Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Intoleransi Beragama dan Menyoal Relasi Kewargaan

Ilustrasi intoleransi beragama, sumber ilustrasi; flickr gituajadotcom

Hari ini, saya tidak sengaja melihat temlen twitter yang membahas tentang perilaku salah satu saudara kita yang salah paham telah membubarkan ibadah salah satu warganya yang dilakukan di rumah. Dan berakhir damai.

Peristiwa ini tentu menjadi preseden buruk di tengah pandemi. Indonesia yang beragam dan runtut raut hirup sauyunan dinodai oleh perilaku warganya yang merasa diri ‘paling benar’. Namun patut disyukuri karena masalah ini telah diselesaikan secara kekeluargaan.

Nah, yang membuat saya merasa tidak nyaman adalah komentar saudara-saudara kita, secara terbuka menggeneralisir isu ini karena persoalan mayoritas dan minoritas. Kalau kita yang salah pastilah ujung-ujungnya penjara. Masalah protes suara aja penjara. Dan lain sebagainya. Saya sendiri turut menyesalkan kenapa masih terjadi intoleransi beragama.

Namun, intoleransi dan sikap dominasi warga mayoritas ini berlaku dimana-mana, bahkan sekalipun di negara paling liberal sekalipun selalu ada orang-orang yang merasa dirinya paling benar. Konservatis radikal.

Harus diingat bahwa isu dan peristiwa ini tidak hanya terjadi antar umat beragama, bahkan antar internal umat beragama pun seringkali muncul. Sudah menjadi rahasia umum, antara Sunni dan Syiah di Indonesia misalnya. Bahkan mayoritas muslim di Indonesia (oknum) beberapa kali menyerang penganut muslim lain yang dianggap menyimpang atau sesat.

Sepertinya ini sudah menjadi logika mayoritas. Eksistensinya tidak ingin teracam oleh kehadiran minoritas yang dianggap perilaku dan cara beragama/ ritualnya berbeda. Bahkan di kampung saya dulu, jangankan antara mayoritas dan minoritas, ini sesama mayoritas antara ormas agama juga pernah terjadi bentrokan.

Apakah ini persoalan agama?
Secara substansial, saya melihat lebih jauh bukan persoalan murni agama. Agama hanya menjadi kendaraan untuk melakukan legalitas perilaku intoleran. Lebih jauhnya saya melihatnya lebih pada relasi jalinan antar warga. Relasi kewargaan yang terjalin cenderung kering dan miskina. Tidak ada upaya bagaimana relasi itu harus dibangun antar warga agar terjadi internalisasi persaudaraan antar umat beragama ataupun sesama intern agama.

Jika ikatan emosional ini kurang maka konflik dengan mudah bisa tersulut dengan persoanal-persoalan kecil. Penekanannya bukan pada persoalan yang saat itu muncul, pada para rentetan peristiwa sebelumnya yang tidak terungkapkan. Konflik hanya puncak gunung es untuk melakukan legalitas perilaku saja.

Kenap saya bisa mengatakan ini? Sebetulnya sederhana. Saya punya teman berbeda agama. Setiap hari bisa berdiskusi, makan bareng, bercanda. Saat terjadi konflik seperti contoh di atas, apakah kami juga ikut berkonflik? Ya tentu tidak. Toh kita tetap baik-baik saja karena relasi yang sudah terbangun sudah diikat oleh persaudaraan sebagai warga.

Saya melihatnya dari sisi human relations antara warga. Jika relasi kewargaan terlah terjalin, saya kira persoalan-persoalan konflik atau kesalahpahaman antara penganut beragama akan sangat bisa di hindari. Sekalipun warga tersebut memiliki kelainan dalam beragama, misalnya karena anutannya adalah agama mayoritas yang sempalan. Jika relasi kewargaannya kuat, justeru akan melahirkan dialog yang sehat untuk mengetahui anutan agamanya tersebut.

Namun jika relasi kewargaannya tidak terjalin dengan kuat, kesalahpaham itu akan cepat teratasi karena sejak jauh-jauh hari orang-orang telah paham. Oleh karena itu, ini mungkin menjadi pekerjaan rumah bagi aparat setempat. Menjadi aparat tidak hanya menarik iuran warga saja atau ketika ada yang sakit ditengok. Perlu juga mengadakan family gathering, selain di tempat ibadah, karena tidak semua warga memiliki kesempatan untuk berkunjung ke tempat ibadah yang sama.

Pada sisi lain, aparat juga harus mampu merangkul semua warga yang berbeda-beda. Apalagi di kota yang sudah kosmopolit. Heterogenitas menjadi keniscayaan. Pada sisi lain, warga pendatang juga harus mampu dan cepat berbaur dengan warga sekitar sehingga cepat menyatu walaupun dengan budaya, suku, atau agama yang sama sekali berbeda.

Pada sisi lain, jika perilaku oknum itu tidak dapat dibenarkan, dan bagi kelompok yang merasa jadi korban tidak usah memperkeruh suasana dengan menggeneralisir masalah apalagi memojok-mojokkan, karena bisa jadi masalahnya jadi rumit dan besar. Mending berlapang saja. Toh masalahnya sudah selesai. Tidak usah mengungkit masalah yang lalu. Toh kita tidak tahu, bagaimana relasi kewargaan yang berkonflik itu.

Secara kolektif bagi minoritas juga (baik agama, suku, atau WN) harus cerdas menjalin relasi dengan warga baurannya ataupun dengan aparat setempatnya. Sehingga tidak ada lagi kata kami atau mereka, yang ada adalah kita. Insya Allah tidak akan ada peristiwa-peristiwa yang melukai kebhinekaan kita.

Post a Comment for "Intoleransi Beragama dan Menyoal Relasi Kewargaan"