Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bulan (Momentum) Pencitraan

Ilustrasi. Sumber: pikiran-rakyat.com
Ramadan telah usai, Iedul Fitri telah kita lalui. Namun masih ada yang tertinggal di jalan-jalan dan setiap persimpangan dan tempat-tempat ramai; mereka yang hendak maju dalam kontestasi politik dalam satu atau dua tahun ke depan. Entah itu pemilu 2019 atau Pilgub 2018. 

Inilah salah satu nilai plus dari berkah ramadhan, setiap profesional dan pekerja politik menemukan momentumnya, mereka berlomba-lomba bersilaturahmi agar bisa menampilkan diri kepada konstituennya; dengan buka bersama, tarawih keliling, berbagi dengan anak yatim, halal bihalal/ open house bersama dengan warga atau cara lain agar mereka bisa lebih dikenali. Di setiap sudut kota, jalan-jalan protokol, atau batas kota mereka hadir melalui beragam spanduk atau baligo. Mereka juga mendatangi tokoh-tokoh agama lalu mereka sebar melalui media sosial. Ada juga yang diliput oleh media massa agar mendapatkan magnitude yang lebih menggema.

Tidak berhenti pada bulan ramadhan, memasuki bulan syawal atau menjelang idul fitri, iklan layanan ucapan idul fitri membanjiri tayangan di antara iklan-iklan komersil. Spanduk-spanduk ucapan ramadhan berganti dengan wajah baru yang lebih segar dengan verbalitas iedul fitri. Sebagian dari mereka kita kenal, sebagian lagi wajah baru. Mereka semua memiliki ekspektasi agar bisa manggung di arena politik dalam tahun yang semakin mendekat, pilkada atau pemilu.  

Bulan dan Tahun Momentum
Bulan Ramadan dan Syawal 1438 H menjadi momentum untuk menyosialisasikan diri kepada publik. Berusaha mengikat pikiran dengan banyak memerankan diri sebagai bagian dari rakyat. Wajah-wajah penuh ekspektasi bersemangat menatap tahun 2018 untuk pemilukada dan 2019 untuk Pemilu. Dua bulan Islam ini menjadi momentum dalam melakukan publikasi diri. Suatu kegiatan yang memerankan dan menampilkan dirinya terlibat dalam kegiatan sehari-hari yang rutin (berulang setiap tahun) bersama penganut agama mayoritas. Nilai publikasinya (newsvalue) sangat kuat. Untuk mengukur seberapa kuatnya newsvalue ini, cermati saja bagaimana media massa memblow up secara besar-besaran dua bulan ini yang penuh rahmat dan berkah ini.

Dalam konteks komunikasi politik, apa yang dilakukan oleh politisi, meminjam pernyataan Dan Nimmo, merupakan kegiatan mental seseorang  yang membayangkan kepercayaan, nilai dan pengharapan orang lain tentang dirinya, membandingkan kesimpulan itu dengan pendirian sendiri, dan menerapkan perilaku sesuai dengan hal itu. Oleh karena itu publikasi ramadhan dan iedul fitri menjadi momentum yang tepat untuk memberikan karakterisasi dan peran diri di tengah-tengah masyarakat sehingga pengharapan akan dirinya diterima dan terikat dalam pikiran masyarakat bisa mendekat sedini mungkin dan dalam rentang waktu yang lama (awet) hingga waktunya pemilu 2019. Newsvalue-nya tinggi, sehingga mendapatkan tempat yang layak di hati masyarakat. Tingkat kepercayaannya lebih tinggi dibanding dengan iklan politik. 

Proses pemeranan diri di tengah-tengah masyarakat pada dua momentum ini kadang penuh permainan. Kita bisa cermati, bahwa tidak hanya politisi yang menjalankan ritual ini saja yang melakukan publikasi politik, juga nonmuslim.

Proses interaksi tersebut, meminjam istilah Erfing Goffman (Mulyana, 2011), adalah proses dramaturgi, merupakan suatu drama secara kiasan yang ingin menciptakan kesan yang diharapakan bisa tumbuh dari orang lain terhadapnya. Ia ingin menciptakan makna atas publikasinya sebagai bagian dari ekspresi keagamaan seperti halnya dilakukan kebanyakan calon pemilihnya nanti. Jika hal ini terus-terusan dilakukan maka wajahnya akan terikat dalam alam pikiran masyarakat. Dalam prosesnya, seorang politisi sedang berikhtiar mengatasi gangguan-gangguan komunikasi politik dengan calon pemilihnya kelak melalui berbagai simbol komunikasi, baik verbal ataupun nonverbal.

Untuk menciptakan kesan tersebut, maka tampilan politisi dibuat sedemikian rupa sehingga seperti diungkapkan Guru Besar Komunikasi, yang juga Dewan Redaksi Pikiran Rakyat; pertama diri politisi membayangkan bagaimana tampil bagi orang lain; kedua politisi membayangkan penilaian mereka atas penampilannya; ketiga politisi mengembangkan sejenis perasaan diri seperti kebanggan atau malu sebagai akibat membayangkan penilaian orang lain tersebut. Komponen diri tersebut sedemikian rupa diciptakan agar memiliki positioning dan differensiasi dalam proses mengikatkan diri ke dalam alam pikiran masyarakat.

Oleh karena itu, wajar jika seorang politisi juga sering menggandeng seorang tokoh lainnya yang lebih populer, misalnya dengan pemimpin revolusi, atau dengan ketua partainya yang memiliki fans lebih banyak dan lebih populer. Dengan demikian diri akan lebih banyak diketahui oleh orang lain. Pada bulan ini mereka sedang merepresentasikan sebagai penganut agama yang taat, Islami, serta berpihak pada umat Islam.

Political Branding
Menampilkan diri secara terus menerus di hadapan publik melalui berbagai media akan menciptakan identitas (politik). Dalam bahasa marketing public relations, identitas ini adalah merk. Melalui merk politik, khalayak akan mudah membedakan mana politisi yang punya karakter dan betul-betul memperjuangkan kepentingan rakyat, mana politisi yang hanya menjadikan rakyat sebagai alat retorika belaka. Untuk membangun merk perlu konsistensi, tidak hanya sekedar memanfaatkan momentum belaka. Tidak juga karena ingin dikesani tertentu lalu melakukan proses dramaturgi semu. Setidaknya, menurut praktisi Public Relations, Silih Agung Wasesa, perlu adanya pembaharuan minimal 3 bulan sekali, dari mulai sekarang. Seperti halnya yang dilakukan oleh merk komersil, untuk menciptakan loyalitas konsumen.

Dalam perspektif Public Relations, untuk menciptakan loyalitas merk (politik), bisa dengan menggunakan orang ketiga, dengan menciptakan sesuau yang bernilai berita. Berbeda dengan iklan yang merupakan kerja sama profesional antara merk politik dan media, tingkat kredibilitas dari isi pesan cenderung minim, atau sekitar 3-6 % saja, sedangkan kredibilitas publikasi yang bernilai berita (newsvalue) yang dilakukan orang ketiga bisa mencapai 70-90 % kredibilitas isi pesan.

Oleh karena itu, Silih Agung menawarkan dengan taktik  orang ketiga tersebut melalui brand ambassador, yang menjadi unofficial spoke persons, bukan Brand Ambassador dalam konteks kerja sama proffesional (iklan) tetapi berdasarkan initiative mutal uderstanding, yaitu bahwa sebagai unofficial spoke person atau brand political ambassador tak terikat tersebut bisa membangun kesepemahaman dan meyakinkan publik/ calon pemilih bahwa antara dirinya sebagai masyarakat biasa dengan politisi berada dalam kepentingan yang sama. Ini juga salah satu yang dilakukan oleh pasangan Anies-Sandi, salah satu unofficial spoke person-nya, seorang Artis, Stand Up Comedian populer Panji Pragiwaksono bisa menjaring calon pemilih muda potensial dan swing voters sehingga mengantarkan Anies-Sandi menjadi Gubernur Jakarta.

Dengan begitu, jika partai, calon anggota dewan, atau kepala daerah bisa menciptakan brand political ambassador dari para fans atau pengikut setianya, dia akan mampu memengaruhi kinerja team politik sebesar 80%, sisanya 20% dilakukan oleh para fans, pengikut dan pemilih loyal, atau orang-orang terdekat dengan personal/ partai yang tersebar di berbagai posisi dan profesi. 20 % unofficial spoke person akan membantu kinerja partai dalam membangun merk, mulai dari inovasi, asosiasi merk, pembaharuan pesan, ataupun komunitas-komunitas politik.

Pada akhirnya proses dramaturgi yang dilakukan oleh calon-calon politisi jika merujuk taktik public relations di atas, tidak hanya memanfaatkan bulan dan momentum saja atau melalui brand political ambassador. Calon/ timnya juga harus mampu menciptakan pesan yang inovatif, konsisten, tidak jadi-jadian, berkarakter, dan merujuk pada kebutuhan para calon pemilihnya.

Dudi Rustandi, Peminat Literasi


Post a Comment for "Bulan (Momentum) Pencitraan"