Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kentut Sang Presiden

Jika kita berada di tempat umum, seketika ingin buang gas, apa yang akan kita lakukan? Memilih untuk mengeluarkannya atau menahannya? Mengeluarkan gas di tempat umum sama saja melanggar sopan santun, apalagi sampai aromanya tercium kemana-mana dan mengelurkan suara yang cukup nyaring, namun jika kita tahan-tahan tentu akan melanggar norma kesehatan. Tidak sedikit orang rela membayar mahal hanya untuk mendapatkan kentut, atau setidaknya saat perut kita kembung, kentut adalah salah satu peristiwa yang sangat ditunggu-tunggu, alih-alih kentut sebagai hal yang tidak sopan, justeru ia adalah sang penyelamat. Apalagi bagi seseorang yang baru saja dioperasi, kentut menjadi media antara hidup dan mati, kentut menjadi perantara kesadarannya.

Melalui film ‘Kentut’, Deddy Mizwar menggali berbagai makna dan peristiwa yang dapat ditimbulkannya. Kentut bagi Deddy Mizwar bukan hanya sekedar mengeluarkan gas dari perut seseorang. Kentut tidak hanya sekadar berbicara antara kesehatan dan kesopanan belaka, di belakangnya mengikuti berbagai peristiwa sosial dan politik yang dapat memberikan kehidupan dan masa depan seseorang.

Kentut dapat dialami oleh siapa saja, dari mulai rakyat ‘kecil’ sampai rakyat ‘besar’, dari mulai OB sampai calon pemimpin. Seorang OB yang dengan enteng bisa mengeluarkan gas tanpa terbebani oleh masalah kesopanan dapat kena teguran dari sang pimpinan, namun seorang panutan rakyat, kentutnya sangat ditunggu-tunggu oleh para pendukungnya. Hal inilah yang menjadi latar dan alur dari film yang dibintangi Deddy Mizwar tersebut.

Seorang OB kentut sembarangan menjadi masalah bagi atasan dan orang-orang di sekitarnya, namun seorang calon pemimpin justeru kentutnya sangat ditunggu-tunggu bahkan begitu banyak orang yang mengharapkan agar ia bisa kentut. Walaupun diceritakan dalam peristiwa yang berbeda, namun hal ini sarat dengan symbol kritik terhadap diskriminasi dan budaya ewuh pakewuh terhadap orang ‘besar’ sementara terhadap orang kecil hal tersebut menjadi sangat bertolak belakang maknanya.

Walaupun kritiknya tidak terlalu tajam, film ini menyindir hampir semua elemen masyarakat. Mengkritik tim sukses pemilukada, menyindir, kaum agamawan, menyindir incumbent, menyindir perilaku politik, menyindir masyarakat kita.

Orang-orang Partai memang pintar dan selalu berfikir rasional, tetapi rasionalitasnya berhenti jika keilmiahan suatu ilmu tidak mampu mengatasi masalah. Hal tersebut diceritakan saat Patiwa, salah satu tokoh film yang menjadi calon Bupati tidak mengeluarkan kentut dalam waktu yang cukup lama. Kaum agamawan pun melakukan istighosah di halaman Rumah Sakit. Sehingga dikesani bahwa doa bersama hanya dilakukan jika calon orang besar yang menjadi panutannya berada dalam posisi bahaya.

Film ini juga mengkritik tentang kebebasan Pers, pada satu sisi para wartawan menjunjung tinggi kebebasan, namun pada sisi lain selalu melanggar hak hidup orang lain dengan pertanyaan-pertanyaannya yang memaksa, melanggar privasi. Dengan dalih bahwa pekerjaannya adalah mengorek-ngorek informasi, orang-orang pers melanggar kebebasan orang lain.

Masyarakat kita masih dapat dikelabui oleh hal-hal yang sifatnya tampilan belaka, hanya dengan mengandalkan daya tarik artis popular menurut film ini, masyarakat tidak mempertimbangkan kualitas dari calon pemimpin, sekalipun visi calon pemimpin tidak jelas.
Hal yang sama dikritiknya profesi seorang dokter yang lebih mengabdi pada orang-orang yang memiliki duit belaka, seorang Patiwa yang kaya dan calon Bupati sangat mudah untuk mendapatkan tempat istimewa di Rumah Sakit sementara rakyat miskin sangat kesulitan untuk mendapatkan ruangan bahkan mendapatkan obat sekalipun sehingga harus menjual jam tangan.

Saat menceritakan demokrasi, film ini menceritakan dengan cukup baik. Bagi film ini, demokrasi di Indonesia adalah demokrasi kasak-kusuk dan demokrasi bagi-bagi pulsa. Namun ternyata demokrasi yang sangat efektif bagi film ini, yang murah dan gampang adalah demokrasi kakus dan buang hajat. Tanpa perlu mahal-mahal untuk bagi-bagi pulsa dan makanan, masyarakat hanya cukup disediakan kakus saja untuk lebih meraih simpatinya. Bagaimanapun MCK lebih penting dibandingkan pulsa dan kasak-kusuk. MCK adalah bagian dari kepentingan hidup yang sangat vital bagi masyarakat. Melalui MCK inilah Jas Merah (Deddy Mizwar) memenangkan Pemilukada di Kabupaten Kuncup Mekar.

Perilaku pejabat seringkali tidak menghiraukan norma umum yang menjadi pegangan masyarakat. Seorang pejabat dapat dengan mudah membeli ‘gelar’ tanpa harus ketahuan kapan ia melakukan proses mendapatkan gelar tersebut. Hal ini diceritakan saat ‘Jas Merah’ memenangi Pemilu dan memindahkan huruf ‘h’ ke depan namanya (Jas Merah) menjadi ‘H.Jas Mera’.

Begitu mendetail dan banyaknya kritik yang disampaikan oleh film ini membuat film ini tidak seperti film kebanyakan. Ini film yang sarat kritik atau memang kritik yang disampaikan melalui film?

Namun sayang, bagi saya sendiri, film yang dibintangi Deddy Mizwar ini tidak seapik film-film besutannya yang cukup realistis seperti ‘Naga Bonar’ atau ‘Alangkah Lucunya Negeri Ini’, film ini berada dalam wilayah imajinasi yang berlebihan. Perpindahan dari sin ke sin yang meloncat-loncat. Banyaknya kritik yang tidak terlalu penting sekalipun membuat film ini terkesan garing dari sifat komedinya, bahkan terkesan sarkastis.

Padahal film ini dibintangi oleh artis-artis kawakan; Deddy Mizwar, Ira Wibowo, Anwar Fuady, dan artis-artis senior lainnya.

Saat selesai menonton film ini, saya teringat banyolan teman-teman di kampung, jika OB dan calon Bupati kentutnya berbunyi, ‘Brooooot’ dan ‘Duuuuuuut’, bagaimana dengan kentutnya Presiden ya? Teman yang lain menjawab,”Koaaangg”, atau jangan-jangan presiden tidak pernah kentut karena menjaga citra sebagai orang besar yang selalu menjaga kesopanan di hadapan siapapun.

1 comment for "Kentut Sang Presiden"

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...