Menjadi Suami, Ayah, dan Bapak Rumah Tangga

Keluarga, dokumen pribadi

Memutuskan menjadi suami, maka seharusnya secara otomatis juga menjadi bapak atau seorang ayah. Menjadi seorang suami, maka seharusnya otomatis juga menjadi seorang Bapak Rumah Tangga. – Abah Raka.

 Isu Pengasuhan

Saya memutuskan untuk membuat rubrik baru “Bapak Rumah Tangga” pada blog yang saya kelola ini, bukan berarti saya telah menjadi seorang suami, ayah, dan bapak rumah tangga yang baik atau sempurna, namun seiring munculnya kesadaran bahwa menjadi suami itu harus utuh.

Sebetulnya, niat ini sudah terbersit sejak persoalan gadget melanda anak-anak. Banyak orang tua yang mencemaskan perilaku anaknya berhubungan dengna gawai yang terlalu intens. Banyak kasus-kasus seperti kecanduan, depresi, dan kelainan jiwa akibat gawai tersebut. Kenapa bisa? salah satu kuncinya adalah orang tua. Saya pun menyadari, sebagai salah satu orang tua di rumah, harus punya peran untuk mengendalikan dan meminimalisir persoalan tersebut.

Sehingga muncullah kesadaran dan lecutan terhadap diri ini. Menjadi seorang laki-laki, tidak sekadar menjadi suami, namun juga sebagai orang tua yang harusnya punya peran utuh. Sebagai suami juga sebagai bapak, harus berperan serta dalam mendidik anak-anak. Kesadaran ini tidak tiba-tiba muncul. Butuh proses panjang. Karena ketika seorang laki-laki menjadi seorang suami, ternyata tidak otomatis bisa dan mampu menjadi seorang pasangan yang menjalankan perannya, apalagi menjadi seorang bapak. 

Hal ini bisa jadi, pertama karena tidak ada pendidikan khusus bagi seorang laki-laki yang akan menikah, walaupun ada kursus pranikah, namun sekadar formalitas. Kedua, kurangnya literasi dari seorang laki-laki tersebut, bahwa ketika menikah bukan hanya siap menafkahi, namun juga harus siap membadani anak ketika status itu lahir. Wajar jika sekarang bermunculan kampanye-kampanye sekolah calon suami, salah satunya karena kurangnya pendidikan calon suami calon bapak atau calon ibu. Termasuk saya juga.

Alhamdulillah, ketika anak kedua lahir karena jaraknya relatif dekat, lingkungan sangat support, terutama isteri. Hanya sejak mau menikah sudah punya kesadaran, kesepakatan, bahwa jika kelak anak-anak lahir, tidak menitipkan atau tidak mengasuhkan anak kepada orang lain, termasuk neneknya. Karena itu menjadi tanggung jawab orang tuanya. 

Di samping itu, sudah mulai literasi, anak-anak brokenhome, karena kesibukan orang tuanya bekerja, tidak pernah berinteraksi secara intensif dengan orang tuanya, baik ibu atau bapaknya. Menjadikan anak jauh secara emosional dari orang tuanya. Anakpun mencari pelarian, maka wajar bergabung dengan misalnya geng motor yang dekat dengan perilaku agresif dan kekerasan. 

Dari satu kasus, dua kasus, banyaknya pemberitaan. Semakin menyadarkan kami (saya dan isteri) bahwa orang tua dan anak, setidaknya sampai pada batas usia tertentu harus membangun bonding. Salah satunya tidak menitip-nitipkan anak sebelum usia sekolah dasar. Itu menjadi modal awal kami menjadi orang tua. Walaupun tentu saja perjalannya masih sangat panjang.

Menjadi Bapak Rumah Tangga

Hasil dialektika dengan lingkungan sekitar, dengan isteri, bapak-bapak muda yang mengeluh anak-anaknya sudah dikendalikan dari bermain gadget, beragam kasus, sampai isu tentang fatherless di Indonesia,  termasuk juga diri sendiri yang sejak usia 10 tahun sudah kehilangan sosok ayah, sehingga tidak merasakan bagaimana kasih sayang seorang bapak, yang pada akhirnya mengantarkan kami untuk berikhtiar bagaimana mendidik anak-anak di rumah. 

Salah satu yang kami sadari adalah terkait dengan bonding. Bagaimana membangun ikatan emosional yang kuat antara anak dengan orang tuanya. Hal ini juga yang mengantarkan saya pada kesadaran, keinginan dan empati terhadap keadaan rumah baik isteri ataupun anak. 

Rumah bukan hanya tempat kerja isteri namun juga tempat kerja suami. Pekerjaan rumah tangga bukan hanya tanggung jawab isteri namun juga tanggung jawab suami. Baik dan buruknya keadaan rumah tangga tidak hanya berasal dari kontribusi salah satu, tapi adalah hasil kerja bersama.

Kesadaran tersebut memang tidak serta merta muncul begitu saja. Peran isteri sangat besar untuk terus mendorong saya agar lebih bertanggung jawab terhadap anak khususnya. Pada sisi lain, bertambahnya anak dari mulai 1, 2, 3, dan 4 menambah beban pekerjaan isteri di rumah. Sehingga menuntut saya untuk menyisihkan waktu saat di rumah agar mau membersamai isteri, walaupun tidak maksimal. Tentu saja, sikon isteri juga menjadi pelecut bahwa seorang suami benar-benar harus berperan di rumah, tidak hanya sebagai pencari nafkah.

Jangan Biarkan Fatherless

Keadaan rumah berbeda saat memiliki anak satu, lalu bertambah dua. Sama halnya, bagaimana kebutuhan keuangan juga turut berubah menyesuaikan dengan jumlah anak tersebut. Seperti yang saya rasakan, saat mulai lahir anak kedua, saya tidak bisa lagi mengandalkan hanya menjadi freelance atau part time jobber (pekerja paruh waktu). Maka mau tidak mau harus memiliki penghasilan tetap agar kebutuhan tetap bisa terpenuhi.

Maka, pada saat anak kedua lahir, saya memutuskan untuk bekerja penuh waktu, agar memiliki penghasilan tetap. Tentu ini Keputusan berat, karena harus tinggal pada satu tempat dari senin-sabtu selama satu minggu.

Sebulan pertama bekerja penuh waktu memang tidak nyaman, kata orang sunda itu istilahnya Guling Gasahan. Tidak enak diam di meja, hanya memelototi laptop. Namun lewat satu bulan sampai dua bulan, mulai terbiasa, mulai menikmati.

Begitu juga menjadi bapak rumah tangga, semua pekerjaan rumah dari A s.d. Z dikerjakan isteri.  Bagi yang tidak terbiasa, akan kesulitan untuk memulai, dan sulit rasanya, dengan konstruksi sosial bahwa suami pencari nafkah seolah-olah perannya berhenti hanya mencari nafkah saja. Padahal ada peran yang lebih besar dari itu, yaitu masa depan keluarga. Salah satunya ada pada keluarga yang utuh. Keluarga yang utuh terletak pada keadaan rumah, keadaan anak, juga keadaan pasangan.

Hal ini sangat saya rasakan, saat bertambah anak kedua plus ketiga, isteri mulai kewalahan, maka mulai terlecut, bahwa rumah bukan hanya tanggung jawab isteri, suami harus turut serta membersamai.

Seorang Bapak adalah ART

Sedikit-demi sedikit muncul empati, dan inilah yang pada akhirnya menjadi rutinitas suami, dari sekadar kerja di luar, kini juga harus kerja di rumah. Mengerjakan pekerjaan rumah. Rutinitas inilah yang pada akhirnya menjadikan saya punya profesi baru, sebagai Bapak Rumah Tangga. Walaupun tentu, Bapak Rumah Tangga dalam versi saya, karena pada akhirnya hanya bersifat perbantuan yang sangat minim. Tapi tetap ada usaha, ada upaya, ada kesadaran. Kesadaran inilah yang pada akhirnya mendorong saya untuk mendedikasikan blog ini sebagai blognya dunia bapak-bapak.

Seperti apa saja kerja-kerja menjadi Bapak Rumah Tangga tersebut yang saya singkat selanjutnya menjadi ART (Abah Rumah Tangga).

Rubrik ini juga yang pada akhirnya akan mengkerucutkan niche blog ini, agar lebih menyempit untuk membersamai keluarga. Beberapa yang tidak penting rubriknya, atau yang menjadi tambah meluas tidak jelas akan saya hapus, walaupun kontennya akan tetap berada dalam blog ini. Karena umurnya sudah lumayan berkarta, sejak 2006 atau sejak tulisan pertama dimuat di media cetak nasional Pikiran Rakyat, tepatnya semester akhir saat menjadi mahasiswa sarjana.

Niche Tahun Baru 2025

Jadilah, rubrik ini yang akan membawa ke dunia bapak-bapak; tentang menjadi bapak rumah tangga atau abah rumah tangga sesuai dengan panggilan anak di rumah, tentang membersamai anak dan keluarga, tentang komunikasi dengan pasangan, tentang apapun yang berkaitan dengan keluarga. Walaupun niche utamanya tetap seperti traveling; ngasuhday dan famtrip, jika pun ada yang solo sebagai pelengkap saja. Blogging lebih fokus pada catatan personal, dan kopi sebagai ciri khas bapak-bapak.

Semoga ini menjadi salah satu cara seorang bapak-bapak mengabdikan diri pada keluarga. Cara memperbaiki bapak-bapak membersamai famili. Menjadi alat bapak-bapak untuk lebih sadar bahwa keluarga adalah yang utama dan pertama. Terlepas pekerjaannya sesibuk apapun. Sebagai sebuah ikhtiar untuk menjadi bapak yang lebih baik. Jangan sampai keluarga tidak merasakan kehadiran bapaknya. Sekali lagi, sebagai ikhtiar.

Semoga 2025 ini, menemukan niche yang tepat setelah beberapa kali ganti-ganti namun dengan konten yang tetap.

Selamat datang tahun 2025. Selamat datang dunia bapak-bapak. Banyak doa dan harap, tidak ada resolusi, hanya ada produktivitas.***[]

40 komentar untuk "Menjadi Suami, Ayah, dan Bapak Rumah Tangga"

  1. inspiratif sekali Pak. Kadang memang kita sebagai bapak2 merasa sudah lelah mencari nafkah, jadi semua urusan di rumah seolah2 tanggung jawab istri ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, sejak awal kita dikonstruk secara sosial, bahwa tugas suami itu cari nafkah, padahal posisi laki-laki dan perempuan itu, suami-isteri itu di mata tuhan setara, sama-sama sebagai pakaian satu sama lain, maka seharusnya posisi di rumah juga sama, pekerjaan harus saling bantu.

      Hapus
  2. keren pak, sangat menginspirasi sebagai seorang suami sekaligus bapak idaman. Memberikan pandangan kehidupan bapak-bapak ketika berumah tangga dan melakukan perannya dengan seimbang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Namanya hidup dinamis, harus bisa beradaptasi, apalagi masa depan keluarga itu kan anak ya.

      Hapus
  3. Jangan salah lhoo...ayah itu perannya penting dalam pengasuhan anak. Apqlagi anak perempuan sangat penting dekat dengan ayahnya. Agar tangki cintanya terpenuhi, jadi tidak haus cinta saat besarnya nanti. Tidak.mudah baper dan bucin sama laki-laki.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, bukan hanya untuk anak perempuan, untuk laki-laki juga peran ayah sangat besar, bagaimana menumbuhkan mental percaya diri pada anak laki-laki.

      Hapus
  4. rubrik baru dan semoga bisa tetap aktif bahas bapak rumah tangga ya, karena kan sudah ada kerjaan full time sekarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaamiin, full time jobber dan parttime bapak ART ya hehe

      Hapus
  5. Setuju sekali pa urusan anak bukan cuma pekerjaan istri tp kewajiban suami dan istri .

    BalasHapus
  6. Secara alami, saya pribadi sebagai perempuan memang banyak memilih pekerjaan domestik. Termasuk mengasuh anak. Suami juga otomatis memegang hal2 yang sesuai dengan tenaga dan kemampuannya, misalnya mengurus kendaraan, perbaikan-perbaikan barang dan perabot rumah, hingga pasang gas elpiji selalu oleh suami.

    Namun, dalam kondisi tertentu, memang mengharuskan suami mengambil alih pekerjaan2 yang selama ini saya lakukan. Misalnya menyapu, mencuci pakaian, memandikan akan, menyuapi, dll.

    Semua itu dilakukan secara naluriah dan sesuai kemampuan dan keadaan. Bukan pembagian yang sifatnya ideologis. Akan sangat sulit jika kita masih terbelenggu paham partiarkhi.

    Bahkan dengan adanya pemahaman seperti abah raka ini, saya sebagai perempuan menjadi lebih merasa mulia, karena tidak ada pembagian kerja berdasarkan gender, yang mohon maaf biasanya perempuan diberikan tugas2 yang kurang mulia.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waktu belum punya anak, isteri yang suka bantuin kerjaan suami, setelah punya anak, giliran suami bantu pekerjaan isteri hehehe...., maksudnya yang biasa dikerjakan isteri turut juga dikerjakan oleh suami.

      Namanya menikah seumur hidup ya harus dong memuliakan pasangan.

      Hapus
  7. Gaskeeun aja baaaah! :)
    Ditunggu update-update selanjutnya perkara bapak di blog ini terutama yang erat berkait dengan polemik kerumah-tanggaan, wkwkwk :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Btw mas Dirman udah punya anak apa single nih? seru loh dinamika di per-RT-an itu haha

      Hapus
  8. Artikelnya terasa heart-warming banget sih ini. Saya jadi pengen rekomendasikan ke suami. Karena peran ayah memang sepenting itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Boleh banget, itung-itung berbagi pikiran sesama bapak-bapak hehe

      Hapus
  9. Peran ayah dalam pengasuhan memang sangat penting banget, tidak hanya untuk urusan gadget tapi juga untuk waktu yang lebih panjang baru terlihat dampaknya pada anak.

    BalasHapus
  10. Sumpah tulisannya keren banget, bikin aku lebih paham peran suami dan ayah yang seimbang di keluarga. Penjelasannya relatable dan penuh insight.
    Jadi inspirasi aku, untuk support suami yang terus belajar jadi kepala rumah tangga yang lebih baik.
    Makasih abah, sudah berbagi perspektifnya😊

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, saya juga sedang belajar menjadi bapak rumah tangga, walau seringkali lalay.

      Hapus
  11. Keren mas, cukup inspiratif. Jarang lho ada yang pemikirannya seterbuka ini ttg menjadi seorang suami otomatis harus siap ajdi bapak rumah tangga. Saya adem bacanya, krn seakan memang beban ibu rumah tangga akan berkurang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini juga hasil dialektika dengan kehidupan rumah tangga. Dan tidak mudah juga untuk bisa belajar, jadi masih tetap belajar dan berproses.

      Hapus
  12. Saya merasa orang tua (baik bapak atau ibu) semuanya adalah pekerja rumah tangga. Karena tugas bapak dan ibu tidak hanya di luar, meski ada juga yang bekerja di luar. Saya sendiri jadi penasaran mengapa "rumah tangga" itu di beberapa tempat terasa tabu untuk dilekatkan pada bapak. Dan saya sangat terharu ketika abah menuliskan menjadi "bapak rumah tangga" terasa hangat sekali. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Konstruksi sosial sangat kuat membangun budaya patriarki di Indonesia, sehingga seolah laki-laki raja. dan saya menyadari ini bagian dari feodalisme dalam rumah tangga. Semakin ke sini saya belajar dan sadar, bahwa itu salah. Maka saya ingin berbagi bahwa menjadi bapak rumah tangga itu adalah seseuatu yang seharusnya otomatis ketika menjadi suami atau bapak mbak.

      Hapus
  13. menarik sekali kak tema tulisannya, perspektif laki-laki ketika menjalani berbagai peran saat berada di rumah memang menarik untuk diceritakan hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul sekali, jika dilakukan dengan terbuka, jadi asyik menjadi bapak rumah tangga, seperti healing di ruang domestik ya hehe

      Hapus
  14. Setuju Abah. Edukasi dan sudut pandang seperti ini penting untuk disampaikan secara luas. Bahwa peran ayah, bapak, suami dalam rumah tangga itu bukan hanya sekadar mencari nafkah. Bahwa merawat dan membersamai keluarga, istri, dan anak-anak, termasuk merawat rumah atau tempat tinggal juga bagian dari tanggung jawab bersama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul, dan susahnya minta ampun ya untuk melakukan itu, harus tertrigger dan ada momentum untuk memulainya.

      Hapus
  15. Senang rasanya ada yang mau belajar jadi suami dan ayah yang baik. Di Bali sendiri banyak yang menganut ajaran laki-laki dijunjung seperti dewa, yang ada malah bertingkah kayak dewa turun ke dunia minta dilayani dan disembah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya yakin banyak kok laki-laki yang mau membersamai keluarga, hanya tidak banyak yang mau berbagi cerita. Tapi memang salah satu budaya yang dominan di Indonesia adalah budaya patriarki.

      Hapus
  16. Keren kak tekniknya, karena kerjasama antara suami dan isteri dalam mengasuh, merawat dan mendidik anak benar-benar disadari dan dilakukan berdua. Ini jadi menginspirasi siapa saja, baik yang sudah menjadi orangtua maupun calon orangtua

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setidaknya ada pekerjaan-pekerjaan yang bisa diambil alih atau dibantu suaminya ketika berada di rumah, mengasuh sesekali, apalagi saat waktu luang tidak hanya bergelut dengan gadgetnya sendiri, yang ringan-ringan seperti menyiram tanaman atau mencuci piring, yang paling kelihatan di rumah seperti nyapu. Itu ringan tapi akan sangat membantu.

      Hapus
  17. Memang jangan sampai anak-anak ini fatherless. Mudah-mudahan banyak yang tercerahkan, terutama kaum laki-laki kalau baca blognya Abah Raka. Menjadi seorang suami dan ayah punya tanggung jawab besar. Semoga bisa saling bekerja sama antara pasangan suami istri dalam menjalankan rumah tangga. Suami mau membantu tugas istrinya di rumah, membantu mengurus anak dan mendidik anak-anaknya dengan baik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaamiin. bisa jadi dominan karena masih berbasis pada patriarki, tapi saya yakin cukup banyak juga ayah yang mau membersamai anak dan keluarganya dalam mengurus rumah tangganya. pekerjaan-pekerjaan ringan di rumah banyak juga yang dikerjakan suami. Hanya mungkin tidak terceritakan.

      Hapus
  18. Mantap pak!
    Senang jika makin banyak bapak yang sadar akan pentingnya peran ayah dalam pengasuhan
    Biar anak nggak fatherless

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insya Allah teh, sebetulnya banyak, cuma mungkin tidak banyak bercerita hehe....

      Hapus
  19. Kereen.banget, Abah.
    Pastinya para Bapak kudu baca artikel ini karena bakalan ada diskusi panjang mengenai peran bapak dalam rumah tangga ini.

    Suka sedih kalau ada anak yang gak deket sama orangtuanya. Mereka berayah tapi tiada. Dan ternyata, masalah remaja berasal dari absensi peran Ayah dalam rumah tangga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe aamiin. iya nih viewnya mulai naik hehehe, insya Allah dengan banyaknya kampanye pentingnya peran ayah, sedikit demi sedikit akan banyak ayah yang berperan ya...

      Hapus
  20. Mantap Abah Raka.. mindsetnya mendobrak konsep patriarki yang saklek urusan rumah apa-apa kudu perempuan... ngomongin niche "bapack-bapack" aku inget ada konten kreator yang khusus bahasa soal semestanya bapak-bapak kalo gak salah nama ig nya bapak-bapak.id seru dan punya segmen yang gede juga ternayat mungkin karena nichemya spesifim jadi target utamanya jelas siapa yaa hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul bapak2id. Cuma lebih ke bapak2nya bukan bapak rumah tangganya. mungkin beda konsep ya teh

      Hapus

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...