Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Film ‘?’ dan Pluralisme; antara Akidah dan Muamalah


Selama konflik antar umat beragama dan berbeda agama masih mengemuka dan menjadi bagian dari permasalahan bangsa ini, maka isu pluralisme akan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari wacana masyarakat.

Beberapa tahun lalu, ketika Gus Dur meninggal Dunia, sempat mencuat bahwa isu ini akan padam karena Sang Bapak Pluralisme sudah tiada. Beberapa kejadian yang dipicu oleh perbedaan cara memandang dunianya tentang kebebasan menganut keyakinan semakin menjadi, yang paling Baru adalah kasus Ahmadiyah, bahkan menteri agama turut campur untuk melakukan ‘penertiban’ terhadap eksistensi Ahmadiyah.

Keberagaman yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia sepertinya masih belum menemukan benang merahnya, sepertinya masih saja ada sebagian masyarakat yang tidak rela jika eksistensi masyarakat lain yang memiliki perbedaan keyakinan, hidup tenang dan damai dalam lingkungannya.

Pluralisme yang tidak bisa hidup secara tentram di tengah sebagian masyarakat memang masih diperdebatkan, isu ini diambil alih oleh fatwa MUI yang kemudian mengharamkan faham pluralis tersebut. Namun sejauh yang saya fahami, pluralism yang diharamkan oleh MUI berkaitan dengan masalah pencampuradukan Akidah atau Ibadah yang berdimensi individu, sementara itu untuk masalah Ibadah Sosial, justeru MUI pun mengajurkannya.

Isu pluralism ramai kembali menjadi pembicaraan masyarakat setelah tayangnya film ‘?’ (tanda tanya). MUI pun melalui walinya mengeluarkan pernyataan tentang akibat negative yang akan ditimbulkan oleh pengaruh film tersebut. Begitupun cendekiawan muslim Adian Husaini menganggap bahwa film tersebut dapat mendangkalkan akidah umat. Saya sendiri belum menontonnya. Hanya saja dalam pandangan saya, sejauh tidak mencampuradukan antara masalah akidah dan ibadah individu antar agama, tayangan tersebut tidak akan membayakan umat.

Pluralisme antara Akidah dan Muamalah
Berbicara masalah Akidah, setiap agama berbicara dengan tegas. Adanya masing-masing Tuhan (penyebutan) dari setiap agama merupakan satu bukti. Bukti ini merupakan hasil dari persaksian atas agamanya. Pembuktian pengakuan terhadap Tuhannya masing-masing diwujudkan dalam bentuk Ibadah. Ibadah diatur dalam hukum-hukum agama. Ibadah sendiri memiliki dimensi, antara yang individu atau hubungan vertical antara penganut dan Tuhannya dan dimensi social yaitu antara sesama penganut dalam agama ataupun antar berbeda agama. Berkaitan dengan ibadah individu setiap penganut diharuskan mematuhi hukum syari’at yang diatur dalam agamanya masing-masing. Aturan ini merupakan hukum yang diturunkan Tuhan terhadap masing-masing Nabi yang kemudian diikuti oleh para pengikutnya.

Nabi Muhammad SAW pernah mengeluarkan piagam madinah, salah satunya adalah mengatur hubungan antar umat yang berbeda agama saat itu. Piagam ini diakui oleh beberapa cendekiawan muslim seperti Nurcholis Madjid sebagai cikal bakal dari Pluralisme. Tapi yang perlu mendapatkan catatan disini, pluralism yang dimaksud adalah dalam arti hubungan sosial, mengakui dan menghormati umat lain yang memiliki keyakinan yang berbeda, serta menjalin hubungan ketetanggaan dengan mereka.

Kaum pluralis menyatakan bahwa semua agama memiliki tujuan yang sama. Dengan kata lain teologi pluralis dirumuskan dengan ‘Satu Tuhan dalam banyak jalan’. Hal ini juga yang menjadi salah satu pernyataan dalam film ‘?’ (tanda tanya), walaupun seseorang berpindah agama bukan berarti meninggalkan Tuhan sebelumnya, karena pada dasarnya tetap  menuju Tuhan yang Satu (itu itu juga). Inilah yang menjadi alasan kenapa film tersebut bisa mendangkalkan akidah Umat, berkaitan dengan keyakinan terhadap Tuhan dari berbagai agama yang dianggapnya sama saja. Pertanyaannya kemudian jika memang sama, kenapa memiliki aturan yang berbeda dalam soal hubungannya dengan Tuhan dari  masing-masing agama?

Lain halnya dengan masalah ibdah sosial atau hubungan antar umat penganut agama, setiap agama memiliki misi kemanusiaan, sebagaimana halnya termaktub dalam piagam madinah yang mengatur hubungan antar masyarakat yang berbeda agama. Misi kemanusiaan direalisasikan melalui saling pengertian, tolong menolong, saling mengasihi antar sesama umat, baik yang satu agama ataupun berbeda agama. Sangat dianjurkan jika satu umat yang hidup dalam suatu lingkungan masyarakat yang beragama saling menolong dalam berbagai hal, tetapi tetap tidak dengan melunturkan hukum yang diatur oleh agamanya.

Dalam suatu kesempatan, Jalaluddin Rakhmat pernah bercerita, ketika dirinya disuguhi masakan daging Babi oleh keluarga Kristen saat dirinya berkunjung ke rumahnya. Untuk menghormatinya bukan berarti bahwa Kang Jalal harus ikut makan daging babi tersebut, tetapi bukan berarti juga dia harus alergi terhadap semua makanan keluarga Kristen tersebut karena tidak terjamin label halalnya. Selama saling percaya bahwa ada makanan yang tidak ada kandungan babinya, bukan berarti semua makanannya ditolak. Oleh karena itu, pluralism yang dibangun antar umat beragama, dengan tidak melanggar hukum dan prinsip agama dari masing-masing penganut, terlebih lagi tidak mencampuradukan/ mendangkalkan permasalahan yang bersangkutpaut dengan akidah. 

Menurut saya agama saya yang paling benar, tetapi tentu bukan untuk diumbar dengan mengatakan bahwa agama anda sesat! Begitupun bagi anda yang tidak seiman, boleh dan sah mengatakan bahwa agama anda yang paling benar, tetapi bukan berarti anda boleh mengatakan bahwa agama saya agama terror dan menyesatkan.

Wallahu'alam


Post a Comment for "Film ‘?’ dan Pluralisme; antara Akidah dan Muamalah"