Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Parvana, Sang Gadis Ranjau


Afghanistan pada masa rezim Taliban tahun 1996-2001, kotanya porakporanda akibat perang berkepanjangan. Kesewenangan penguasa membuyarkan denyut kehidupan warga. Sekolah baik formal ataupun nonformal dibubarkan, segala bentuk hiburan ditiadakan, dan perempuan dilarang keluar rumah sendiri tanpa Burqa yang menutupi seluruh tubuhnya. 

Keadaannya nyaris tanpa kehidupan, Kota Kabul menjadi kota yang mati. Perumahan dan perkebunan dibombardir, hanya puing-puing dan ketakutan yang tersisa. Para suami yang dicurigai berkiblat ke Amerika ditangkap dan dipenjarakan tanpa fasilitas yang layak dan tanpa peradilan.

Sebuah novel karya seorang Aktifis anti perang, seorang konselor, Deborah Ellis, mengangkat kisah nyata rakyat Afghanistan dengan sangat mengalir dan realistis (aliran realisme). Novel tersebut diambil dari hasil wawancaranya dengan gadis Afghanistan.

Gambaran di atas tentu sangat berbeda dengan sebelumnya, seperti saat menceritakan Nooria,”Ada masa di mana Kabul begitu cantik. Nooria ingat semua sisi jalannya, lampu-lampu lalulintas yang berubah warna, perjalanan sore ke restoran-restoran dan bioskop, memilih-milih pakaian dan buku di toko yang indah”. Namun  sepanjang jalan kini tinggal puing-puing belaka, dan bagi Parvana sangat sulit untuk membayangkan apa yang diceritakan oleh Nooria. (hal. 8)
Kondisi ini menimpa keluarga Parvana, gadis kecil berumur 11 tahun yang terpaksa harus menyamar menjadi laki-laki demi menghidupi keluarganya, seorang Ibu, Kakak perempuannya Nooria serta 2 adiknya; Maryam dan Ali.

Hidup di sebuah petak apartemen yang sudah retak-retak, jauh dari tetangga karena saling mencurigai dan demi menghindari mata-mata, namun beruntung masih ada sumber air bersih didekatnya yang dijadikan sebagai sumber kehidupan. Parvana menjadi tulang punggung keluarga, mengangkut air untuk seluruh keluarga; mandi, cuci, dan keperluan memasak. Ia juga menjadi satu-satunya yang diharapkan dapat mencari penghasilan untuk kelangsungan hidup seluruh keluarganya, karena perempuan bekerja keluar rumah tanpa seorang suami atau anak laki-laki dilarang oleh rezim Taliban.
Setelah ayahnya dipenjara, Parvana meniru apa yang sering dilakukan ayahnya untuk mencari uang. Beruntung datang Guru Parvana yang juga teman Ibunya, Parvana dijadikannya sebagai anak-laki, rambutnya dipotong pendek. Musnah sudahlah keinginannya untuk memiliki rambut panjang yang indah seperti Kakaknya Nooria.

Di Kabul, masih jarang orang yang dapat membaca, Afghanistan termasuk kota termiskin di Dunia. Beruntung Parvana memiliki orang tua yang berpendidikan sehingga menularkannya kepadanya.

Berbekal kepandaiannya membaca, yang ilmunya ia dapatkan saat masih sekolah, Parvana setiap hari menggelar selimut di pasar menunggu orang-orang yang memerlukan jasanya untuk membacakan/ menulis surat. Awalnya ia takut, namun setelah bertemu dengan Shauzia, teman sekolah yang juga menyamar menjadi laki-laki akhirnya ia  percaya diri.
Mencari uang tidak mudah. Dalam bisnis, selalu ada hari yang baik dan buruk. Terkadang Parvana duduk berjam-jam tanpa satupun pelanggan. Ia menghasilkan lebih sedikit uang dibandingkan ayahnya, tapi keluarga mereka masih butuh makan (hal 63).
Kesulitan hidup mendorong ia melakukan hal yang tabu bagi kebanyakan masyarakat Kabul/ Afghanistan, ia menggali tulang-tulang manusia untuk dijual. Hasilnya bisa 2-3 kali lipat dari pada membuka jasa membacakan surat. Namun tentu saja hal ini hanya sekali ia lakukan karena ia tidak bisa berbohong kepada Ibunya. Kadang ia ingat tengan masa-masa sekolah, mengobrol dengan teman-temannya, pulang bersama dan mengerjakan PR. Kadang ia mengkhayal,”Ketika sudah menjadi wanita tua kaya raya, kita akan minum teh bersama dan membicarakan hari ini,”ujarnya satu saat kepada Shauzia (hal 89).

Hasil dari penjualan tulang-tulang tersebut ia belikan baki sebagai tempat menjual rokok dan permen. Dari sinilah kehidupan keluarga Parvana berlanjut. Setiap hari berkeliling bersama Shauzia, kadang di pasa, kadang di lapangan bola, kadang di stasiun bis. Kadang parvana merasa lelah dan hanya ingin duduk di sekolah, ia tidak ingin tau lebih banyak tentang kematian, atau darah, perempuan dengan burqa yang mengemis dengan bayi-bayi di pangkuannya, namun faktanya hal tersebut adalah kehidupan normal di Kabul (hal 92).
Saat Shauzia ingin menghindari kehidupan miskin Afghanistan, Parvana justeru memikirkan keluarganya yang menjadi tanggung jawabnya. Shauzia ingin pergi jauh-jauh, sementara Parvana ingin tinggal di Afghanistan bersama keluarganya.

Tiba waktunya dimana Parvana ditinggalkan oleh Ibu, Kakak dan adik-adiknya karena Nooria akan menikah. Saat  mereka tidak ada, ayahnya dikeluarkan dari penjara, namun dengan kondisi yang sangat memprihatinkan, ia sakit parah sehingga memerlukan perawatan, Parvana tetap bekerja untuk mengobati dan memberi makan Ayah dan Bu Weera yang mengurusi ayahnya.
Novel berjudul ‘Parvana, Sang Pencari Nafkah’*, diceritakan dengan baik oleh Deborah Ellis. Ia mampu menggambarkan kehidupan Afghanistan yang sabar, ulet tanpa menghilangkan sifat kekanak-kanakannya yang lugu dan polos. Namun tidak pernah menyerah untuk meneruskan hidupnya. 

Bagi saya pribadi, novel yang baik adalah yang memberikan pelajaran nilai bagi pembacanya. Di samping itu, novel yang bagus adalah yang dapat menghanyutkan pembacanya ke dalam situasi dan kondisi yang menjadi alur dan latar novel tersebut, bahkan seolah pembaca medapatkan gambaran yang jelas tentang satu tempat dan keadaan, walaupun dalam imajinasinya. Hal inilah yang saya dapatkan dari novel ini, mengalir, bahasanya ringan. Pantas jika novel ini mendapatkan penghargaan dari Middle Eas Book Award tahun 2002.
Karya pertama dari sang penulis ini merupakan bagian pertama dari sekuel triloginya tentang Parvana.

Novel ini diterjemahkan dari judul asli “The Breadwinner”, diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia, Maret 2011.
*Buku Pertama Kiriman KPG.

Post a Comment for "Parvana, Sang Gadis Ranjau"