Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

HMI DALAM BINGKAI SEJARAH**)

Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI, lahir tanggal 5 Pebruari 1947, satu tahun lebih setelah proklamasi kemerdekaan. Ketika HMI lahir kondisi bangsa Indonesia masih dalam kecamuk perang mempertahankan kemerdekaan. Tetapi dengan visi yang jauh ke depan para pendirinya, HMI pun tumbuh dan berkembang. Dengan kecerdasan dan visioner pendiri HMI, Lapran Pane bersama 14 kawannya mampu mengawal HMI demi utuhnya bangsa.

Kelahiran HMI tak bisa dilepaskan dari keteguhan tokoh pendiri yaitu Lapran Pane.
Bahkan Sejarawan HMI berkomentar bahwa kepribadian HMI tidak bisa dilepaskan dari kepribadian seorang Lapran Pane. Lapran Pane hidup di alam yang keras ketika ia merantau keluar dari tanah kelahirannya. HMI besar bersama kuatnya mental sang petualang, HMI besar bersama kebesaran hati Lapran Pane ketika merantau. Sehingga hal ini pun terkristalisasi terhadap kondisi HMI, yang tersebar keseluruh pelosok Nusantara. HMI pun meerantau ke seluruh propinsi di Indonesia, tidak hanya Yogyakarta dan jakarta saja sebagai kota besar.

Di tengah-tengah kejamnya kehidupan pada saat itu yang belum ramah, plus keserakahan dan keganasan penjajah, HMI menapaki alur kehidupan, memapah dan ikut merangkak membela bangsa tercinta. HMI hadir untuk ummat dan bangsa. HMI tampil untuk membela kepentingan rakyat dan bangsa. HMI tak pernah absen memberikan masukan yang berharga untuk pembangunan bangsa, walaupun dalam perjalananya mengalami pasang surut, karena dinamika organisasi, juga tantangan yang luar biasa dari eksternal, yang tidak senang terhadap eksistensi HMI.

Dalam perjalanan panjang sejarahnya, HMI mengalami dan melalui proses yang panjang. Tidak semua organisasi dan elemen mahasiswa memandang secara positif kehadiran organisasi mahasiswa Islam pertama ini. Hal ini datang dari Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) yang mempunyai haluan komunis. Reaksi negatif tidak hanya datang dari organisasi yang mempuyai ideologi berbeda, Ketika usia HMI baru 14 bulan, reaksi dari kalangan ummat Islam berdatangan, diantaranya dari kalangan Partai Masyumi yang disuarakan oleh Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan Pelajar Islam Indonesia. Kedua organisasi pemuda ini menuduh HMI sebagai pemecah persatuan mahasiswa dan pemuda . (Sitompul; 2002)

Reaksi-reaksi keras di atas justru menjadi peluang dan kekuatan HMI untuk mempublikasikan dirinya ke seluruh mahasiswa dan masyarakat umum. Salah satu agenda yang dilakukan untuk mempublikasikan HMI adalah dengan menggelar ceramah-ceramah, dan hasilnya disebarluaskan kepada masyarakat umum. Hingga akhirnya menjelang Kongres I di Yogyakarta, aksi reaksi pun mereda.. HMI tumbuh dan berkembang beriringan dengan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakannya. HMI terus melakukan gerakan penyadaran terhadap perlunya Islam Keindonesia, menyadarkan mahasiswa dan masyarakat akan pentingnya memiliki rasa kebangsaan ( nasionalisme).

Perjuanggan HMI rupanya tidak berhenti sampai di sini. Pada tahun-tahun berikutnya
HMI mengahadapi ancaman komunisme. PKI yang didirikan pada tahun 1920 oleh orang Belanda yang bermukim di Indonesia, pada tahun 1948 melakukan pemberontakan dengan memobilisasi massa di Madiun. Rupanya pemberonttakan yang dilakukan PKI tidak puas sampai disitu. PKI melakukan kembali pemberontakan pada tahun 1965. Bagi HMI, hal ini merupakan tantangan yang sangat berat, karena HMI pada saat itu sudah menjadi sorotan PKI, bahkan menjadi sasaran untuk dibubarkan. Organisasi ini bersama rakyat dan ABRI bahu membahu menumpas kekuatan anti agama. Ketika kekuatan PKI sudah mulai sirna dan terjadi pergantian pemerintahan, HMI pun masih menghadapi tantangan yang berat. Permasalahan silih berganti berdatangan, yang pada puncaknya, pada masa pemerintahan Soeharto, tepatnya tahun 1985 pemerintah menginstruksikan kepada semua organisasi, tak terkecuali HMI untuk mengganti azas organsisasi dengan Pancasila, bahkan HMI disarankan untuk menjadi pionirnya.

Permasalahan ini tentu saja tidak mudah dipecahkan. HMI yang sejak awal memperjuangkan Islam, bahkan memberikan masukan kepada pemerintah agar menggunakan azas Islam, harus sesegera mengganti azasnya dengan Pancasila. Apalagi mekanisme yang harus dilalui oleh organisasi mempunyai peraturan tersendiri, harus memakai prosedur yang jelas. Pergantian Azas ini menyulut pro dan kontra pada internal HMI, yang pada puncaknya HMI pun seolah-olah mempunyai dua jelmaan, seolah-olah dua kubu, yaitu dengan munculnya HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi). Walaupun MPO pada awalnya hanya sebagai badan pengantar menuju kongres tapi pada proses selanjutnya menjadi badan permanen tandingan Pengurus Besar. HMI yang pada tujuan awalnya mempersatukan umat kini pecah. Hal ini, selain akibat politis, juga akibat tidak adanya pemahaman yang massif pada semua cabang terhadap penerimaan azas Pancasila, sebagaimana halnya terjadi pada Imam Ali dan ummul mukminin, ketika menghadapi kematian Khalifah Utsman, sehingga menyulut konflik perang Siffin. Perjalanan panjang tantangan HMI terus berlanjut, tiga bulan sebelum Presiden Soeharto lengser, HMI kembali melakukan aksi protes instruktifnya terhadap pemerintahan yang disampaikan langsung olah PB HMI dalam dies natalisnya ( Sitompul :2000). HMI menyampaikan kritiknya terhadap kondisi bangsa yang sudah memasuki masa krisis dan menyarankan agar Pemerintahan melakukan reformasi. Bersama mahasiswa dan organisasi lainnya HMI pun ikut bersujud di halaman kantor MPR/ DPR pada tanggal 21 mei 1998. perjuangan HMI akan terus berlanjut, tidak akan berhenti sebelum dunia ini bubar.

Menjelang usia tuanya yang ke 58, tampaknya permasalahan-permasalahan yang menghadang HMI bukan malah membuat HMI makin kuat dan tegar. Malah membuat HMI semakin lemah. Penyakit bertadatangan silih berganti, tidak hanya penyakit yang datangnya dari luar tubuh HMI, tetapi HMI pun digerogoti dari dalam. Gerakan Politik kekuasaan (power political movement) yang digunakan oleh HMI, yang awal mula sebagai strategi untuk memuluskan perjuangan dan kemaslahatan HMI dan ummat secara keseluruhan, malah menjebak para pengurus pada kepentingan personal.

Hal ini dapat dilihat pada konflik yang teerjadi di tubuh Pengurus Besar. Sejak dua Periode yang lalu, kondisi HMI yang dicerminkan oleh Pengurus Besar mengalalmi konflik yang cukup akut. Bahkan pada periode 2001 sempat mengundang kontak fisik. Hal ini tentunya membuat citra HMI menjadi buruk, belum lagi pada setiap agenda kongres. Pelemparan kursi, saling membentak yang dilakukan oleh peserta terhadap peserta lain bukan barang yang asing, apalagi hal ini di blow up oleh media nasional. Hal ini mencerminkan bahwa intelektualitas yang disandang oleh aktivis HMI tidak lagi menjadi ciri khas. Konflikpun terjadi pada kepengurusan PB HMI periode 2003-2005 sekarang. Hal ini semakin membuat citra HMI negatif. Sehingga pantas kalau alumni pun ikut gerah terhadap kondisi HMI hari ini sehingga salah seorang alumni pernah menyarankan dengan sebuah pertanyaan, kenapa tidak dibubarkan saja HMI. Hal ini tentunya bukan berangkat dari kenyataan yang kosong terhadap kondisi HMI saat ini. Konflik pun tidak hanya terjadi pada tingkatan Nasional, tetapi mempunyai imbas terhadap pengurus cabang.

Konflik yang membawa petaka bagi HMI, membawa preseden yang buruk terhadap kader ataupun calon kader yang hendak masuk HMI. Untuk kader, selain menerima cemoohan dari sesama organisasi mahsiswa lainnya, juga dari masyarakat umum yang mengikuti perkembangan HMI. Betapa tidak, konlik yang terjadi di Pengurus Besar, kepentingan yang dinikmati oleh personal pengurus PB, yang harus menerima imbas buruk adalah anggota dan kader yang tidak tahu menahu perihal urusan kepentingan dan politik Pengurus Besar. Kemudian calon anggota pun yang ingin menjadi anggota menimbang-nimbang kembali niatnya, sehingga membuat input anggota menjadi kurang. Sebagian alumni pun kini mulai enggan memperhatikan almamaternya tercinta.
Konflik yang oleh sebagaian orang dianggap sebagai media pembelajaran mental, apabila dikelola dengan kemampuan leadershif, yang akn membuat organisasi HMI lebih eksis. Justeru konflik-konflik yang ada malah banyak menguras tenaga dan fikiran para pengurusnya, sehingga selain pengurus tidak bisa berfikir jernih dalam menghadapi permasalahannya, juga sebagian agenda yang diorientasikan untuk perkaderanpun terbengkalai. Hal inilah yang lebih memperparah kondisi HMI. Seharusnya, apabila para pengurus mempunyai kesadaran terhadap mission yang harus diembannya, jaring-jaring perkaderan harus tetap dikembangkan. Tetapi yang terjadi rupanya tidak seperti yang diinginkan. Adaptasi rasionalpun, yang dimaksudkan untuk memberikan masukan dan kritikan terhadap pemerintah, sebagaimana terjadi pada pemerintahan Soekarno dan Soeharto, tidak bisa berjalan sesuai yang diinginkan. Lha, baagaimana mau memberikan masukan dan kritikan terhadap pemerintah, mengurus dirinya sendiri saja belum mampu.
Konflik yang terjadi di atas karena kader atau dalam hal ini pengurus lebih mengkonsentrasikan terhadap pembangunan kekuatan politik, tetapi polotik yang siffatnya kepentingan personal pengurus, dari pada membangun perkaderan. Hal ini menyebabkan rapuhnya para kader, sehingga terakumulasi menjadi rapuhnya organisaasi. Gejala ini hampir merata pada setiap cabang, walupun tidak semua. Tetapi ketika kekuatan mayoritas yang muncul maka kekuatan minoritas tidak akan terdengar gaungnya. Jadilah HMI seperti sekarang. HMI makin menurun kredibelitasnya, HMI semakin tidak dipandang oleh organisasi lain, oleh pemerintah, oleh mahasiswa dan oleh masyarakat.
Tetapi di balik citra yang negatif yang disandang ini, HMI masih punya kekuatan tersembunyi yang sama sekali tidak terpantau oleh media. Ia adalah gerakan non struiktur, gerakan non politik.

Kekuatan Minoritas yang tidak terpengaruh oleh permainan politik dan perebutan kursi struktur HMI, walaupun kalah gaung oleh kekuatan sstruktur, adalah kekuatan nyata dan obyektif untuk mempertahankan eksistensi HMI ke depan. Wajar kalau kekuatan minoritas ini tidak bergaung, selain karena suaranya kecil juga tidak bermain pada wilayah kebijakan. Kekuatan minoritas ini adalah penerima kebijakan dari kepengurusan. Selain yang menerima kebijakan, ia tidak teersentuh oleh wilayah politik pengurus. Kekuatan yang dianggap kecil ini adalah lembaga profesional yang berfiat otonom dari kepengurusan, ia mengurusi pengembangan wilayah minat bakat kader. Misalnya Lembaga Teknik Mahasiswa Islam (LTMI), Lembaga Pers mahasiswa Islam (LAPMI), Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI), Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LDMI) dan Lembaga Penelola Latihan (LPL). Lembaga-lembaga ini masih bisa berkembang dan bertambah sesuai dengan skill dan minat kadeer untuk pengembangan keahliannya. Wilayah inilah sebagai lemabga penyeimbang agar eksisteensi HMI di masyarakat umum bisa membumi dan terasakan manfaatnya.

Selain Lembaga-lembaga di atas sebagai penyeimbang kondisi HMI hari ini, juga ada gerakan-gerakan kultur. Gerakan kultur ini, yang tidak terikat oleh struktur formal dan keorganisasian seperti halnya lembaga di atas. Lebih jauh gerakan kultur ini seharusnya menjadi strategi dakwah untuk merubah HMI. Menurut kuntowijoyo, gerakan kultur merupakan salah satu strategi pergerakan. Kalau gerakan struktur berusaha mempengaruhi hirarki kekuasaan, maka gerakan kultur adalah gerakan penyadaran secara individual. Kata kuncinya adalah Islam, dalam hal ini yang terhimpun dalam HMI, sebagai moral force dan inspirational (moral, etika, intteellektual). Hal ini harus datang dari dalam. Motivasi untuk merubah kondisi HMI harus berangkat dari hati nurani, berdasarkan nilai. Disebut sebagai strategi kultural juga karena sifatnya hanya tawaran yang sukarela, tanpa law enforcement .(kuntowijoyo;2001). Gerakan kultur apabila dilakukan dengan kontinyu dan sitematis akan menjadi kekuatan penyeimbang untuk mengobati sakit HMI. Dan gerakan kultur ini apabila diperhatikan terejawantahkan dalam kelompok-kelompok diskusi yang diadakan oleh kader HMI. Mereka tanpa merasa terbebani oleh program yang ada dalam struktur HMI, terus menggalakan kajian-kajian keilmuan, diskusi-diskusi yang dipaket secara kontinyu. Dalam kajian dan kelompok diskusi inilah gerakan penyadaran dilakukan terhadap kader HMI yang lain. Selain untuk mengisi ruh intelektual kader juga mencegah masuknya virus jahat politik, ambisi untuk berkuasa. Dari kelompok-kelompok diskusi dan gerakan kultur inilah diharapkan lahir orang cerdas, akan lahir ide besar, bukankah untuk merekayasa kondisi sosial termasuk HMI tidak memerlukan banyak kader, tapi hanya perlu sedikit orang kreatif dan idenya yang besar (Rahmat: 2000)

Apabila penyakit yang diderita HMI sudah akut yakni penyakit untuk terus berkuasa, gerakan penyadaran harus diarahkan terhadap pentingnya sebuah nilai. Karena wilayah politik akan terus bersinggungan dengan kader HMI. Bermain politik bukan berarti harus selalu berada pada posisi struktur. Gerakan kulturpun bisa menjadi kekuatan yang tak kalah pentingnya terhadap ekses politik HMI, yaitu gerakan politik nilai (value politic movement). Gerakan politik nilai akan sangat berarti bagi eksistensi HMI ke depan. Gerakan politik nilai adalah gerakan yang dilakukan oleh para pendiri dan pendahulu HMI. Gerakan inilah yang membuat HMI besar. Tanpa harus bersentuhan langsung dengan kekuasaan, eksistensi HMI akan diakuai oleh organisasi lain juga masyarakat umum. Kenapa mesti diarahkan pada geerakan politik nilai?. Setidaknya kader HMI harus kembali pada mission yang telah dibangun sejak mula yang lebih menitikberatkan pada pentingnya nilai kualitas, bukan gerakan politik kekuasaan. Hal ini akan berimbas pada pembangunan kultur yang ada dilingkungan HMI. Kalau gerakan yang dilakukan lebih menitikberatkan pada gerakan politik kekuasaan maka akan melahirkan kader-kader yang haus akan jabatan. Jika yang didahulukan adalah menduduki dulu suatu jabatan dan tanpa memperhatikan kualitas individu, maka lambat laun kulaitas nilai yang dimiliki kader akan rapuh dan sirna dari permukaan.
Untuk lebih mendalami kenapa kader harus lebih menitik beratkan pada gerakan politik nilai dalam hal ini termasuk kreatifitas yang dikembangkan oleh kader, bukan gerakan politik kekuasaan. Meminjam kembali pemikiran kuntowijoyo dalam kumpulan tulisannya, Muslim Tanpa Mesjid, yakni agar tidak terjadi disintegrasi umat, umat menjadi miopis, pemiskinan, runtuhnya Proliferasi.

Pertama, adalah terjadinya distintegrasi ummat—dalam hal ini adalah kader HMI, akan mengalalami perpecahan, pengkotak-kotakan, blok-blokan dukungan. Kenapa ini bisa terjadi, karena yang dikedepankan oleh gerakan politik kekuasaan HMI, bukan lagi kualitas nilai dari seorang pemimpin atau calon pemimpin, tetapi bagaimana calon dan teamnya bisa memberikan keuntungan yang sesaat. Hal ini tidak terlepas dari lobi-lobi dan mobilisasi calon terhadap calon pendukung. Apabila hal ini terjadi maka sebagian calon pemilih akan terkotak-kotakan sebab ada yang diuntungkan atau tidak berdasarkan ukuran pragmatis. Perpecahan penguruspun terjadi, karena satu dengan yang lainnya merasa tidak diuntungkan.

Kedua, ummat menjadi miopis—dalam hal ini kader. Politik hanya memikirkan masalah-masalah yang berjangka pendek, politik hanya mampu melihat realitas-realitas yang dekat. Keyakinannya memberikan pemahaman bahwa kekuasaan akan menyelesaikan banyak hal teetapi hanya untuk jangka pendek saja. Misalnya kemenangan calon pengurus PB, maka hanya sebatas 2 tahun kepengurusannya saja tidak lebih, bahkan bisa kurang kalau ditengah-tengah kepengurusan terjadi permasalahan, seperti kasus kepengurusan periode 2001, begitu pula terhadap pihak pendukungnya. Sehingga hal-hal yang sifatnya jangka panjang tidak terpikirkan, karena konsentrasinya dipusatkan pada bagaimana mempertahankan kursinya.

Ketiga, terjadinya pemiskinan. Pada awalnya HMI lahir untuk membantu pencerahan bagi bangsa dan umatnya. Potensi yang ada pada kader, yakni potensi religiusitas, intelektualitas, dan kemampuan membuat konsep, lambat laun akan mulai hilang. Hal ini disebabkan oleh hilangnya perhatian terhadap hal-hal tersebut. Semua kader terkonsentrasikan pada wilayah politik yang relatif gampang, rumusnya hanya retorika, demagogi dan mobilisasi massa. Tidak memerlukan kreatifitas pribadi yang luar biassa, tidak perlu pribadi yang suka bekerja dalam sepi (kuntowijoyo; 2001). Hasilnya pun tampak muncul dipermukaan, HMI banyak melahirkan penguasa di kampus, begitupun alumninya.

Keempat, terjadinya proliferasi kepemimpinan.. kader tidak lagi melihat pemimpin dari kualitas intektual dan leadershif, tetapi lebih melihat pada penawaran lobi dan mobilisasi massa. Sehingga kader yang mempunyai kapasitas intelektualpun tersingkir. Akhinya HMI menjadi organisasi kekuasaan, bahkan semacam organisasi politik, bukan lagi organisasi perkaderan.

Menjelang ulang tahun HMI yang ke-58, mudah-mudahan menjadi titik balik kesadaran bagi semua elemen yang berada dalam gerbong organisasi ini. Kekuatan struktur memang perlu, tetapi bukan segala-galanya, bahkan bisa menjerumuskan organisasi ini sebagaimana analisis di atas. Mari sama-sama mengobati luka organisasi ini dibagian yang luka, mari mempertahankan kesehatan organsisasi ini dibagian yang tak tergores. Satu keyakinan dengan menyitir kalam Ilahi ”Allah tidak akan merubah apa yang ada pada suatu organisasi kecuali diri dan organisasi itu sendiri yang merubah apa yang ada pada organisasi dan dirinya(Arra’du:11). BERSYUKUR DAN IKHLAS, YAKIN USAHA SAMPAI..Wallahu a’lam bishawab.

**) dikirim ke Republika untuk menyambut Ultah HMI pebruari 2005, tidak dimuat.ditulis ketika penulis menjadi Sekretaris Umum Cabang.
*) Ketua Umum HMI Cabang Kabupaten Bandung periode 2006-200&

dimuat kembali di blog pribadi untuk mengenang ultah HMI ke-62

Post a Comment for "HMI DALAM BINGKAI SEJARAH**)"