalam usaha membatik, apalagi saat saat menjual masterpiece karyanya tersebut jika dilihat dari harga pokok produksi (HPP) hanya seperempat dari harga yang dijual, atau untung 4 kali lipat. Ia pun mencoba membuat batik yang sejenis. Setiap ada peluang dan kesempatan, karyanya selalu terjual. 

Mahasiswa Pascasarjana ITB ini mulai fokus usaha batik pasca lulus kuliah tahun 2009. Cita-citanya menjadi pengusaha mengalir begitu saja sesuai dengan peluang dan kesempatan yang ada di depan mata. Saat lulus kuliah, karena pengalaman karyanya dihargai dengan nilai tinggi ia mencoba untuk menjual karya-karyanya kembali. Kesempatan lain datang, ketika profosal keikutsertaan pelatihan kewirausahaan yang diajukan ke Bank Mandiri lolos dan ia pun mendapat gemblengan untuk menjadi pengusaha.

Fajar Ciptandi, Anak Muda dengan empati tinggi terhadap pemberdayaan. Sumber: afteride.com
Fajar Ciptandi tidak fanatik  bahwa dirinya harus menjadi seorang pengusaha. Oleh karena itu, saat ada peluang bekerja, ia pun menjalaninya dengan enjoy. Tetapi kegiatannya membatik menjadi aktifitas hoby yang tidak bisa dihentikan, menjadi employee pun ia akhir dan hanya bertan satu tahun. Ia harus memilih salah satu, menjadi employee atau self-employe/ owner? Hal itulah yang membuatnya lebih memilih resign dari tempatnya bekerja dan lebih memilih untuk fokus untuk membatik dan memilih untuk berwirausaha. Sejak saat itulah ia mulai meyakinkan diri bahwa berwirausaha harus menjadi karir terakhirnya.

Alasan yang pundamental kenapa dosen desain di STISI Telkom (kini Tel-U) ini memilih berwirausaha, karena apa yang dilakukannya sekarang merupakan sesuatu yang ia suka (hoby) yang sekaligus menghasilkan uang. Ia tetep bisa santai, menjalani hoby sekaligus juga berpetualang di dunia batik dengan tetap mendapatkan hasil dari ‘petualangan’nya tersebut. Adapun pekerjaannya sebagai dosen, ia tetap menikmatinya karena mengajar hanya pada jadwal-jadwal tertentu sehingga banyak waktu luang untuk lebih fokus membatik.

Ia sangat menikmati usahanya tersebut, selain karena menggambar adalah hobynya sejak kecil, selama 3 (tiga) tahun fokus ke batik, ia tidak pernah mengalami kerugian yang berarti seperti dirasakan oleh pengusaha lain yang jatuh bangun. Kerugian ia anggap wajar sebagai konsekuensi usaha. Justeru ia berpandangan sangat positif karena secara mental menjadikannya punya tanggung jawab dan punya keberanian untuk mengambil keputusan. “Di saat orang berfikir aman, saya berjuang. Dan saya yakin hasilnya nanti akan saya rasakan,” tegas Fajar.

Batik Ceria untuk Anak Muda
Salah satu corak Batik hasil kreasi dan tangan dingin Fajar Ciptandi. Sumber: Dwaya Manikam
Mengusung brand ‘Manikam Indonesia’, batik hasil kreasinya sangat segmented dan ekslusif. Sifat khas keindonesiaanya muncul dalam nama manikam, orang yang mengenakannya punya prestise. Nama Manikam sendiri artinya perhiasan, perhiasan tentu memberikan nilai estetika pada orang yang memakainya, lebih cantik dan menarik. Karena cukup ekslusif dengan target pasar kelas menengah ke atas. Produk Manikam Indonesia dibuat di atas material silk ekslusif atau sutra untuk pashmina atau selendang dengan harga satu jutaan ke atas. Karena masih jarang peminatnya, outputnya pun lamban satu bulan hanya laku 2-3 produk sehingga berpengaruh terhadap perputaran modalnya yang melambat.

Kesadaran bahwa modal harus terus berputar dalam tempo yang cepat mendorong Peraih  2nd Frize Asean Young Artisan Intextile Thailand ini menciptakan produk lain dengan target pasar khusus anak muda dengan brand “Dwaya Manikam”, harganya relatif terjangkau dan murah berkisar Rp.125.000, - Rp 265.000,- Dengan keterjangkauan harga tersebut, perputaran uang perbulannya bisa kontinyu. Adapun produk “Dwaya Manikam” tersebut adalah dress, kemeja dan accesoris dengan jenis batik tulis dan cap.

Melalui kreasi batiknya, Fajar tidak merasa harus bersaing dengan produk batik lain yang banyak di pasaran. Karena menurutnya, batik hasil kreasinya lebih segmented untuk anak muda dan remaja. Jika selama ini kesan batik untuk acara formal dan terkesan untuk usia dewasa, maka batik hasil kreasinya sangat anak muda dan remaja. Hal ini dapat dilihat dari warna, gambar, dan desain batik yang ia ciptakan menunjukan tampilan-tampilan yang ceria; colouris, bright, contras, dan eyecatching.

Permintaan Pasar Internasional
Produk yang unik dan berkualitas tidak akan didiamkan pasar. Hal ini sangat dirasakan oleh Fajar. Pertengahan tahun 2010, pasar sudah membaca produknya. Fajar juga mulai konsisten untuk melakukan produksi. Ia sudah bisa memperkirakan jumlah produksinya dalam sebulan. Pasarnya sudah menetap berada di Bali dan Jakarta.

Tidak hanya Bali dan Jakarta, permintaannya kini sudah mulai datang dari pasar luar negeri. Namun untuk sementara dirinya belum menyanggupi permintaan tersebut karena terbentur tenaga kerja yang masih minim. Di Bandung sendiri, sebagai sentra produksi kain batik hasil kreasinya belum tersentuh. Ia mengakui bahwa pasar Bandung masih sulit untuk di taklukan. Padahal ia sudah coba masuk ke beberapa market di Bandung.

Usaha yang dijalankan Fajar tidak hanya membuat dirinya kaya, namun juga berkontribusi bagi lingkungan masyarakat tempat ia tinggal. “Saya pengen usaha yang saya bikin, gak hanya sekedar punya perputaran uang saja dan uangnya untuk saya, saya ingin usaha ini berdampak untuk pemberdayaan masyarakat di tempat saya tinggal. Jadi konsep yang saya bangun akhirnya support untuk pemberdayaan masyarakat,”papar Fajar bersemangat.

Saat ini ia mempekerjakan masyarakat Cicadas yang merupakan lingkungan tempat tinggalnya. Ia tidak hanya mempekerjakan namun juga memberi peluang kepada para pekerjanya untuk memanfaatkan limbah batik untuk dibuat kreasi baru berupa aksesoris. Desainnya sendiri dibuat oleh Fakar dan hasilnya penjualannya untuk para pekerja.

Kunci keberhasilan
Konsistensi. Merupakan kata kunci untuk mencapai kesuksesan dan keberhasilan. Itu menjadi kunci. Banyak teman-temannya yang terjun ke dunia usaha dengan produk-produk yang keren dan menarik. Namun karena tidak memiliki konsistensi, pada pertengahan tahun usahanya berjalan produknya menurun, moodnya pun ikut menurun sehingga berhenti berproduksi.

Hal yang serupa dirasakan Fajar. Ia seringkali merasakan moddnya turun karena dipengaruhi oleh permintaan yang menurun. Namun ia paksakan untuk tetap berproduksi, ia tetap konsisten untuk melakukan produksi walaupun belum ada permintaan. Walaupun kadang ia merasa boring tetap memaksa dirinya untuk produksi sehingga tetap jalan.

Karena konsistensinya tersebut, kini outcome kotor perbulannya mencapai rata-rata 15.000.000,- (Lima Belas Juta Rupia), dengan margin profit 20-35 % atau sekitar 3.000.000-5.250.000.

*Tulisan ini dimuat Majalah Sarjana Kewirausahaan tahun 2012 



Post a Comment for "Fajar Ciptandi, Pengusaha Batik Ceria"