Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Komunikasi Para Pemudik

Mudik selalu menyisakan cerita bagi kita. Mudik yang berasal dari kata udik dari bahasa Betawi selalu menyimpan dendam keindahan, keindahan berkumpul dengan sanak saudara. Mudik adalah sesuatu yang sama keindahannya ketika kita menantikan detik-detik terakhir pertemuan dengan sang kekasih. Ada harap dan terdapat cemas. Menyimpan sejumput harapan dan mengharap sejumlah kedamaian keteduhan kebersamaan. 

Mudik bagi masyarakat Indonesia sudah menjadi tradisi bahkan menjadi fenomena Setiap tahun. Selalu saja terdapat cerita sang pemudik baik duka maupun suka. Para selebritis kita pun tidak ingin ketinggalan meraih makna dari kegiatan mudik. Jika menjelang lebaran tidak melakukan ritual mudik bersama keluarga, seolah ada yang kurang dalam menjalani kehidupan bahkan mungkin dianggap sebagai suatu pelanggaran tradisi, suatu kesalahan. Silaturahmi yang sejatinya dijalin setiap saat, namun karena jarak yang tidak memungkinkan, maka satu tahun satu kali adalah sesuatu yang sangat dinantikan selama hampir 365 hari lamanya. Oleh karena itu rasanya berdosa jika tidak menyempatkan untuk bertandang pada saat lebaran untuk mereguk kenikmatan silaturahmi dengan keluarga dan sanak saudara.

Namun sebelum para pemudik dapat menggapai semua harapannya, sebelum para pemudik dapat melampiaskan semua dendam kerinduannya, sebelum para pemudik mereguk keindahan silaturahmi, Perjuangan yang harus dilalui para pemudik cukup berat. Tidak sedikit orang yang rela berbagi tempat duduk dengan barang-barang bawaannya, misalnya para pemudik yang menggunakan motor sebagai kendaraan mudiknya. Mereka merelakan anak-anaknya untuk bersentuhan dengan kejamnya arus lalu lintas, bergelut dengan terik matahari, diselimuti debu jalanan dan asap kendaraan. Begitupun sebagian lain harus rela disatukan dengan barang dalam sebuah truk atau kendaraan pick up demi sampai tujuan kampung halamannya. Bahkan bagi pemudik yang menggunakan kendaraan umum, harus rela menunggu berjam-jam untuk mendapatkan tiket. Bahkan beberapa pemudik harus menerima kenyataan karena salah satu anggota keluarganya menyusul lebih dulu ke’kampunghalaman’nya yang kekal di alam sana karena kecelakaan saat perjalanan. Tentu saja hal ini adalah sesuatu yang tidak dapat dilewatkan oleh para pemudik. Sebuah fase untuk memperoleh kemuliaan dikampungnya.

Begitupun jauh-jauh hari sebelum menempuh perjalanan mudik, para pemudik mempersiapkan segala sesuatunya untuk dibawa ke kampung halamannya sebagai oleh-oleh. Rasanya tak sempurna jika tidak membawa oleh-oleh dari kota tempat perantauannya untuk sekedar melengkapi rasa kerinduan terhadap keluarga. Bahkan jika tidak memiliki dana cukup untuk persiapan pulang kampung, para pemudik lebih baik menunda kepergiannya tahun depan, atau merelakan diri menguras simpanan tabungannya hingga habis.

Komunikasi Pemudik; sebuah pemaknaan
Mulyana, guru besar ilmu komunikasi dalam magnum opusnya menyatakan bahwa komunikasi adalah proses pemaknaan terhadap pesan-pesan yang bertebaran. Pesan tidak berjalan linier, namun sirkular, bersifat dua arah. Pesan dapat berupa kata-kata yang jelas yang disebut verbal atau sebuah ekspresi tanpa kata yang muncul dari seseorang berupa gesture yang disebut komunikasi nonverbal. Jika kita kategorikan, komunikasi para pemudik, bisa berupa pesan verbal, ketika mereka mengungkapkan perasaan kerinduannya kepada sanak keluarganya ataupun komunikasi nonverbal, yaitu seluruh ekspresi tanpa kata-kata yang muncul dari diri mereka yang dapat dimaknai oleh siapapun.

Seluruh perjuangan pemudik, baik ketika persiapan ataupun ketika dalam perjalanan, jika kita kembalikan pada asal manusia yang fitrah, bahwa para pemudik sebagai manusia yang selalu berkecenderungan, menginginkan sesuatu yang bersih dan hanif maka dapat kita maknai dengan sebuah analogi bahwa seluruh proses mudik tersebut adalah tidak lain persiapan menuju kepulangannya ke kampung yang kekal yaitu akhirat. Tempat kembali semua manusia kemudian. Sebuah komunikasi yang bersifat transenden.

Kampung halaman merupakan tempat dimana ia lahir, dibesarkan, tempat perjanjian antara anak dan orang tuanya bahwa sang pemudik akan menjadi anak yang berbakti, menjadi anak sholeh. Tempat bermain masa kanak-kanak dimana akan terkenang seluruh kenangan indahnya. Masa kanak-kanak adalah masa tanpa beban hidup, dimana hampir seluruh keinginannya dapat terpenuhi tanpa beban.

Dalam kacamata komunikasi transcendental, seperti dinyatakan oleh Mulyana sebagai sebuah komunikasi dengan Tuhannya, dimana persiapan mudik, semua perbekalan yang dibundel dapat dimaknai sebagai seluruh amal baik yang telah dikumpulkan selama pemudik hidup. Bundelan amal tersebut pada akhirnya akan diserahkan kepada Malaikat untuk ditimbang dan dinilai apakah layak untuk melanjutkan fase selanjutnya.

Proses perjalanan menuju kampung halaman dapat dimaknai sebagai sebuah proses perjalanan dalam jembatan sidratul muntaha. Sebuah jembatan menuju ‘kampung kekal’ akhirat. Jika amalnya baik dapat selamat melewati jembatan tersebut, namun jika amalnya kurang bisa saja jatuh dan harus menunggu proses untuk kemudian ada yang menyelamatkan atau bahkan celaka untuk selamanya.

Kita bisa melihat, bagi pemudik yang kurang mempersiapkan segala sesuatunya atau tidak shabar selama melakukan perjalanan, tidak sedikit yang tidak jadi mudik dengan berbagai alasan; karena belum cukup bekal, karena kecelakaan, karena kehabisan tiket. Ini adalah sebuah analogi bagaimana mempersiapkan hidup di dunia sebagai sebuah persiapan untuk melanjutkan perjalanan hidup selanjutnya di kampung kita yang kekal nanti. Namun sebagaimana para pemudik, selain bekal juga perlu menghadapi proses perjalanan yang harus dihadapi dengan shabar dan tawakal agar tidak terjadi sesuatu diperjalanan sehingga selamat sampai tujuan. Begitupun dalam hidup ini!

Garut, 19 Sept 2009


Post a Comment for "Komunikasi Para Pemudik"