Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Menjadi Doktor Tanpa Karya!

sumber gambar: nu online
Bagi akademisi atau berprofesi sebagai pengajar di perguruan tinggi, melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi menjadi mimpi atau bahkan keharusan. Karena isunya, dosen tidak lagi terbatas pada pendidikan S2, tetapi S3 dengan gelar doktor atau Ph.D jika dari luar negeri.

Tidak semua pengajar mendapatkan kesempatan tersebut, dengan program-program penggenjotan pendidikan paling tinggi ini menunjukan bahwa prosentasenya masih sedikit yang mengenyam pendidikan S3. Lambat laun program ini mulai kelihatan, kini anak-anak muda dengan usia 30an tahun sudah cukup banyak yang mengenyam pendidikan S3, dan mereka mendapatkan gelar doktor di bahwa usia 40 tahun atau di atas 30 tahun. Luar biasa.

Ada yang bilang mereka hebat. Mereka sendiri tidak merasa mereka hebat. Atau justeru sebaliknya mereka merasa paling hebat karena masih sedikit teman-teman seprofesinya mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan S3.  Di samping karena seleksi masuknya yang ketat, juga biayanya yang tidak murah. Jika harus ke swastapun sama saja. Belum lagi prosesnya seakan jungkir balik dengan tugas-tugas. Belum lagi mengejar jurnal internasional. Dengan keterbatasan bahasa dan ketidakbiasaan melakukan penelitian, hal ini menjadi cukup berat.

Lalu apa setelah lulus S3 dan berhasil mendapatkan gelar doktor?

Seorang senior berkelakar, jika doktor hanya mampu menjadi jago kandang, berarti gagal. Gak pernah ada yang mengundang jadi pembicara misalnya minimal dari kampus sendiri. Apalagi dari kampus luar. Artinya, kampus sendiri ataupun luar tidak tahu sama sekali apa yang menjadi keahliannya. Ada benarnya juga kelakar tersebut. Sudah pusing-pusing kuliah, bayar mahal-mahal, waste time, meninggalkan keluarga, lalu hasilnya nihil.

Inilah yang ditakutkan, menjadi semacam motivasi buat saya sendiri, jika kemudian mengenyam pendidikan tertinggi ini. Keahlian saya harus diketahui orang. Bagaimana caranya? Banyak cara! Salah satunya adalah bergaul dengan pernak-pernik akademik. Misalnya; tulisan sering muncul diberbagai media massa, agar popular sebagai intelektual publik. Dari sisi akademik juga harus sering menelurkan jurnal ilmiah, dan tentunya harus punya karya utuh dalam bentuk buku orisinal yang menunjukan siapa kita.

Apakah sudah cukup? Belum!

Yang paling penting adalah bagaimana seorang doktor juga tidak hanya berkutat dengan persoalan-persoalan akademik. Menjadi keniscayaan untuk menjadi seorang intelektual. Meminjam Ali Syariati, menjadi intelektual tercerahkan. Pikirannya menembus langit tangannya menggenggam lumpur. Syariati mengatakan:
“Seorang intelektual tercerahkan adalah ia dengan tangan yang sama menuliskan ayat-ayat suci dari langit serta terbenam dalam genangan lumpur dan mengayunkan kayu untuk menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak memperjuangkan ayat-ayat Allah dan hak-hak masyarakat”.
Seorang yang ahli dan menjadi intelektual public tidak hanya menguasai ilmu dalam bidang akademiknya saja. Ia harus mau turun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengetahui persoalan-persoalannya dan menyodorkan tangannya untuk membantu mereka. Seorang intelektual selalu resah dengan keadaan sekitarnya. Tidak hanya resah dengan persoalan akademiknya.

Jika bidang akademik saya misalnya berkaitan dengan isu-isu masyarakat terkini atau biasa disebut dengan era revolusi industry 4.0 atau istilah Fukuyama dengan Disruptions yang kemudian dijadikan judul buku oleh Prof. Rhenald Kasali, maka isu-isu yang saya angkat relevansinya akan kuat dengan tema tersebut. Apa, siapa, kenapa, dimana, dan bagaimana menghadapi era tersebut. Ini akan menjadi semacam rujukan bagi masyarakat.

Orang-orang yang concern terhadap isu yang dikuasainya dan secara konsinten berbagi dan berpeduli dengan dunia tersebut, pada dasarnya ia telah melakukan action sebagai intelektual. Ia tidak hanya menjadi pemikir di bidangnya, juga turut terjun ke gelanggang untuk menyelamatkan mereka yang terjebak atau tidak tahu jalan di hutan belantara revolusi Industri.

Sebelum menjadi doktor, marilah kita berproses menjadi intelektual. Agar tidak hanya berkutat pada bidang akademik yang selalu duduk di atas menara gading. Marilah terjun ke tengah-tengah masyarakat agar proses intelektualitasnya terasah sehingga ketika menjadi doktor sekaligus kita juga menjadi intelektual tercerahkan seperti ditulis oleh Ali Syariati, serang arsitek revolusi Islam Iran.

Dengan begitu, karya pun akan dengan sendirinya mengikuti, karena ketika banyak sekali isu yang menjadi pemikiran kita, mau tidak mau kita menuangkannya dalam bentuk tulisan tidak hanya berada dalam pikiran. Konsep yang bagus adalah konsep yang sudah dituangkan dalam bentuk sketsa atau tulisan. Sehingga mudah ditemukan dan dipelajari oleh orang lain. 

Jangan menjadi doktor tanpa karya, meminjam istilah seorang teman ia masuk kategori Jaringan Intelektual Kagok. Mari berkarya!


2 comments for "Menjadi Doktor Tanpa Karya!"

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...