Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kongres HMI, dari Nasyid Hingga Musik Rock

Rabu malam (10/11) di pelataran Gedung Insan Cita, Depok beberapa meter dari arah mesjid orang berkerumun dan bersorak. Saat itu sekitar pukul 11 malam. Cukup penasaran dengan kerumunan, akhirnya aku dekati sumber kerumunan tersebut. Orang-orang ramai bertepuk tangan dan khidmat menyaksikan suguhan acara. Tak lama suara halus melengking diiringi petikan gitar akustik mengalun. ‘Eumh, lagu nasyid’, gumamku dalam hati. Lagu yang tidak pernah aku suka, kecuali 2 grup saja dari sekian grup nasyid di era populernya dulu, satu grup dari Bandung yang kini sudah tiada, dimana syairnya masih ku ingat sampai sekarang, dan satu lagi adalah Grup Debu, yang sering nongkrong di layar kaca.

“Dik dengarlah Allah itu Esa,’ salah satu lirik nasyid yang kusenangi dulu, ya lagu nasyid yang dibawakan oleh salah satu kader HMI tersebut lirik dan syairnya mirip dari grup yang menyanyikan lirik tersebut.

Tepuk tangan hadirin menandakan lagu telah usai, petikan gitar akustik pun berhenti. MC memanggil kembali penyumbang lagu yang akan tampil dari daerah di luar Jawa, kalo gak salah HMI Cabang Bau-bau. 

Drum digebuk, bas dibetot, melody di gesek, melengking, keluarlah suara vokalnya, membawakan salah satu lagu dari Band Padi, yang liriknya ku ingat satu potong lirik,”begitu indaaah”.

Lagu padi selesai, MC memanggil kembali penyumbang lagu berikutnya, ia membawakan lagu-lagu popular dari Band yang sering menjadi ringtone sekelas kapten, d’massive, hello, yang liriknya tak pernah ku hapal.

Satu selesai, tiba-tiba senar bas dibetot, saya mulai curiga, ko sepertinya tidak asing dengan betotan Bas tersebut, benar saja, satu lagu dari aliran cadas, hiphop-punk-rock meluncur, lirik-liriknya keluar, eumh ini aku suka, lagu Pas Band.

Aku tak pernah mengerti, di dunia pencaci
Bersemi luka luka, kekerasan dan tangisan
Darah tubuhku lain denganmu
Jadi bubur cair dan banyak waktu, tuk menyinyir, tuk menyinyir, tuk menyinyir
Jadi pemenang yang kita pikirkan, jadi yang kuat yang kita pikirkan
Jadi yang kaya yang kita paksakan, jadi pemenang yang kita pikirkan
Hanya pemenang yang kita yakini, hanya yang kuat yang kita yakini
Yang kaya kita yakini jadi pemenang yang kita yakini…
Aku mulai bosan dengarkan kata kata
Aku mulai muak dengarkan ceritamu
Aku sudah lelah dengan harapan
Aku mulai mual dengarkan ceritamu

Saya suka lirik dan syair Pas Band, walaupun tidak sepopuler Gigi tapi musiknya menghentak, bisa mengekspresikan kejiwaan yang kesal terhadap keadaan negeri ini.

Petikan bas dan hentakan drum berhenti, lagu lawas ‘Putri’ dari Jamrud berteriak Keras, ‘Putriii Gadis Belia yang baru Meleeek,” sepotong dari lagu Jamrud aku tinggalkan karena harus bergegas ke Bekasi.

Di luar arena musik arus utama, sekelompok lain dengan menggunakan alat musik jalanan membacakan puisi dengan suara parau, berteriak menyuarakan keadilan.

Dalam perjalanan, saya berfikir tentang keragaman lagu yang dialunkan oleh kader dari berbagai daerah tersebut, seberagam pemikirannya tentang dunia dan kehidupannya, baik menyangkut masalah ideology agama, politik dan social.

Ya, ini adalah ciri dari keberagaman intelektualitas kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Masa kini, orang mungkin banyak yang tidak kenal apa dan siapa HMI. Bahkan media pun sering terpelintir dengan ‘I’nya adalah Indonesia bukan Islam. HMI adalah organisasi Mahasiswa Islam tertua dan mungkin terbesar se Indonesia, terlahir tahun 1947. Jika dilihat dari jumlah kader serta distribusinya di berbagai lini. Apalagi lini partai. 

Berbagai tokoh lahir dari organisasi ini, mulai dari tokoh politik, tokoh intelektual, pejabat public, advokat, ekonom, fasilitator. Dari mulai Nurkholis Madjid, Azzumardy Azra, Komarudin Hidayat, Akbar Tanjung, Anas Urbaningrum, Marwah Daun Ibrahim, Didik J Rakhbini, Andi Malaranggeng, Marzuki Ali, Sulastomo, Ridwan Saidi, Munir (Alm, pejuang HAM), Abu Bakar Ba’asyir, Miftah Faridl, M. Arifin Ilham, Adyaksa Dault dan masih banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu-persatu baik nasional ataupun di daerah baik yang terjun ke dunia politik yang popular, professional, karyawan, sampai aktifis yang tidak popular, seperti mendampingi anak jalanan, atau pemberdayaan masyarakat pinggiran yang berada di bawah garis kemiskinan.

Output dari HMI begitu beragam, berbagai profesi, berbagai pemikiran dari yang pundamentalis hingga liberal. Jika dikaitkan dengan perilaku keberagamaannya, barangkali juga dari yang sholatnya sangat rajin, rajin, kadang-kadang, sampai yang dibilang oknum. Inilah realitas. Di HMI terdapat berbagai latar belakang social pendidikan yang sangat beragam, ilmu alam, social, humaniora termasuk yang berlatar belakang pendidikan agama yang sangat kuat. Berbagai latar belakang ini menyatu dalam satu organisasi besar, yaitu HMI. 

Dengan berbagai latar belakang tersebut, sangat mungkin bahwa pengetahuan dan perilaku kader dan alumninya pun sangat berbeda, apalagi ideology Islam yang dikembangkan di HMI adalah Islam yang universal dan penuh toleransi, HMI tidak pernah mengarahkan pada satu titik pemikiran atau madzhab, sebab disini kita mengenal dan belajar banyak madzhab. Karena tidak hanya mengenal satu madzhab saja baik dalam pemikiran ataupun aplikasinya sehari-hari sehingga seringkali HMI diidentikan dengan pemikiran-pemikiran liberal, padahal tentu saja ini adalah medium pembelajaran kreatif dalam hal berfikir. 

Di HMI saya mengenal tokoh Wahhabi, Syi’ah, Salafi, Marxis, kritis, positivistic, di HMI juga saya mengenal Muhammadiyah, NU ataupun Persis yang berbeda-beda mempraktikan ritual agamanya. Karena pengenalan-pengenalan tersebutlah kader HMI sedikit banyak belajar toleransi namun bukan berarti ia sangat liberal dan bebas, karena liberal dalam sudut pandang HMI bukan kebebasan tetapi membebaskan, menyingkirkan penghalang dan belenggu agar mampu bersikap independen.

Melalui music nasyid, pop, pop rock, rock, hiphop punk rock seperti yang saya dengarkan di Kongres HMI, seolah menunjukan suasana yang tidak fanatic terhadap berbagai hal, ia toleran terhadap berbagai jenis aliran music seperti halnya sangat toleran terhadap berbagai agama dan pemikiran. Saya ingat masa ketika menjadi pengurus structural, walaupun belum pernah duduk di Jakarta namun suasana Kongres membuat saya rindu diskusi, saya rindu debat pemikiran yang penuh dinamika, intrik politik untuk pembelajaran, namun kini semuanya harus disudahi, karena masa mahasiswa adalah masa-masa hidup di alam semireal, kini ku hidup di dunia nyata yang harus dihadapi secara nyata pula, pengalaman di HMI semoga menjadi bekal untuk Hidup di tengah masyarakat.
Bila pun kini hidupku belum bermanfaat untuk masyarakat, minimal aku tidak menjadi benalu untuk masyarakat, sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi masyarakatnya. Selamat Berkongres Kawan-kawan!

3 comments for "Kongres HMI, dari Nasyid Hingga Musik Rock"

  1. Dulu orang bener2 gak tahu musik nasyid itu seperti apa,tapi sekarng orangb mulai banyak tahu dan menyukainya,termasuk aku yang sukan dengan kelompok musik nasyid diacaranya ustad dhanu..

    ReplyDelete
  2. Secara umum saya kurang suka musik nasyid. Namun untuk menyebutkan grup debu adalah pengecualian. liriknya sangat dalam. Saya suka. Lebih suka lagu religi ala bimbo atau Gigi dari pada musik nasyid. entah kenapa.

    ReplyDelete
  3. @Yumule, @ cewitail, @ Yahadame, thanks for coment

    ReplyDelete

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...