Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mengekstase dengan Pantai Parai dan Rock Island

Pulau Batu alias Rock Island
Biasanya, jika sampai di Pantai, tidak hanya menikmati batas pandang lautan dari pantai, juga mencoba bersatu dengan dengan menceburkan diri, minimal basah-bahasan celana. Tapi tidak, saat sampai di Pantai Parai Bangka dengan Pasir Putih dan birunya laut yang sungguh eksotis. Kami berenam, hanya duduk-duduk di bangku yang disediakan hotel. Menikmati, eksotisnya air yang kebiruan dengan bebatuan raksasasanya.

Cerita bermula,

Tepat pukul 04.25, saya sampai di Bandara Husen Sastranegara Bandung. Rencana keberangkatan pukul 06.00, ternyata terlalu pagi sampai di Bandara, dan akhirnya transit terlebih dahulu di mesjid untuk menunaikan kewajiban. Setelah sholat, satu persatu teman datang dan akhirnya berkumpul di pintu area keberangkatan domestik. Kami segera masuk dan menikmati suasana bandara.

November 2019, perjalanan ini bukan traveling, tapi memenuhi undangan, lebih tepatnya menjadi salah satu peserta sekaligus narasumber dalam workshop yang dilaksanakan dalam festival relawan TIK di Pangkal Pinang, Ibu Kota Kepulanan Bangka Belitung. Sebelum menginjakkan kaki di Pangkal Pinang, sengaja saya tidak browsing tentang Provinsi dengan dua pulau besar tersebut. Saya terkadang tertukar antara Pangkal Pinang dan Tanjung Pinang, padahal kedua tempat tersebut berada pada wilayah provinsi yang berbeda.

Barulah paham saat tiba dan menikmati suasana Pangkal Pinang, yang menurut saya cocok sebagai kota Heritage, karena rata-rata bangunannya menua—sebelum saya berkeliling, walaupun tidak tua-tua amat sih. Saya juga baru paham bahwa antara Bangka dan Belitung merupakan dua pulang yang berbeda dalam satu provinsi.

Ketauan ya, kalau saya kurang literate soal wilayah di Indonesia. Tidak masalah, saya nikmati kebodohan ini, karena begitu nikmatnya saat saya tahu, walaupun hanya sebatas pada apa yang saya dengar dan saya lihat saja. Ya, ini lah kota asalnya salah satu panganan terkenal di Bandung, Martabak Bangka.

Pangkal Pinang. Saya tunda ceritanya. Saya lanjutkan dengan Pantai Parai.

Tiba pukul 8, menyimpan barang di hotel dan langsung menuju tempat acara. Setelah acara pembukaan dan seminar sesi 2 selesai. Kami undur diri terlebih dahulu, karena acara workshop kepenulisan yang akan saya isi terjadwal besok siang, 23 November. Sesegera kami berenam menuju arah Selatan (kalau tidak salah), sekitar 43 km dari Kota Pangkal Pinang. Kami tempuh kurang lebih satu jam perjalanan.

Pasir Putih Parai Private Beach
Pantai Parai merupakan private beach, kami harus membayar retribusi melalui pihak hotel agar bisa menikmatinya. Retribusinya Rp.25.000,- per orang. Saat masuk, karena masih terlalu siang, suasana pantai masih sepi, sehingga kami bisa dengan puas dan bebas menebarkan pandangan dari sisi satu ke sisi lainnya, termasuk juga Rock Island yang berada pada sisi lain.

Rock Island yang berada begitu Indah dipandang dari sisi kanan Parai yang tepat berada di belakang hotel. Tempat ini juga sangat intagramable. Hampir di semua tempatnya memiliki pemandangan eksotis. Bahkan jika kita keluar Pantai dan masuk pada sisi lainnya, menyediakan semacam pedestrian khusus agar bisa menikmati Indahnya pantai dengan bebatuan raksasanya.

Cukup puas dengan hanya memandangi eksotisme pantai, saya coba menikmati bebatuan raksasa, dengan mengambil beberapa foto. Posisinya sangat pas berhadapan dengan Rock Island di seberangnya. Pohon kelapa menjadi ciri khas pantai. Mengingatkan pada latar lagu Rayuan Pulau Kelapa (yang mana ya?).

Semantara yang lain, tetap betah hanya duduk-duduk, saya berempat pergi menuju Rock Island. Sejatinya, di tempat ini terdapat cafe, sayang sepertinya telah lama tutup. Beruntung dengan 25ribu kami dapat minum teh kemasan botol. Sehingga menjadi penutup haus dan dahaga. Rock Island benar-benar Pulau Batu, dan kami pun menikmati berfoto di Pulau Batu sambil merasakan adrenalin horornya ombak yang mendorong dengan kencang bilah-bilah batu sehingga muncrat ke permukaan.

Andrenalin bertambah saat ingin menikmati laut dari atas baru paling terdekat dengan pantai. Karena batu menyerupai bukit, saya harus menaiki bukit tersebut. Begitupun saya harus menyeberang melalui belahan-belahan batu besar tersebut sehingga saya bisa melihat lepas laut dari Rock Island. 

Saat kembali dari bukit batu di Rock Island, tampak dua gadis berkerudung sedang ikut menikmati hempasan angit pantai. Terlindungi rimbunnya pohon-pohon meninggi. Sesekali kami mengajak ngobrol. Mereka berasal dari Lampung. Sengaja liburan ke Bangka bersama teman lamanya.

Cukup duduk-duduk di pinggiran kita sudah merasakan ekstase
Saat kami kembali dari Rock Island, Parai Private Beach sudah mulai ramai. Anak-anak berlarian di pinggir pantai. Bola ditendang ke sana kemari. Sesekali nyemplung ke air. Terkena deburan ombak. Mereka teriak kegirangan. Mengambil Bola. Byurr mereka pun berenang di pinggiran Pantai Parai. Sambil mengambil bola yang melayang-layang di atas permukaan laut. Mereka kembali lagi ke bibir pantai. Lempar bola lagi. Tendang lagi. Kejar lagi. Dan nyembur lagi ke permukaan air pantai.

Saat menuju gerbang pantai, rombongan keluarga besar, yang sepertinya dari perusahaan tertentu berbondong-bondong menuju Parai Private Beach. Sedangkan kami bergegas menuju tempat berbeda. Sebagai kenangan, sebelum meninggalkan Privat Parai Beach, kami berswafoto pada area yang telah disediakan space instagram. Cekrek. Sekali dua kali. Lalu kami pergi.

Parai Tenggiri
Setelah menikmati private beach yang bersih, dengan laut biru dan pasir putih. Kami bergegas menuju pantai selanjutnya, yaitu Parai Tenggiri. Sepanjang perjalanan kami menikmati sajian lepas Pantai yang bisa disaksikan dari atas kendaraan. Semilir angin cukup menjadi obat bagi panasnya daerah Parai Tenggiri Sungai Liat.

Sayang, di area lepas pantai ini, sulit menemukan kios agar bisa lebih menikmati pantai sambil minum air kelapa. Akhirnya berhenti di satu area yang terdapat reklamasi batu (istilahnya?), beberapa perahu nelayan terparkir di sana. Satu dua cekrek kami ambil. Seorang teman mengabadikan semburan kecil ombak yang menghampirinya. Sesekali menembakkan lensar tele ke kawannya.

Entah karena tidak pas atau memang masyarakat telah bosan bermain di pantai, pantai ini juga kosong melongpong. Hampir sulit menemukan kendaraan berlalu lalang. Hanya satu dua motor yang lewat, sepertinya itu pun warga setempat. Air kebiruan langit muda tersebut tetap membuat kami betah. Hanya berandai, karena berasal dar Jawa Barat, seandainya berada di sana, mungkin Pantai ini akan ramai dengan hiruk pikuk.

Tapi ya sudahlah, kami nikmati dan syukuri. Kami pun kembali ke Hotel sebelum matahari tenggelam. Berburu makan yang katanya paling populer di Bangka. Sayang sudah tutup, karena buka hanya sampai ashar saja. Akhirnya cari alternatif, pempek Palembang yang bikin kenyang.

1 comment for "Mengekstase dengan Pantai Parai dan Rock Island"

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...