![]() |
Sumber Gambar: haionline |
Film ini sudah saya tonton awal tahun 2016. Filmnya tidak menarik. Tidak ada bumbu-bumbu cinta apalagi sex. Jauh dari kesan intimidasi dan atau action. Ceritanya datar. Pemainnya juga bukan selebriti yang sering nongol di layar kaca yang saya tonton.
Beda dengan film The Bang Bang Club yang menawarkan sedikit konflik, cinta dan sedikit bumbu sex. Spotlight betul-betul bersih. Produser sepertinya betul-betul ingin menghindari bumbu-bumbu yang tidak perlu bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan cerita.
Bagi penikmat action, film ini akan terasa monoton. Begitu juga bagi penyuka film drama. Namun buat sebagian yang menikmati kedalaman cerita, kekayaan pengetahuan, seni sinematografi, film ini sangat menarik. Walaupun tanpa teknik-teknik wah. Wajar jika film ini mendapatkan beberapa penghargaan dalam beberapa kategori.
Bagi saya, yang sedikit banyak mendalami tentang ihwal media dan komunikasi termasuk di dalamnya Jurnalistik, film ini semacam percikan kecil di tengah boomingnya media digital, baik media online mainstream, abal-abal, atau citizen journalism. Film ini seakan menampar keterburu-buruan praktik jurnalistik di era digital.
Film ini mengajarkan kehati-hatian dalam menyampaikan informasi yang benar kepada khalayak. Kebenaran ini yang dijadikan senjata oleh awak redaksi untuk tetap maju menyampaikannya. Walaupun secara emosional, awak redaksi sangat dekat bahkan menjadi bagian dari lingkungan yang akan diberitakan.
Bagaimana tidak, guru dan tokoh agama yang menjadi panutan masyarakat harus harus dibongkar kebobrokannya. Semua kejahatan yang telah dilakukan belasan bahkan puluhan tahun pada akhirnya akan diketahui oleh publik. Bagaimana perasaan masyarakat yang sudah merasa terlindungi dan menganggap bahwa tokoh agama tersebut adalah wakil Tuhan yang menjadi pelindungnya di bumi. Betapa sedih.
Namun bukan persoalan ketokohan atau emosi masyarakat yang ingin saya sampaikan. Lebih kepada pelajaran yang bisa diambil dari film ini, yaitu bagaimana menyampaikan berita yang benar-benar valid, akurat, dan bisa dipertanggungjawabkan kepada publik.
Media dan Tanggung Jawab Sosial
Membuat berita dan menyampaikan informasi bukan hanya tanggung jawab terhadap pekerjaan sebagai seorang jurnalis/ wartawan. Juga bentuk tanggung jawab terhadap masyarakat. Pers bagaimanapun adalah lembaga publik. Harus mampu melindungi publik. Harus berpihak terhadap publik dibandingkan segelintir orang. Peran tanggung jawab sosial inilah yang dipegang teguh oleh Boston Globe.
Beratnya tanggung jawab terhadap publik mendorong Pimpinan Redaksi yang baru, Marty Baron, untuk mengangkat kembali kasus pelecehan seksual terhadap anak-anak yang dilakukan oleh Katedral Law atau keuskupan Gereja Katolik di Boston. Kekerasan seksual terhadap anak sudah terjadi belasan bahkan puluhan tahun di bawah kepemimpinan Katedral Law.
Jurnalis yang lahir dan besar di Boston tidak yakin jika ini harus benar-benar dilakukan, apalagi beberapa kali juga pernah diangkat beritanya walaupun tidak masuk rubrik investigasi ‘Spotlight’. Marty sebagai pimpinan redaksi meyakinkan jika ini harus masuk Spotlight Karena terkait dengan tanggung jawab kepada publik.
Benturan-benturan untuk mengungkap semakin terasa. Penentang tidak hanya datang dari kalangan konservatif, juga dari kalangan yudikatif, pihak sekolah, termasuk juga pengacara. Bahkan data-data yang dikirimkan ke redaksi Boston Globe beberapa tahun ke belakang sama sekali tidak diketahui oleh tim ‘Spotlight’, hilang. Robby sebagai redaktur pelaksana ‘Spotlight’ bahkan mendapatkan kecaman dari teman dekatnya, walaupun pada akhisrnya dengan sangat terpaksa memberikan dukungan data. Intervensi datang dari berbagai penjuru.
Namun Marty berkeyakinan jika mampu menyampaikan kebenarannya, public juga akan mendukung, walaupun pasti akan banyak sekali orang yang terpukul. “Pemain media bisa berkembang jika tanpa campur tangan pihak lain”, tegas Marty.
Setelah semua informasi terkumpul mulai dari korban, pelaku, pengacara, bahkan bagian psikologi keuskupan. Berita tidak juga diizinkan untuk diterbitkan sebelum tim ‘Spotlight’ betul-betul mendapatkan informasi dari semua pihak yang berkepentingan agar berita yang diterbitkan betul-betul bisa dipertanggungjawabkan.
Inilah bentuk kehati-hatian bagaimana pers bukan saja menjadi corong informasi, namun juga informasi tersebut betul-betul bisa dipertanggungjawabkan dengan kebenarannya kepada publik.
Bagi umat Islam atau jurnalis muslim, menyampaikan berita yang benar, akurat, tabayun, baik, dan bertanggung jawab sudah ada tuntunannya dalam Al-QurĂ¡n sehingga tidak terjebak pada pemelintiran dan penghasutan melalui berita. Misalnya salah satu ayat dalam Surat Al-Hujurat,”Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum….”
Ayat ini bukan hanya soal menyampaikan kebenaran, tapi juga mengajarkan kehati-hatian seorang pengabar berita akan dampak pemberitaan tersebut merugikan dirinya atau yang diberitakannya. Inilah salah satu saja dari beberapa tanggung jawab sosial media terhadap publik.
Pukulan Bagi Media Online
Salah satu praktik media online adalah adanya tuntutan realtimenya. Tuntuntan ini mengharuskan berita tersampaikan secepat-cepatnya. Sehingga dalam praktiknya memunculkan kesan keburu-buruan. Jika saja pembaca media online tidak secara realtime juga membacanya, makan informasi yang dicerna akan terkesan sepotong-sepotong. Bahkan bisa jadi berita yang disampaikan tidak secara berimbang tersebut berita susulannya disampaikan pada keesokan harinya Karena menunggu update dari sumber berita. Kadang media online memberitakan satu informasi dari sumber yang tidak hidup secara realtime, misalnya media sosial. Wajar beritanya pun tidak utuh, tanpa ada konfirmasi dari sumber berita.
Jika kualitas berita rata-rata seperti digambarkan di atas, maka sudah pasti beritanya kurang memenuhi kriteria sebagaimana tuntutan dari normativitas sebuah berita; benar, berimbang, terkonfirmasi, dan lain sebagainya. Sehingga berita menjadi tidak berkualitas. Inilah yang menjadi salah satu masalah pemberitaan yang diangkat oleh ‘Spotlight’.
Di tengah semakin populernya media pemberitaan online, media cetak harus menyuguhkan berita yang betul-betul berkualitas. Sikap kehati-hatian, terkonfirmasi, narasumber yang berimbang, tidak buru-buru terbit sebelum semua narasumber memberikan kesaksian, betul-betul ditekankan oleh ‘Spotlight’.
Media Cetak Tak Akan Mati!
Akhir tahun 2015 lalu koran Suara Pembaharuan mengakhiri masa terbitnya. Padahal koran ini termasuk pioneer dan legendaris. Semua pemerhati pun sepertinya meramalkan bahwa umur koran cetak akan berakhir. Tahun-tahun sebelumnya salah satu korang terbesar di Amerika juga tidak terbit lagi. Padahal di Bandung, justeru ‘Inilah Koran’ walaupun dapat dikatakan sebagai koran lokal justeru terbit setelah eksis di ranah digital.
Salah satu percakapan yang cukup menarik terkait dengan praktik pemberitaan di era digital dan koran cetak tidak akan pernah mati adalah saat Marty mengatakan bahwa di tengah gempuran pemberitaan media online, koran cetak akan tetap hidup jika redaksi menyajikan berita-berita yang berkualitas seperti disodorkan oleh ‘Spotlight’. Satu hal lagi yang akan membuat sebuah media bertahan adalah tanpa intervensi. “Media bisa berkembang jika tanpa campur tangan pihak lain,” tegas Marty.
Jika merunut sejarah media, tidak ada satu media (massa) arus utama yang tutup gara-gara kehadiran media yang lebih baru. Koran cetak tidak mati setelah kehadiran radio, tidak juga mati setelah kehadiran televisi, begitupun radio memiliki pendengarnya sendiri walaupun sudah digempur oleh berbagai media televisi lokal. Bahkan di internet, orang bisa mengakses media jenis apaun dengan awalan ‘e’ tapi media yang lahir sebelumnya tetap eksis dan bertahan, walaupun barangkali dari sisi jumlah pembaca, pendengar, penonton berkurang, Karena aspek dinamika media dan regenerasi pengguna media***[]