Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dewis Akbar Setarakan Pendidikan Kampung dengan Kota

Dewis Akbar (41), Pria lulusan Institut Pertanian Bogor (IPB) lebih memilih jadi Guru SD dibandingkan dengan bekerja di Industri. Ia merasa bahwa di kampungnya, Garut, lebih membutuhkan ilmunya daripada di Industri. Apalagi dengan kondisi Garut yang masih termasuk 10 kab/ kota dengan jumlah warganya banyak yang miskin. Di luar sela-sela sebagai petani teh di Garut, Kang Dewis—panggilan akrabnya, memberikan kursus eskul Teknologi Informasi dan Komunikasi kepada siswa di sekolah SD di Garut.

Hal tersebut, ia sampaikan saat bercerita di sebuah kantor civil society organization (CSO) atau organisasi nonpemerintah, Commonroom beberapa tahun lalu. Saya juga bertanya sekilas tentang aktivitasnya yang memanfaatkan sepeda motornya menjadi lab komputer mini. Dewis merupakan penggagas MiniLab On Bike di Kota Garut. Dewis berkeliling dari sekolah ke sekolah untuk mengajarkan Teknologi Informasi dan Komunikasi kepada siswa di beberapa SD khususnya SD yang berada di area Regol Kota Garut.

Ia mengubah ruangan 6x6 meter di SDN Regol 10 Kota Garut menjadi sebuah lab komputer mini. Sejak 2014 ia menjadi Guru Ekstrakurikuler di SD tersebut. SD tersebut awalnya tidak memiliki lab sama sekali, karena jikapun terdapat komputer, hal itu digunakan untuk keperluan administrasi sekolah. Pengajaran TIK pun nyaris tanpa praktik sehingga belajar menjadi cepat bosan.

Saat komputernya bertambah menjadi tigak unit, Dewis tidak mampu memaksimalkan pembelajarannya. Anak-anak hanya belajar Microsoft office. Padahal seharusnya, anak-anak era digital sudah belajar tentang banyak hal apalagi teknologi setiap saatnya selalu terjadi pembaharuan. Berangkat dari keterbatasan tersebut, ia akhirnya mendirikan kelompok ekstrakurikuler yang ia namakan dengan STEAM Club. STEAM Club adalah singkatan dari Science, Technology, Engineering, Art, & Math Club.

Melalui Club eskul ini, Dewis berusaha mengajarkan pembelajaran coding untuk anak-anak kelas V. Selain coding, anak-anak juga belajar membuat program atau aplikasi. Namun, tantangan pertama adalah, kesulitan mengajarkan komputer kepada anak-anak yang tidak memiliki komputer. Untuk mengetikkan satu kalimat saja susah. Hal ini tentu berbeda dengan saat mengajarkan komputer kepada anak yang di rumahnya sudah memiliki komputer. Begitu kelakar Dewis kepada tim media JPPN.

Dewis bersama MiniLab-nya, (sumber: facebook Dewis Akbar, 2018)

Namun kesulitan tersebut menjadi pemacu semangat bagi Dewis, karena melihat semangat anak-anak untuk belajar TIK. Melalui klub eksul yang ia inisiasi, anak-anak pun mulai belajar pemrogaman, ia pun membuat projek pertamanya yaitu Saron Simulator, yaitu aplikasi android untuk belajar bermain gamelan. Saron simulator dimainkan seperti alat biasa, yaitu melalui alat-alat yang terbuat dari papan dan aklirik serta rekaman suara.

Dari STEAM Club tersebut juga, ia menciptakan lab komputer yang dinamis, mobile, bisa bergerak kemana-mana melalui MiniLab On Bike. MiniLab On Bike pun menjadi organisasi yang didirikan Dewis untuk mendorong Pendidikan anak dalam bidang ICT. Dewis sendiri membuat MiniLab Kom terinspirasi dari perpustakaan keliling. Sementara untuk lab yang menggunakan container plastic yang menjadi tempat penyimpanan monitor terinspirasi dari penjual donat.

Laboratorium komputer mini yang ia ciptakan menggunakan aplikasi yang ia beri nama Raspberry Pi. Melalui MiniLab Kom ia bisa berkeliling ke setiap sekolah yang ada di Garut. Sehingga saat menyelenggarakan workshop ia bisa melakukan simulasi terhadap siswa. Peminatnya pun relatif banyak pada setiap sekolah, tadinya ingin membatasi hanya 30 siswa per sekolah, justeru hampir 2 kali lipatnya yang tertarik mengikuti workshop-workshopnya.

Ia pun sukses membawa anak-anak didiknya untuk ikut pameran pada kegiatan Indocomtech pada tahun 2018 lalu. Ia bersama anak didiknya dengan cekatan memeragakan bagaimana melakukan kegiatan coding melalui simulasi dadu, sehingga anak-anak mudah paham terhadap bahasa pemrograman.

Ia juga memiliki konsentrasi untuk memperluas dalam mendidik anak-anak yang kurang beruntung. Karena sebagaimana diketahui, untuk memiliki komputer membutuhkan sumber daya keuangan yang tidak sedikit. Dewis, melalui lab mininya menghitung satu anak hanya butuh Rp.25000 sd. Rp 50.000 agar bisa belajar komputer khususnya bahasa pemrograman. 

Jika di tahun 2018 ia hanya bisa menjamin dengan dana 10 Juta untuk 360 siswa belajar coding, setahun kemudian, tahun 2019 ia berani mengatakan jika dengan dana 10 juta bisa untuk belajar coding untuk 1000 anak.

Sumber: Beranda jejaring sosial Moch Latif Audah

Bahkan dalam satu postingannya di media sosial, Dewis menghitung dengan Yakin, dengan modal Rp.1 juta ia bisa memberikan Pendidikan untuk seribu siswa SD. Ia merasa penting mengajarkan pemrograman kepada anak-anak, agar bisa menyiapkan masa depannya sejak Dini.

Saat diwawancara oleh CNN Indonesia, Dewis mengatakan,” Pertama anak-anak SD belajar coding agar di masa depan siap kerja, kedua belajar coding tidak harus anaknya nanti jadi programmer tapi untuk melatih problem solving dan computational thinking, jadi membuat pola pikir menjadi sistematis.

Apa yang disampaikan oleh Dewis tampak relevan, salah satunya adalah saat anak didikannya yang masih SD begitu lancar menyampaikan bagaimana proses simulasi gamelan elektronik ciptaan timnya bersama Sang Guru. Ia juga lancar menjawab pertanyaan-pertanyaan dari reporter CNN bahkan bisa menyimulasikan gamelan hanya dengan menyentuh hidungnya.

Dewis Akbar ingin membangun model pendidikan ICT terdesentralisasi dan terlokalisasi sehingga dapat menciptakan akses bagi generasi muda ke dalam dunia digital, melalui edukasi dan literasi digital. Literasi yang dimaksud adalah mengembangkan keterampilan digital dan pemrograman di daerah terpencil, khususnya Garut.

Dewis Akbar (Kanan) bersama jejaringnya.

Melalui LabMini yang dapat dibawa kemana-mana, Dewis mampu meminimalisir kesenjangan digital, karena dengan lab komputer mini yang ia ciptakan, Dewis berhasil memanfaatkan ruang kosong di sekolah menggunakan paket komputer berbiaya rendah. Dengan Rp.25000 s.d Rp50000 ia dapat mengajarkan 10 siswa SD dalam setiap paketnya  sehingga memiliki keterampilan coding.

Ia juga mendorong agar setiap guru dapat menjangkau sekitar 6 sekolah dalam seminggu untuk menyampaikan kurikulum rancangannya agar dapat diimplementasikan dan menjadi menginspirasi kreatif, pemecahan masalah, dan pembelajaran seumur hidup sehingga siswa SD dapat menyiapkan masa depannya lebih dini.

Sebagai Sarjana Elektro, Ia tidak hanya fokus pada program pemrograman saja, karena fokusnya adalah inovasi. Ia juga belajar untuk meningkatkan hasil pertanian demi mengolah asset pertanian orang tuanya. Ia sadar bahwa banyak teknologi terapan yang dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan potensi lokal dengan memanfaatkan bahan yang ada di daerah.

Melalui inovasi dan kepeduliannya terhadap anak-anak di daerah, ia pun mendapatkan ganjaran dari Indonesia ICT Awards (Inaicta) 2014, Merit Award Asia Pacific ICT Alliance (Apicta) Awards 2014, penghargaan SATU Indonesia Award 2016 yang dihelat PT Astra International Tbk, tampil pada Indocomtech 2018. Ia berhasil membawa anak-anak kampung ke kota. Mendorong mereka percaya diri bicara dan mensimulasikan teknologi.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Dewis, bahwa melalui pembelajaran TIK, anak-anak menyiapkan masa depannya sejak dini, ini terbukti dari pengalaman yang didapatkan oleh anak didiknya, Seperti pengalaman dari anggota STEAM Club yang sudah lulus, Aldilla Rachmawati, ia sangat bersemangat untuk terus berbagi ilmunya kepada teman-temannya dan semakin bersemangat untuk belajar.

  

Post a Comment for "Dewis Akbar Setarakan Pendidikan Kampung dengan Kota"