Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Integrasikan Hati dan Akal!

ilustrasi dari diyana008.blogspot.com
Otak dan Hati merupakan dua alat berfikir. Yang satu berfikir melalui logika rasio dan yang satu lagi berfikir melalui logika rasa, yang satu memilah salah dan benar sementara yang satu lagi memilah baik dan buruk, begitu kata Al-Ghazali. Dua-duanya merupakan alat dan sumber epistem pengetahuan, begitu kata Murtadha Muthahari. Yang tentu saja di samping alat Indra kita sebagai alat untuk menangkap realitas yang seterusnya ditafsir ulang oleh akal dan hati.



Sedangkan merujuk pada SQ-nya Danah Zohar jika Akal dan Hati telah sejalan digunakan untuk alat berfikirnya dalam menjalankan kehidupan termasuk juga dalam menjalankan kehidupan agama kita maka akan dicapai puncak spiritual dan itulah yang telah dilakukan oleh Ummul Ulama Al-Ghazali yang telah menyatukan antara filsafat dan tasauf yang satu berbasis pada akal dan satu lagi berbasis pada hati. Hal serupa dilakukan juga oleh Jalaluddin Rakhmat dan barangkali ulama-ulama yang memiliki kecerdasan luar biasa tetapi juga selalu peduli terhadap sesama dan rajin beribadah.

Oleh karena itulah ilmuwan sekelas Einstein pernah mengatakan bahwa kedua alat episteme tersebut harus selalu berjalan bareng dan beriringan. Ia mengatakan, Agama tanpa akal maka akan lumpuh dan Ilmu tanpa agama akan buta. Dalam pandangan saya pernyataan dari Einstein tersebut berkaitan dengan penggunaan kedua episteme tersebut.

Ilmu cenderung diidentikan dengan eksplorasi akal untuk menemukan hukum-hukum Tuhan di alam raya ini, sementara Agama pada sejarahnya yang konvensional berbicara pada masalah baik dan buruknya suatu perilaku dan sikap berkaitan dengan kehidupannya. Oleh karena itu Agama diidentikan dengan penggunaan hati yang dapat memilah antara yang baik dan buruk.
Namun demikian merujuk pada sejarah peradaban manusia terkadang kita melihat pada satu pendapat tokoh, terlepas pendapatnya tersebut berangkat dari sporadic pendapatnya saja atau yang berpijak pada penelitian, cenderung seringkali mengagungkan satu alat episteme dan menghilangkan peran satu alat episteme lain. Ilmu Episteme yang kita kenal dengan epistemology atau ilmu yang mengulas bagaimana suatu ilmu itu didapatkan melaui cara seperti apa dan bagaimana merupakan pertentangan antara akal dan hati.

Dalam sejarah dunia modern, ribuan tahun setelah Sokrates, Aristoteles dan Plato hidup, atau setelah filsuf China Lao Tze dan Konfutze melahirkan peradaban seolah mengulang mbah moyangnya tersebut bahwa Dunia merupakan hasil pertentangan antara akal dan hati.

Ingatkah kita akan pemujaan terhadap IQ? Bahwa IQ akan menentukan sukses seseorang, bukankah ini merupakan pemujaan terhadap Akal? Namun hasil penelitian tersebut sirna sudah setelah Daniel Goleman menerbitkan buku Kecerdasan Emosi yang berpijak pada alat episteme hati. Justeru menurut Goleman tersebut bahwa Kecerdasan Emosilah (bisa membedakan baik-buruk) yang dapat mendorong sukses seseorang, IQ menurutnya hanya menyumbangkan 6 % kesuksesan saja. Seorang yang ber-IQ tinggi jika tidak bisa bagaimana berprilaku dalam kehidupannya niscaya tidak akan pernah sukses.

Kini di Jaman keringnya hati yang telah dirasakan oleh sebagian kalangan Barat, karena terlalu memper-tuhankan Akal sebagai alat episteme/ basis manusia modern, ia pun melirik dunia Timur yang kaya dengan spiritual. Spiritual adalah penyatuan antara Akal dan Hati. Akal dan Hati saling menuntun agar yang satu tidak sesat dan yang lain tidak lumpuh.

Dalam Al-Qur’an bahwa orang beriman dianjurkan/ diperintahkan untuk berfikir, memikirkan alam raya ini sebagai sumber kehidupannya. Oleh karena itulah Nabi berpesan jika seseorang ingin selamat dunia Akhirat maka harus berpegang pada Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dalam penafsiran saya sekali lagi, di dalam Al-Qur’an banyak perintah dan kebajikan yang harus diterima dengan hati (yang tidak usah diperdebatkan lagi, di samping akal) juga hadits sebagai perkataan/ perilaku/ hasil pemikiran Nabi Muhammad. Sementara sebagai wujud dari arena berfikir dari keumumuman dari kedua sumber hukum Islam tersebut, para ulama harus menggunakan epistemenya yaitu akal dan hati untuk menghasilkan suatu Ijtihad yang berlandaskan pada kemaslahatan ummat.

Dengan demikian jika ingin meraih sukses sesuai dengan agama yang kita anut, tentu Akal dan Hati tidak boleh dipisah-pisahkan apalagi yang satunya dibuang jauh-jauh. Hanya menggunakan Akal, hati menjadi kering selalu berfikir benar-salah, sementara hanya berfikir dengan hati hanya mempertimbangkan baik dan buruk tanpa peduli benar dan salah. Yang Baik tentu harus benar dan sebaliknya yang benar tentu harus baik.
Tulisan sederhana ini tadinya untuk menanggapi Tulisan Pak Alam Hikmah, tentang ternyata Tuhanku adalah otakku tapi karena panjang akhirnya saya buat tulisan tersendiri.

Post a Comment for "Integrasikan Hati dan Akal!"