Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pencitraan Politik Daring; Strategi Memenangkan Massa Digital dalam Pemilu


Pemilihan Umum 2014 masih beberapa bulan lagi, namun pesan-pesan politik telah lebih dahulu melangkah sebelum pluit pertandingan dibunyikan. Mereka yang akan ikut kontestasi pemilu 2014 memasang strategi andalannya masing-masing bagaimana meraih dukungan publik untuk memenangkan pemilu baik untuk legislatif ataupun eksekutif. Melalui pendekatan Public Relations, mereka menggelar program-program yang melibatkan partisipasi masyarakat agar ingatan publik selalu terikat kepada penyelenggara program. Penyelenggara program dapat berupa lembaga—dalam hal ini adalah partai politik atau perseorangan—atau mereka yang akan ikut kontestasi.

Program-program ini dirancang demi membangun citra politik yang akan berdampak terhadap reputasi dari suatu partai atau calon Presiden ke depan. Aburizal Bakri, Ketua Umum Partai Golkar, merancang program pemberian bantuan untuk usaha kecil dan menengah di setiap daerah-daerah dengan menggunakan tagline ‘Bersama Bangkitkan Usaha Kecil’ sebagai program Golkar sekaligus program Aburizal Bakri (ARB). Bersama Partai Golkar ia menggelar program ‘Gerakan Ayo Bangkit’.

Memasuki pertengahan 2013, Prabowo Subianto, Pembina Partai Gerindra menggelar 6 program aksi transformasi bangsa melalui Partai yang didirikannya. Substansi program tersebut terkait masalah ekonomi, kedaulatan pangan dan energy, serta membangun pemerintahan yang kuat. yang Hatta Rajasa sendiri, Ketua Umum Partai Amanat Nasional menyelenggarakan program Maju Bersama PAN (MAPAN). Program tersebut merupakan program motivasi dan bantuan usaha untuk anak muda di seluruh Indonesia.

Wiranto dengan dengan Partai Hanuranya melakukan kerjasama dengan pengusaha media, Hari Tanoesudibyo. Selama ini, Hanura adalah partai kering dari pencitraan di ranah media. Setelah menggandeng Hari Tanoesudibyo, kegiatan Hanura sering dipublikasikan oleh Grup MNC Media. Di samping itu, Ketua Umum dan Ketua Dewan Pembina ini juga mengambil start awal untuk deklarasi pencalonannya sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden, terlepas apakah partainya masuk batas parliamentary threshold atau tidak.

Calon-calon lain yang bukan berasal dari partai atau tidak menduduki jabatan strategis dalam partai juga sudah mulai melakukan sosialisasi terbatas, seperti Mahfudz MD, Yusuf Kalla, Sri Mulyani, Sri Sultan HB atau calon lainnya yang menggunakan Partai Demokrat kini sedang mengikuti Konvensi Partai. Di samping itu, tokoh-tokoh partai lain yang memiliki suara minoritas mulai muncul kembali seperti Yusril Ihza Mahendra, Suryadharma Ali, dan lainnya. Mereka yang telah siap membuka wacana ke publik bahwa mereka akan mencalonkan diri menjadi Calon Presiden ke depan. Mereka yang masih bertahan untuk tidak membuka wacana untuk mencalonkan diri menjadi presiden adalah Megawati Soekarno Puteri dan Joko Widodo. Kedua yang disebutkan terakhir merupakan  petinggi dan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Joko Widodo Menjadi tokoh paling popular diantara tokoh lainnya sesuai dengan hasil survey mayoritas dari sekian banyak lembaga survey yang ada seperti banyak diberitakan oleh media-media nasional.

Pencitraan Merek Politik
Jika politisi diibaratkan sebagai sebuah produk, pencitraan baginya adalah sebuah keniscayaan. Pencitraan selama ini selalu identik dengan produk atau jasa yang akan dipasarkan. Namun sejak pemilu dilaksanakan secara proporsional terbuka untuk DPR dan pemilihan langsung untuk Presiden. Pencitraan menjadi bagian yang sangat penting dalam system pemasaran politik. Pemasaran politik sendiri merupakan metode praktis dalam konteks komunikasi politik. Pencitraan politik berada pada arsiran Pemasaran dan Public Relations sebagai objek studi dalam illmu komunikasi.

Dalam konteks pemasaran, politik kini menjadi produk yang perlu dipasarkan sebagaimana halnya dalam pemasaran komersil. Melalui pencitraan diharapkan terjadi pergeseran opini ke arah yang lebih baik. Dengan adanya opini publik yang positif, keputusan memilih menjadi keniscayaan terhadap politisi yang sedang bertarung di arena politik. Opini publik sendiri merupakan metode persuasi dengan system komunikasi yang lebih luas. Hal ini meneguhkan apa yang ditulis seorang politisi Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah, bahwa kesuksesan kandidat dalam pemilu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor soft power ketimbang hard power (Agung Wasesa, 2011: xxvii).

Menurut Firmanzah (2008, 229) citra atau image dibutuhkan untuk membedakan satu partai politik dengan partai politik lain, sebagai strategi positioning. Ia merupakan konstruksi atas representasi dan persepsi masyarakat akan suatu partai politik atau individu mengenai semua hal yang terkait dengan aktifitas politik. Menurut Firmanzah, walaupun citra politik tidak real, tetapi ia dapat diciptakan, dibangun, dan diperkuat. Citra politik memiliki kekuatan untuk memotivasi actor atau individu agar melakukan suatu hal. Ia dapat memengaruhi opini publik sekaligus menyebarkan makna-makna tertentu. Citra politik yang bagus akan memberikan efek yang positif terhadap pemilih guna memberikan suaranya dalam pemilihan kelak. Merek sendiri adalah nama yang memunculkan kesan psikologis seperti dinyatakan oleh Aleena Wheleer dalam buku Designing, Brand, Identity (2009:2).

“Merek seperti menciptakan persaingan terhadap pilihan yang tidak terbatas, perusahaan mencari cara untuk terhubung secara emosional dengan pelanggan, menjadi tak tergantikan, dan menciptakan hubungan hubungan seumur hidup. Sebuah merek menonjol kuat di pasar yang ramai. Orang jatuh cinta dengan merek, mempercayai mereka, dan percaya pada superioritas mereka. Kepercayaan tersebut datang terhadap merek baru, nonprofit, ataupun produk.”

Strategi positioning yang dinyatakan oleh Firmanzah, linier dengan ilmu pemasaran. Bagi ahli pemasaran, Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, dan Iwan Setiawan (Philip K, dkk, 2010:38), positioning adalah pernyataan tegas yang menyadarkan konsumen agar lebih hati-hati terhadap merek yang tidak otentik. Oleh karena itu menurutnya, perlu adanya diferensiasi yang merupakan DNA dari sebuah merek yang mencerminkan integritas merek sebenarnya. Bagi Philip K., dkk. diferensiasi adalah bukti kuat bahwa merek menyampaikan apa yang dijanjikannya. Diferensiasi yang bersinergi dengan positioning secara otomatis akan menciptakan brand image yang baik.  Artinya bahwa Citra yang baik lahir dari sebuah merk yang kuat dan terintegrasi; merek, positioning, dan diferensiasi. Philip K. dkk mengistilahkan dengan segitiga 3i. Dengan kata lain, agar tercipta opini publik dan citra yang otentik pemasar harus membidik pikiran dan spirit secara simultan untuk meraih hati konsumen (ibid, 39) atau konstituen dalam konteks politik.

Merek sendiri adalah sebuah identitas unik yang dibuat orang-orang pemasaran agar memudahkan konsumen memilih sebuah produk. Pengenalan identitas merek karena terdapat diferensiasi. Menurut Agung Wasesa (2011:7) dalam konteks politik, masyarakat memilih partai politik sebagai sebuah identitas yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya. Dengan adanya pencitraan merek—Brand Image—perilaku pemilih pada saat akan memilih kandidat tertentu  tidak lagi harus melalui  proses panjang yang membutuhkan waktu tetapi langsung melompat ke pilihan-pilihan tertentu. 

Lompatan-lompatan ini terbentuk karena adanya opini publik yang terjadi secara singkat. Proses opini publik sendiri, di era kebebasan mendapatkan informasi terjadi sangat cepat. Opini publik terjadi dalam ruang kognitif masyarakat. Ini menjadi tahap awal bagaimana selanjutnya masyarakat mengambil keputusan atau pilihan-pilihan politik saat dihadapkan dengan kandidat. Dengan adanya brand image, opini akan mengarah kepada merek yang memiliki positioning dan diferensiasi. Disinilah letak potong kompas opini sehingga terjadi lompatan. Bahkan menurut Dan Nimmo (Nimmo, 2006:4), opini publik tidak hanya melibatkan aspek kognitif belaka namun juga menggabungkan perasaan dan usul dari konstituen. Melalui opini publik, makna terus diproduksi sesuai dengan harapan konstituen dan kandidat. Makna sendiri selalu berubah-ubah sesuai dengan pengalaman konstituen. Makna yang muncul dalam kognisi dan afeksi masyarakat menjadi bagian yang  tidak terpisahkan dari citra yang dimaksud. Seperti disampaikan oleh Wasesa (2010: 55)  Citra di mata publik seperti fenomena gunung es, dapat terlihat dari pendapat atau pola pikir komunal pada saat memersepsikan realitas yang terjadi.

Dalam konteks politik Indonesia, pencitraan lembaga dan individu dengan lembaga yang dibawanya seringkali tidak seimbang. Citra personal lebih dominan dibandingkan dengan citra lembaganya. Sosok Susilo Bambang Yudhoyono lebih dominan dibandingkan dengan citra Partai Demokrat. Demokrat identic dengan merek dari Ketua Partainya dan pendirinya sekaligus. Begitu pula dengan Partai Gerindra, sosok Prabowo Subianto sangat dominan dalam mewarnai merek partai yang didirikannya. Dalam pandangan Public Relations, citra individu tersebut menjadi kekuatan dalam mendukung pengembangan citra lembaga seperti dinyatakan oleh Silih Agung Wisesa dan Jim Macnamara, menjadikan perseorangan atau individu sebagai salah satu sumber pencitraan merupakan salah satu kekuatan PR dalam mendukung pengembangan citra organisasi (2010:38). Menurutnya, satu hal yang harus dipahami pada dimensi citra perseorangan ini adalah bahwa semua orang boleh menjadi representasi lembaga dalam publikasi. Namun dalam konteks politik di Indonesia, pencitraan lembaga yang diwakili oleh perseorangan cenderung lebih terpusat pada salah satu tokoh tertentu seperti disebutkan di atas.

Citra merek perseorang yang muncul terhadap tokoh-tokoh partai tidak muncul secara instan. Jika menyebutkan Susilo Bambang Yudhoyono, citra yang disematkan kepadanya merupakan sebagai proses panjang hingga ia menduduki posisi puncak. Begitu pula citra popular Jokowi dan pada akhirnya menduduki posisi puncak di DKI Jakarta sebagai proses panjang. Ia muncul melalui kontestasi dan dinamika publik sehingga mayoritas publik menerimanya.

Menurut Dan Nimmo (2006:6) Citra personal dalam politik paling tidak memiliki tiga manfaat; pertama,betapapun benar atau kelirunya, lengkap atau tidak lengkapnya pengetahuan orang tentang politik, hal itu memberikan jalan kepadanya untuk memahami peristiwa politik tertentu. Kedua, kesukaan atau ketidaksukaan umum pada citra seseorang tentang politik menyajikan dasar untuk menilai objek politik. Ketiga, citra diri seseorang memberikan cara menghubungkan dirinya dengan orang lain. Citra seseorang membantu dalam pemahaman, penilaian, dan pengidentifikasian peristiwa, gagasan, tujuan, atau pemimpin politik. Citra membantu memberikan alasan yang dapat diterima secara subjektif tentang mengapa segala sesuatu hadir sebagai mana tampaknya, tentang preferensi politik, dan tentang penggabungan dengan orang lain. Orang tidak hanya memiliki alasan untuk bertindak tetapi juga memiliki kebutuhan untuk bertindak.

Untuk membagun citra politik, ada beberapa hal yang perlu disadari. Firmanzah (2012:232) memberikan catatan tentang hal tersebut. Pertama, untuk membangun image dibutuhkan waktu yang relatif lama. Publik membutuhkan rentang waktu yang panjang untuk bisa melihat kesesuaian pola dan alur politik mereka dengan suatu partai politik. Kedua, membangun image membutuhkan konsistensi dari semua hal yang dilakukan partai politik atau perseorangan bersangkutan seperti program kerja, platform, reputasi. Ketika terdapat ambiguitas atau inkonsistensi yang dilakukan, image yang terekam publik menjadi tidak utuh. Ketiga, image politik adalah kesan dan persepsi publik terhadap apa saja yang dilakukan oleh pelaku politik. Pelaku politik harus mampu membenamkan kesan, citra, dan reputasi dalam benak masyarakat. Keempat, image politik terdapat dalam kesadaran publik yang berasal dari memori kolektif masyarakat. Semua hal yang dilakukan pelaku politik tidak akan hilang begitu saja melainkan terekam dalam ingatan publik.

Apa yang dikesankan dan difahami dalam ingatan publik merupakan persepsi publik terhadap realitas. Kesan atau persepsi dibangun diatas realitas pelaku politik. Hubungan diantaranya, Agung Wasesa (2010:55) mengistilahkan dengan PRC kependekan dari persepsi-realitas-citra. PRC harus dibangun dengan pondasi kredibilitas. PRC yang tidak dibangun dan didasari oleh informasi realitas yang memiliki kredibilitas tinggi, hanya akan membangun citra yang lemah. Resikonya, akan terdapat celah negatif yang dapat dimanfaatkan oleh pihak lain yang memiliki kepentingan berseberangan, untuk kemudian membalik citra menjadi negative dengan mudah.

Agung Wasesa mencatat tahapan-tahapan pembentukan citra; Pertama, Question Marks. Merupakan tahap pertumbuhan saat lembaga/ perseorangan memiliki tingkat produktifitas tinggi, tetapi rendah pangsa pasarnya. Tahap ini citra yang dibentuk untuk memberikan edukasi kepada publik mengenai visi dan manfaat kehadiran partai tertentu atau pelaku politik perseorangan bagi publik. Misalnya pencalonan sebagai calon pemimpin daerah atau calon anggota legislative. Apa visinya, programnya, dampak untuk masyarakat secara sosial ataupun individual. Kedua, Stars. Lembaga atau perseorangan mulai mengalami pertumbungan pasar baik. Dalam konteks politik, kehadiran kandidat diterima dengan baik oleh konstituen. Penguasaan terhadap publik semakin baik. Artinya bahwa semakin banyak publik yang memberikan kesan positif karena visi dan programnya sesuai dengan harapan publik. Ketiga, Cash Cow. Terjadi kejenuhan saat programnya monoton dan publik tidak berkembang. Pelaku politiknya popular, tetapi dianggap biasa. Keempat, Dog. Tahap dimana terjadi kejenuhan dan terjadi kejatuhan merek. Prabowo berada pada titik ini saat reformasi karena dikesani sebagai salah satu pelaku pelanggaran HAM di Indonesia. Tetapi ia mampu bangkit dan mencitrakan diri sebagai pengusaha lalu mendirikan Partai. Walaupun baru, partainya mampu mengalahkan partai lama seperti Partai Bulan Bintang. Partainya masuk ke ambang batas (parliamentary treshold).

Terdapat beberapa pendekatan untuk membangun citra seperti yang dinyatakan oleh Agung Wasesa di atas, firmanzah menawarkan setidaknya tiga pendekatan yaitu pendekatan kognitif, afektif, dan mobilisasi kognitif dan afektif. Ketiga pendekatan tersebut dapat dimediasi oleh beragam media sehingga melahirkan diferensiasi dan positioning yang integral sebagai dampak dari komunikasi politik yang telah dilakukan. Berikut bagan proses pendekatan tersebut:

Bagan 1
Konstruksi Citra

Sumber : Firmanzah, Marketing Politik (2012:243)

Pencitraan Merek Politik melalui Media Digital
Efektifitas penyampaian pesan-pesan politik untuk membangun citra dan reputasi disampaikan melalui beragam media. Selama ini televisi masih menjadi media yang paling popular dalam pencitraan merek. Salah satu taktik pencitraan merek yang paling popular adalah Iklan dan publikasi. Seperti diberitakan tempo.co (13/06/2013), sepanjang tahun 2012 iklan televisi masih mendominasi dibandingkan dengan media lain. 70 % iklan dikuasai oleh televisi. Begitu juga dengan publikasi, seperti dapat dicermati dalam media televisi kehadiran publikasi lembaga ataupun tokoh partai sering muncul di televisi. Memasuki tahun 2013, menurut kabarbisnis.com (24/07/203) Iklan di televisi mulai disalib oleh iklan di media internet.

Hal ini sangat masuk akal, dengan pengguna internet yang mencapai 82 juta pada tahun 2013 menjadi potensi besar untuk memasarkan produk melalui pencitraan dari merek dan diprediksikan akan mencapai 102 juta pada tahun 2014 (APJII, 2013). Artinya bahwa baik partai ataupun kandidat perseorangan yang akan mengikuti kontestasi politik pada tahun 2014 berpeluang untuk merebut hati konstituennya melalui media daring. Mantan direktur pemasaran Coca Cola dalam bukunya “The End of Marketing As We Know It” bahwa pemasaran tradisional memang tidak mati—tapi ia mati. Baginya, teknologi telah memberikan banyak pilihan produk dan pemasar sendiri perlu menemukan cara mendekati pelanggan secara individual, atau kelompok-kelompok kecil dan lebih kecil (Meyers & Gerstman. Ed. 2001:2).

Melalui media daring, individu atau lembaga peserta pemilu dapat melakukan pencitraan merek daring. Melalui media daring, calon pemilih bisa menentukan mana kandidat yang sesuai dengan ekspektasinya di masa yang akan datang. Melalui bantuan teknologi, lembaga dapat menguatkan merek dan mempertahankan kekuasaannya. Menurut Deirdre Breakenridge (2001:2), ada beberapa hal yang dapat dikuatkan melalui pencitraan merek, yaitu menjaga eksistensi sejarahnya, dapat berkembang dari waktu ke waktu, mempengaruhi pilihan konsumen, dimiliki tanpa batas, tidak terjebak dalam isu budaya. Hal tersebut akan bertambah kuat jika menggunakan bantuan teknologi. Bojana Fajarinc (Meyers & Gerstman. Ed. 2001:8), mantan Direktur Global Marketing Service & Brand Management Hewlet Package menulis  bahwa internet telah melakukan evolusi secara cepat tentang konsep dasar merek.

Kegiatan pencitraan merek di dunia daring dengan dunia nyata harus konsisten dan seimbang seperti ditulis oleh Vivienne Lee Bechtold, Direktur I-Knowledge yang diakui oleh public Amerika sebagai Marketing Iteraktive of the year,The e-branding opportunity is generally best served when both online and offline assets are involved. The two parts work together to reinforce the best each has to offer”. Seperti apa yang dilakukan oleh Yahoo! pernah menempati posisi tertinggi dalam pencitraan merek pada tahun 2001 karena melakukan kegiatan pencitraan merek secara online sekaligus offline juga amazon.com. Dengan penguasaan teknologi, kemajuan dan perubahan berkembang dengan cepat. Hal serupa, lembaga partai atau perseorangan kandidat, tidak hanya akan dinilai dari perilaku yang terjadi di dunia daring, tetapi juga dalam kenyataan hidupnya sehari-hari. Melalui media daring, para kandidat melalukan pencitraan. Mereka berupaya mengikat para konstituennya dengan wacana, kegiatan, opini, ataupun sekedar bercengkrama dengan para konstituennya.

Dengan pengertian pencitraan merek di atas, upaya pengikatan emosional merupakan upaya melakukan diferensiasi dan positioning kandidat. Namun secara praktis, apa saja yang dapat dilakukan oleh seorang kandidat atau politisi di media daring. Berikut merupakan beberapa tools berupa aplikasi media daring yang dijadikan media pencitraan merek oleh kandidat; email, media sosial, multi user dimention, dan search engine (Rustandi, 2013:14). Dari empat media yang ada, media sosial merupakan media yang paling popular dijadikan sebagai sarana pencitraan oleh merek politik. Merek dalam konteks politik adalah kandidat sendiri.

Media sosial sendiri terdiri dari banyak jenisnya; Proyek kolaborasi wiki, corporate/ corporate/ personal website, personal blog, microblog, media konten, situs jejaring sosial, virtual game world, virtual siciak world, podcast, forum, (Rustandi, 2013:13) juga media online yang menjadi ruang publik atau lebih ke situs komunikasi satu arah. Dari beberapa jenis media dalam jaringan tersebut, beberapa diantaranya sangat dominan dijadikan media pencitraan oleh pemilik merek politik seperti media jejaring sosial, microblog, website dan blog, media konten, serta media online.

Media jejaring sosial atau situs jejaring sosial adalah aplikasi yang dapat digunakan seseorang untuk terhubung dengan orang lain dengan menggunakan profil dengan sebuah akun tertentu. Contohnya adalah facebook, googleplus, myspace, dan lain-lain. sedangkan microblog adalah bentuk blog yang dapat memublikasikan tulisan dengan dibatasi hanya 140 karakter yang lebih menyerupai short message service (sms). Contoh yang paling popular adalah twitter. Website dan blog merupakan kumpulan dari berbagai halaman (HTML/ hyper text mark up language) yang terdiri dari berbagai macam dan format file. Ia juga terdiri dari berbagai macam topic sesuai dengan selera dan konsep pemilik/ pembuatnya. Situs berbasis konten adalah sebuah website atau blog yang merupakan kumpulan dari beragam pengguna yang dapat menyimpan dan berbagai file, contohnya seperti youtube, flickr, kompasiana. Sedangkan media online adalah media-media arus utama yang berbadan hukum pers seperti kompas.com, detik.com, republika.com, dan lain-lain.

Untuk melakukan pencitraan merek, para politisi menjaring konstituen melalui berbagai jenis media sosial yang telah disebutkan. Mereka menjaring konstituen melalui twitter, menyapa melalui facebook, berwacana melalui blog/ website, termasuk mereka  memiliki pasukan di media berbasis konten.

Literasi Media Digital
Walaupun bukan sebuah metode dalam penelitian, namun melalui kegiatan literasi penulis dapat melakukan analisis bagaimana kandidat melakukan pencitraannya. Melalui kegiatan literasi dapat diketahui sejauhmana, seberapa besar peluang, sepositif apa citranya untuk meraih dukungan dari massa digital menjelang pemilu 2014. Melalui literasi media digital akan didapat kesimpulan siapa yang layak, kuat, atau paling berpeluang. Apalagi memasuki tahun 2013, internet telah menjadi dunia yang memiliki massanya sendiri. Ia hidup berdampingan dengan dunia nyata. Ia bahkan sudah menjadi dunia tersendiri.

Menurut Sulistyo Basuki (2013) dalam makalahnya tentang Literasi Informasi dan Literasi Digital, literasi media adalah kemampuan seseorang untuk menggunakan berbagai media guna mengakses, analisis serta menghasilkan informasi untuk berbagai keperluan. Menurutnya literasi media mencakup 3 bidang yaitu bermakna memiliki akses ke media, memahami media dan menciptakan/mengekspresikan diri sendiri dengan menggunakan media.

Ia menulis dalam makalahnya tersebut bahwa literasi media mencakup semuanya dari memiliki pengetahuan yang diperlukan untuk menggunakan teknologi media lama dan baru sampai dengan memiliki hubungan kritis ke konten media. Melalui pendekatan itu pula penulis akan melakukan analisis. Dimana media digital sudah sangat terbuka. Pemikiran-pemikiran seseorang dapat ditemukan dengan cukup mudah di ruang-ruang virtual tersebut. Melalui media digital, semua informasi didapatkan dengan tanpa batas. Setiap orang juga dapat menjangkau massa yang tanpa batas pula. Melalui kegiatan penelusuran penulis dapat membaca strategi bagaimana para bakal calon presiden tersebut mengambil hati para konstituennya. 

Lebih spesifik ia menjelaskan tentang linterasi media digital sebagai bagian dari literasi informasi sebagai kemampuan memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai format dari sejumlah sumber daya tatkala sumber daya tersebut disajikan melalui komputer. Sesuai dengan perkembangan, pemakai tidak memedulikan darimana asalnya informasi, yang penting dapat mengaksesnya. Untuk memahami literasi media digital baiknya mengetahui komponen-komponen pendukungnya yaitu: (1) tonggak pendukung berupa literasi itu sendiri dan literasi komputer, informasi & teknologi komunikasi; (2) pengetahuan latar belakang yang terdiri dari dunia informasi dan sifat sumber daya informasi; (3) kompetensi yang terdiri dari: (a) pemahaman format digital dan nondigital serta penciptaan, (b) komunikasi informasi digital, (c) evaluasi informasi, (d) perakitan pengetahuan, (e) literasi informasi, dan (f) literasi media; (4) sikap dan perspektif berkaitan dengan landasan etik terhadap penggunaan informasi bahwa akses yang hampir tidak terbatas pada web diikuti dengan pemahaman jika materi yang diunduh tidak semua bebas dari hak cipta (Basuki, 2013).

Untuk memudahkan penelusuran informasi media digital, penulis akan menggunakan salah satu model  literasi seperti yang disebutkan oleh Basuki.

Aplikasi/ tools monitoring media digital seperti search engine, topsy, dan tools lain yang dapat melacak informasi-informasi berkaitan dengan eksistensi bakal calon di ruang virtual tersebut. Termasuk juga di dalamnya berbagai opini dan pandangan masyarakat pengguna internet atau pun para blogger sebagai pelengkap informasi berharga di era mobile information.

Literasi Media Digital Kandidat Presiden untuk Pemilu 2014
Sebelum melakukan studi literasi tentang Strategi Komunikasi Politik Calon Presiden melalui kegiatan pencitraan politik daring menuju pemilu 2014. Penulis akan melakukan studi pustaka politisi baik luar negeri atau pun di Indonesia yang berhasil melakukan pencitraan politik daring sebagai bagian dari strategi komunikasi politik menuju pemilu 2014.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nicholas A. Christakis, dan James H. Flower, tahun 2008 Obama menjadi personal starter yang melakukan pencitraan politik melalui media daring. Ia membangun sebuah situs jejaring sosial yang menghubungkan dirinya dengan para konstituennya di my.barackobama.com (kini menjadi barackobama.com). Ia tidak hanya berhubungan dengan para konstituen, namun juga menghubungkan para konstituennya. Para pengguna situs jejaring tersebut dapat membahas, menyumbang atau mengorganisasi kegiatan sosial di dunia nyata (2010: 208). Ia juga belakangan berkomunikasi langsung melalui akun twitter dengan konstituennya. Ia termasuk yang paling popular dan memiliki jumlah follower jutaan setara dengan selebritis.

Melalui situs jejaring sosial, setiap calon anggota DPR pada pemilihan legislative yang memiliki hubungan jejaring sosial mampu menggalang tambahan sepuluh suara di atas rata-rata sedangkan senator yang memiliki hubungan dapat menambah enam belas di atas rata-rata. (2010:242). Salah satu simpulan dari hasil penelitian tersebut, bahwa pengaruh jejaring sosial dapat memberi efek viral dan berlipat terhadap teman-teman jejaringnya. Hal inilah yang terjadi pada Obama pada tahun 2008. Satu orang mempengaruhi dan mengajak dan mempengaruhi yang lain.

Fenomena dampak teknologi internet terhadap sikap politik masyarakat mempengaruhi para politisi di Indonesia, baik eksekutif ataupun legislatif. Mereka membuka komunikasi egaliter dengan para konstituennya. Tidak heran diantara mereka dapat meraih kemenangan. Seperti pada kasus kemenangan Gubernur Jawa Barat Aher-Deddy, menurut situs politicawave.com, situs media monitoring politik di Indonesia, Aher-Deddy sebelum kemenangannya menguasai percakapan di media sosial, mulai dari twitter, facebook, forum, ataupun blog. Begitu juga Alex-Ishak sebelum kemenangannya menguasai percakapan (buzz) di media sosial 70 % percakapan dari 60 % pengguna internet di Sumatera Selatan memberikan tanggapan positif terhadap petahana tersebut (www.politicawave.com). Begitu juga tahun 2012 lalu saat Joko Widodo-Basuki Tjahyana menjadi kandidat gubernur DKI, ia adalah kandidat yang banyak diperbincangkan di media sosial menurut pantauan politicawave (Gatra.com).

Penentuan siapa kandidat atau figur calon presiden tahun 2014 yang akan dianalisis juga berdasarkan percakapan di media sosial, baik situs jejaring sosial, blog, website, ataupun mainstream media online. Mereka diperbincangkan oleh masyarakat di media sosial sebagai figur yang layak. Dari hasil percakapan masyarakat di media sosial terkumpul beberapa figur yang dinilai layak yang selanjutnya diindex menjadi bentuk presentasi. Hal ini dilakukan oleh politicawave.com. Berdasarkan hasil pantauan dari politicawave.com, bakal calon presiden tahun 2014 adalah sebagai berikut: Aburizal Bakri, Dahlan Iskan,  Gita Wirjawan, Hatta Rajasa, Yusuf Kalla, Mahfud MD, Megawati, Prabowo, Wiranto, Anies Baswedan, Yusril Ihza Mahendra, Pramono Edi, dan Jokowi. (politicawave.com).

DAFTAR PUSTAKA
Agung Wasesa, Silih (2011) Political Branding & Public Relations. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Agung Wasesa, S., & Macnamara, J. (2010) Strategi Public Relations, Membangun Pencitraan Berbiaya Minimal dengan Hasil Maksimal. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Firmanzah (2012) Marketing Politik, Antara Pemahaman dan Realitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Kotler, Philip, dkk. 2010. Marketing 3.0. Jakarta: Erlangga.
Kotler, Philip dkk. (2010) Marketing 3.0, Mulai dari Produk ke Pelanggan ke Human Spirit. Jakarta: Erlangga.
Nimmo, Dan (2006) Political Communications and Public Opinion and America (Penerjemah Tjun Surjaman). Bandung: Mizan.
Breakenridge, Deirdre (2001) Cyberbranding, Brand Building in The Digital Economy. United States of Amerika: Prentice Hall PTR.
Meyers, H., & Gerstman, R. (Ed) (2001) Branding @ The Digital Age. New Yorks:Palgrave.
Rustandi, Dudi (2013) Modul Cyber Public Relations. Bandung: Politeknik Lp3i Bandung.
Wheleer, Alena (2009) Designing Brand Identity: An Essential Guide for the Entire Branding Team. New Jersey. John Wiley & Sons, Inc., Hoboken.
A. Christakis, N., dan H. Flower H. (2010) Connected, Dahsyatnya Kekuatan Jejaring Sosial Mengubah Hidup Kita.
Internet:
Basuki, Sulistyo (2013) Literasi Informasi dan Literasi Digital. 25 Maret 2013. . Diunduh tanggal 14 Oktober 2013
Tempo.co. 2013. Belanja Iklan TV Terus Naik. <http://www.tempo.co/read/news/2013/06/13/090487954/Belanja-Iklan-TV-Terus-Naik; Diakses tanggal 05 Oktober 2013
Kabarbisnis.com. 2013. Bisnis iklan media internet diramal segera lampaui televisi. > Diakses tanggal 05 Oktober 2013
APJII. 2013. Grafik Pengguna Internet. Diakses tanggal 05 Oktober 2013
Politicawave.com (2013) Aher-Deddy Kuasai Jejaring Sosial.                                                 diakses tanggal 15 Oktober 2013
______________ (2013) Pemilihan Presiden Nasional 2014.   diunduh tanggal 15 Oktober 203
_____________ (2013) Alex – Ishak Pimpin Sumsel.   diakses tanggal 15 Oktober 2013
Gatra.com (2012) Politicawave: 60% Percakapan di Sosmed Soal Jokowi.   diakses tanggal 15 Oktober 2015
*Arsip Jurnal tahun Akhir 2013

2 comments for "Pencitraan Politik Daring; Strategi Memenangkan Massa Digital dalam Pemilu"

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...