Mencari Hilal: Perjalanan Merajut Toleransi
sumber gambar: suaracom |
Indonesia adalah negara kaya budaya, negara kaya suku bangsa. Apa yang datang dan hadir di Indonesia akan mendapat tafsir sesuai dengan pengalaman berbudayanya. Keragaman ini akan hadir di setiap lokus kehidupan, termasuk saat manusia Indonesia meanfsirkan agama yang datang. Tidak heran, selain keragaman agama yang hadir di Indonesia, pemeluk internal Agama juga—khususnya Islam—memiliki cara pandang tersendiri saat menafsirkan Islam. Sehingga muncul keragaman dalam mempraktikan Islam. Keberagaman ini menjadi identitas khas cara beragama Islam di Indonesia.
Bertahun-tahun antar pemeluk agama
ini berdampingan satu sama lain, tanpa mengurangi substansi sebagai makhluk
sosial di antara pemeluknya. Mereka hidup damai, penuh cinta, saling membantu
satu sama lain. Inilah Islam Indonesia, seperti sering di sebut oleh Cak Nur
(Alm) atau Islam Pribumi ala Gus Dur, yang belakangan muncul istilah Islam
Nusantara. Islam yang penuh cinta damai.
Belakangan, runtuh dan porak poranda
oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan pembela agama atau mereka yang
melabeli dirinya sebagai ulama.
Wacana di atas diilustrasikan dengan
apik dalam “Mencari Hilal”, Film garapan Ismail Basbeth yang diproduksi oleh
lima rumah produksi; Multivision Plus Picture, Studio Denny JA, Dapur Film, Argi
Film, dan Mizan Production. Bagi Mizan sendiri, ini merupakan sekuel dari film
“Ayat-ayat Adinda” yang telah tayang lebih dulu-Film pergerakan akan pentingnya
toleransi antar dan inter umat beragama.
Mencari Hilal berawal dari perjalanan Mahmud—seorang aktifis dakwah yang
merasa dirinya telah menjalankan Islam secara kaffah (utuh/ menyeluruh)—bersama
anaknya Heli, aktifis lingkungan, yang memiliki cara pandang berbeda dengan
ayahnya dalam memandang persoalan agama. Perbedaan pandangan ini telah ada sejak
lama, sehingga membuat hubungan antara keduanya menjadi renggang, hingga
akhirnya kegiatan dakwah Mahmud meninggalkan bekas yang sulit dilupakan oleh
Heli saat ibunya meninggal tanpa dampingan dari Mahmud sebagai ayahnya.
Selama perjalanan, perbedaan-perbedaan
cara memandang realitas selalu nampak ke permukaan. Dari mulai membahas masalah
perjalanan menuju tempat. Jika Mahmud selalu berpatokan konvensional, bertanya
dan bertanya, sedangkan Heli berpatokan pada teknologi. Dari dua cara
memperlakukan perjalanan tersebut, ternyata
tidak selalu menghasilkan kebenaran, sehingga keduanya kesasar dalam
perjalanan.
Beruntung, relasi dan silaturahmi
dengan orang-orang yang menjadikan mesjid sebagai pusat kegiatan mengantarkan
Mahmud bertemu dengan adik kelasnya saat di Pesantren, Junaedi, yang kemudian
mengantarkannya kepada kakak kelas Mahmud, Arifin.
Selama perjalanan ini, banyak tanda
tanda intoleransi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Mengingatkan
penulis pada banyak kejadian real yang ada. Mulai dari pelarangan ibadah agama
Kristen oleh kelompok yang mengatasnamakan pembela agama. Yang baku hantam
sendiri antara pemeluk Islam. Tentu ini menjadi ironi, Islam Indonesia yang
penuh cinta, sejuk, damai, dan toleran, menjadi sangat beringas dan tak berprikemanusiaan.
Ini menjadi kritik sekaligus selain bagi hubungan antar juga inter umat
beragama yang selalu dipenuhi kecurigaan karena adanya perbedaan keyakinan,
padahal Tuhannya sama-sama Allah, Nabinya sama-sama Nabi Muhammad SAW, Kitabnya
sama-sama Al-Qur’an. Namun satu sama
lain saling mengkafirkan dan menghujat.
Di tengah konflik, yang sebetulnya
dapat diselesaikan melalui dialog. Heli tampil menjadi mediator, bahwa
persoalan-persoalan peribadatan bisa diselesaikan dengan musyawarah. Apalagi
masalahnya buka karena persoalan akidah yang berbeda, tetapi karen persoalan
parkir. Warga Kristen dan Muslim pun kembali berdampingan, bahkan terjadi
simbiosis mutualism, karena dari kehadiran peribadatan bisa menjadi lahan
ekonomi baru bagi warga sekitar. Muncul tanda disini, bahwa kehadiran ormas
tidak hadir dengan sendirinya, tetapi mereka dihadirkan oleh yang lain.
Sampai di sini, Heli sepertinya mulai
terbawa arus untuk mengikuti kemana arah bapaknya pergi. Tanpa memedulikan
bagaimana ‘karirnya’ di NGO lingkungan yang akan memberangkatkan dirinya ke
Nicaragua. Ia mulai mengerti, bahwa bapaknya adalah tipe pejuang yang pantang
menyerah dan tidak menggadaikan nasibnya pada keadaan. Walaupun usianya sudah
tua dan tampak sakit-sakitan. Bapaknya terus berjuang mencari menara hilal.
Namun, konflik kembali muncul saat
bapaknya menceramahi para pemuka agama yang menjalankan tradisi. Mahmud
memosisikan diri sebagai pendakwah yang paling tahun tentang persoalan agama,
sehingga tidak ada tempat bagi tradisi yang tidak pernah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW.
Konflik antara bapak dengan anak
muncul lagi karena Heli menentang pandangan-pandangan bapaknya yang sempit.
Mahmud mengusir anaknya. Namun di tengah kesempitan cara memandang agama yang
ia dapatkan sejak pesantren, tidak membuat pemuka agama setempat murka, justeru
mengantarkan Mahmud pada pemahaman yang kaffah tentang agama yang dianutnya. Ia
pun dibelaki sebuah kitab.
“Kalau
semua harus sama kenapa Tuhan ciptakan
kita berbeda-beda?”
Mahmud dan Heli akhirnya dipersatukan
oleh Hilal yang sudah tampakdi ufuk Timur.
Sebagai sebuah film pergerakan yang
mengusung toleransi, film ini layak
ditonton. Pelajaran berharga yang dapat dipetik dari film ini adalah pentingnya
saling menghormati antar keyakinan yang berbeda, sehingga melahirkan toleransi
dan hidup berdampingan. Namun toleransi sebagai sebuah penghargaan antar
pemeluk tidak akan terwujud tanpa hadirnya cinta antara umat yang sama-sama
dilahirkan dari Rahim-Nya.
Pemaksaan kebenaran semu yang jadi
pegangan umat manusia jika pada akhirnya melahirkan ketidakmaslahatan, maka
sesungguhnya bukanlah satu pandangan yang lahir dari Tuhan, tapi dari
kesempitan berfikir dan menafsir manusia yang masih kurang pengetahuan.
Sebagai sebuah film yang lahir dari
PH mumpuni ada MVP dan Mizan, sebagai penikmat, film ini terlalu datar,
konfliknya monoton. Sehingga terasa kurang greget. Perasaan penonton (khususnya
saya) tidak terlibat dalam konflik yang ada di dalamnya. Relasi antara Ayah dan
anak yang menjadi center seharusnya mampu memorakporandakan perasaan
penontonnya. Melalui konflik pandangan dan relasi Mahmud dan Heli seharusnya
film ini bisa melahirkan ketajaman perbedaan antara kaum konservatif dan
neomodern. Begitu juga pandangan-pandangan Mahmud yang cenderung menghakimi
seharusnya mampu melahirkan konflik baru, sehingga film ini menjadi penuh
bumbu. Sayang, itu tidak saya dapatkan.
Padahal harapan tertumpu pada kedua tokoh utama tersebut. Dan yang
paling penting, pandangan yang sama-sama kuat dari kedua tokoh harus mampu
menemukan benang merah masing-masing, bukan yang satu menyerah pada yang lain.
Dus, sebagai sebuah film pergerakan,
layak diapresiasi, apalagi di tengah intoleransi yang sedang mewabah di
Indonesia. Konflik internal umat beragama khususnya Islam. Film ini mengajak
kita agar kembali kepada akar dan fitrah kita sebagai manusia, CINTA. Dari
hati muncul jadi akhlak, dari akhlak muncul jadi manfaat. Sudah seharusnya orang-orang yang
mengaku beragama dan mengaku sebagai pembela Islam menunjukan itu. Bukan berbuat
kerusakan apalagi menumpahkan darah. Inilah Islam Indonesia. Islam penuh cinta
yang melahirkan toleransi.
Post a Comment for "Mencari Hilal: Perjalanan Merajut Toleransi"
Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...