Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Memilih Wakil Rakyat

Pikiran Rakyat Edisi Kamis 13 Desember 2018
Beranda media sosial kini dipenuhi dengan pajangan gambar calon anggota legislatif (caleg) untuk pemilu 2019. Baik yang dikenal secara aktual atau hanya sekedar koneksi media sosial. Jika dihitung, bisa mencapai puluhan atau justeru ratusan teman mencalonkan diri, dari mulai tingkat kota/kabupaten, provinsi, hingga pusat. Semuanya memajang gambar diri dan nomor pencoblosan.
Jalan protokol hingga jalan desa juga penuh dengan spanduk, baligo, dan banner kampanye. Dari warna merah, kuning, hijau, persis lagu balonku yang warnanya melebihi 5. Gambar-gambar tersebut tampak wajar, karena telah memasuki masa kampanye. Hanya saja, sebagai calon pemilih, saya bingung, harus memilih yang mana dan untuk alasan apa mencoblosnya.

Alasan yang dimaksud misalnya, karena caleg memperjuangkan nilai-nilai yang selama ini melekat dengan kehidupan masyarakat. Ia berjasa besar dalam memperjuangkan hak hidup masyarakat.  Pejuang buruh misalnya seperti Said Iqbal. Ia konsisten memperjuangkan hak-hak dan kelayakan upah buruh. Jika ia maju menjadi caleg, sebagian besar buruh sudah sangat mengenalnya, baik di Jakarta ataupun daerahnya. Hal serupa juga dilakukan oleh Rikeu Diah Pitaloka secara konsisten memperjuangkan hak buruh khususnya perempuan.

Perspektif komunikasi pemasaran, apa yang diperjuangkan Said Iqbal atau Rike Diah Pitaloka menjadi pembeda sehingga calon pemilih dengan cepat mengenalnya. Kedua tokoh tersebut bukan hanya soal public figur (guru dan artis) akan tetapi mereka concern dalam bidangnya dan konsisten memperjuangkan hak masyarakat khususnya kaum buruh.
Contoh lain adalah Fahri Hamzah dan Fadhli Zon, konstituen akan cepat mengenalnya karena sedari awal konsisten menjadi pengkritik pemerintah (oposan). Pendukungnya akan memandang apa yang dilakukan oleh mereka adalah bentuk memperjuangkan nilai dan hak masyarakat, karena kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat selalu dikritik oleh kedua selebriti politik tersebut.

Pembeda bukan Slogan
Pembeda atau differensiasi menghasilkan positioning seseorang di antara banyak calon legislatif. Apa yang saya saksikan dan cermati, baik di media sosial ataupun di sepanjang jalan-jalan kota dan kabupaten, para calon wakil rakyat tersebut belum menawarkan nilai satupun yang mereka perjuangkan, sehingga menjadi pembeda dan memberikan positioning. Sehingga masyarakat sulit membedakan. Kesulitan ini menjadi faktor lain, yaitu sulit mengenalnya, terlebih sulit memosisikan sang calon dalam pikiran masyarakat.

Satu dua spanduk calon misalnya mengajak masyarakat untuk memberantas korupsi, seperti dilakukan oleh Giring ex Band Nidji yang mencalonkan diri jadi anggota DPR RI dapil Jabar 1. Hanya saja ajakannya tersebut terkesan hanya sebagai slogan. Karena selama ini, giring lebih dikenal sebagai artis penyanyi dibandingkan aktivis anti korupsi. Tidak ada track record yang menjelaskan bahwa ia adalah pejuang atau aktivis antikorupsi. Jika ajakan pemberantasan korupsi dilakukan oleh Febri Diansyah—Jubir KPK, masyarakat akan cepat mengenal dan membedakan dalam top of mind-nya karena track record-nya selama ini sebagai aktivis antikorupsi.

Perspektif marketing 3.0, seperti ditulis oleh pakar marketing dan branding Hermawan Kertajaya, pembeda harus didefinisikan sebagai  segitiga dari merek, positioning, dan differensiasi. Ia menghasilkan brand identity, brand integrity, dan brand image.

Jika wakil rakyat adalah merek, maka harus terintegrasi dalam dirinya sisi identitas dan integritas yang menghasilkan citra diri. Dalam konteks ini, citra merek berbeda dengan pencitraan, karena citra merek harus didorong dari identitas otentik dan integritas yang lahir dari pengakuan masyarakat karena manfaat dan maslahat programnya telah dirasakan masyarakat seperti dilakukan oleh Moh. Surya untuk guru dan dosen atau Rikeu Diah Pitaloka untuk kaum buruh.

Ia adalah bukti kuat bahwa dirinya menyampaikan dan telah membuktikan kinerjanya sebagai (calon) wakil rakyat. Pada posisi ini calon wakil rakyat telah memenuhi janjinya, bukan saat ia sudah terpilih saja namun saat itu belum terpilih. Pada saat ini wakil rakyat telah menciptakan kepercayaannya terhadap calon konstituennya. Ia setengahnya telah mengambil hati masyarakat.

Menentukan Pilihan
Jika calon wakil rakyat telah memenangkan setengahnya hati masyarakat, karena memiliki bukti dan kepercayaan. Bagaimana menentukan setengah nilai yang harus dipenuhi? Maka masyarakat dituntut untuk jeli agar tidak salah pilih untuk menentukan 5 tahun dirinya diwakili di Gedung Dewan. Agar kepentingan-kepentingannya dapat diperjuangkan oleh wakil kita.

Hasil pendampingan Silih Agung (2018) selama 18 tahun terhadap pesohor negeri dapat dijadikan rujukan. Ia menghasilkan satu thesis tentang citra yang dihasilkan dari identitas dan integritas. Melalui Code Personal Branding, Silih memberikan catatan setidaknya ada 5 elemen yang menghasilkan siklus untuk mengukur reputasi calon wakil rakyat; competency, connectivity, creativity, compliance, dan contribution.

Pertama, Kompetensi menjadi kunci untuk menggenapkan differensiasi. Kompetensi menjadikan wakil rakyat bukan hanya memiliki sumbangsih yang nyata dan bermanfaat bagi masyarakat. Namun juga ahli dan memiliki kemampuan dalam melakukan pengelolaan diri dan lingkungannya. Ia tidak hanya cakap mengambil hati masyarakat. Ia juga cakap memberikan solusi bagi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.

Kedua, connectivity yaitu sejauh mana calon wakil rakyat terhubung dengan konstituennya. Bukan hanya terhubung secara virtual melalui perantara beragam atribut seperti banner atau spanduk. Tapi terhubung secara aktual; face to face. Konektivitas yang dibangun calon tidak hanya melalui media perantara. Seorang calon harus mau dan rela mendengarkan semua keluh kesah dan kepentingan konstituennya.

Ketiga, creativity. Seorang calon harus mampu memberikan dinamika berkehidupan terhadap warganya. Sehingga warganya terhindar dari kejenuhan. Oleh karena itu, program-programnya harus dinamis. Buka bazar murah memang disukai oleh masyarakat, akan tetapi jika stop sampai di sini, tidak menyelesaikan persoalan masyarakat dalam jangka panjang. Oleh karena itu memilih wakil rakyat harus yang benar-benar memiliki dinamisasi dalam memberikan program kepada masyarakat.
Keempat, compliance. Merupakan nilai-nilai etis yang harus dimiliki oleh seorang caleg. Calon pemilih harus memastikan bahwa caleg memiliki rekam jejak yang baik. Nilai-nilai etis ini baik yang melekat pada dirinya ataupun yang telah diejawantahkan dalam kehidupan bermasyarakat. Mengukur elemen ini cukup mudah, misalnya apakah seorang caleg bertutur kata baik? Apakah juga seorang caleg memiliki perilaku baik? Tidak pernah mengeluarkan pernyataan kotroversial atau berperilaku yang bertentangan dengan nilai konvesional, baik yang berasal dari agama atau norma masyarakat. Nilai-nilai etis tersebut juga terpublikasikan secara wajar, bukan sebagai taktik propaganda.

Kelima, Kontribusi. Caleg harus menjadi problem solver bagi persoalan yang dihadapi oleh masyarakat. Hal ini tentu paling terasa baik secara pragmatis ataupun normatif. Caleg harus menjadi tempat pakukumaha bagi konstituennya dalam semua aspek kehidupan. Ibarat orang tua, ia harus mampu berfikir kreatif dan juga memberikan solusi praktis.

Kelima elemen di atas dapat dijadikan sebagai pertimbangan saat akan menentukan pilihan. Memang manusia tidak ada yang sempurna, namun paling tidak mendekati beberapa elemen. Dan pertimbangan yang paling bijak adalah mendekati paling banyak dari limat elemen tersebut. Semoga waktu 4 bulan menuju pemilihan dapat menjadi waktu yang cukup untuk melihat, memahami, menimbang, dan memutuskan siapa caleg yang akan membawa kita, masyararakat menuju masyarakat yang sejahtera lahir batin. Wallahu ‘alam.

Tulisan dimuat Pikiran Rakyat edisi Kamis, 13-12-2018 

Post a Comment for "Memilih Wakil Rakyat"