Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Etika (Mantan) Wakil Rakyat

“Datang katinggali Tarang, Indit katinggali Imbit”, adalah sebuah pribahasa sunda yang maknanya kira-kira jika bertandang harus mengucap salam/ permisi dan jika hendak pulang harus pamit. Pribahasa ini begitu membumi dalam kehidupan kita sehari-hari, sehingga ketika kita hendak bertandang ke rumah seseorang adalah menjadi sebuah kewajiban tak tertulis untuk mengucapkan salam, begitupun ketika hendak pulang harus juga pamit kepada sang pemilik rumah. Ini adalah etika Bertamu dalam tradisi masyarakat secara umum dan tentu saja bukan hanya dalam masyarakat sunda.



Datang Katinggali Tarang
Jika calon wakil rakyat dibaratkan sebagai seorang yang akan bertamu dan Gedung Dewan adalah rumah yang hendak dikunjunginya, sedangkan Pribumninya adalah rakyat maka sebagai calon tamu, mereka harus diketahui kedatangannya oleh pribumi. Dalam etika komunikasi hal ini dapat disebut sebagai keharmonisan dalam hubungan sosial, seorang tamu menyampaikan pesan terbuka bahwa dirinya memiliki itikad baik, menyampaikan pesan secara terbuka bahwa dirinya hendak bertamu sehingga sang pribumi dapat mengetahui/ menerima pesan kedatangannya.

Sepanjang Pemilu dewasa ini, atau dalam demokrasi yang benar-benar baru sejak masa reformasi, hampir semua wakil rakyat ‘datang katinggali tarang’, artinya bahwa kadatangan mereka ke dunia politik dalam rangka mencalonkan diri menjadi wakil rakyat selalu mengucapkan ‘permisi’. Datang untuk bertamu ke Rumah Rakyat. Sikap permisi politik ini mereka jelmakan dalam berbagai atribut yang mereka pasang mulai dari spanduk, baligo, atau pun sekedar sticker yang bergambar dirinya dengan senyum yang merekah. Berbagai komunitas pun mereka kunjungi untuk menarik simpatik. Berbagai yayasan mereka sumbang untuk meraih dukungan. Berbagai cara mereka lakukan agar pencalonannya diketahui dan terlebih didukung untuk kemudian dicoblos/ dicontreng. Visi misi dan janji yang berisi akan memperjuangkan rakyatpun mereka umbar. Dalam konteks komunikasi politik, perilaku seperti ini adalah pesan politik, bagaimana membangun keharmonisan dengan masyarakat sehingga dapat meraih simpatiknya. Pesan politik yang memiliki makna ‘permisi’ politik tersebut hampir sejumlah dengan jumlah calon wakil rakyat yang akan memperebutkan kursi panasnya di rumah dewan

Indit kudu Katinggali Imbit
Ada datang, ada Pulang. Ada permisi ada pamit. Datang mengucap salam, pamit pun mengucap salam. Ketika ‘datang katinggali tarang’ maka pergi pun harus ‘katinggali imbit. Seperti itulah barangkali siklus etika komunikasi dalam sosialisasi hubungan sosial. Namun berbeda dengan etika komunikasi yang dilakukan oleh para wakil rakyat kita, ketika hendak bertamu mereka berbondong-bondong dengan berbagai pesan politik yang disampaikan bahwa dirinya hendak bertamu ke rumah rakyat (Gedung Dewan). Namun ketika mereka hendak pamit, atau dalam konteks yang sesungguhnya ketika mereka tidak terpilih (kembali) menjadi wakil rakyat, apakah Jalanan dipenuhi dengan Spanduk ucapan pamit, atau dalam konteks pesan politik yaitu spanduk dan sejenisnya yang berisi ucapan terima kasih kepada pribumi (rakyat) karena telah memberikan dukungannya dan menerima dirinya menjadi tamu rakyat, walaupun tidak sampai lolos ke Rumah Rakyat.

Setelah penetapan anggota dewan yang baru beberapa waktu yang lalu, dalam konsep etika bertamu di atas, saya memperhatikan bahwa hampir tidak ada calon anggota dewan yang tidak lolos (kembali) ke Gedung Dewan mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang telah mendukung mereka. Hal ini jauh berbeda ketika pencalonan mereka yang banyak mengumbar dan meminta dukungan rakyat sebagai ‘permisi’ (pesan) politik mereka.

Sepanjang jalan yang pernah saya lalui, dalam pengamatan saya, tentu saja di Bandung, hanya satu (orang) spanduk yang menunjukan etika ‘bertamu’ ini, ‘datang katinggali tarang, indit katinggali imbit’. Calon wakil rakyat yang kemudian tidak terpilih kembali menjadi anggota Dewan Pusat ini memiliki inisial FMB. Merupakan Caleg pemilihan Jawa Barat asal Kabupaten Bandung. Dari spanduk ‘pamit’ politiknya, lantas saya selaku warga Kabupaten Bandung bertanya-tanya, kemana calon anggota dewan lainnya yang tidak terpilih (kembali)? Kenapa mereka tidak ‘pamitan’ kepada pribumi (rakyat), padahal jelas mereka adalah tamu rakyat, mereka mengetuk pintu rakyat untuk bertamu ke Rumah Rakyat (Gedung Dewan). Dalam konteks komunikasi nonverbal bermakna bahwa mantan anggota dewan ini hendak pamit sebagai etikanya dalam bersosialisasi dengan rakyatnya.

Bijak menyikapi Kalah-Menang
Pemikiran sederhana di atas dapat dijadikan pijakan awal sejauh mana visi-misi para wakil kita di Gedung Dewan dalam memperjuangkan aspirasi rakyatnya, jika hendak pulang saja mereka tidak pamit. Apalagi ‘Rumah’ kita telah mereka kotori dengan berbagai macam prilaku yang tidak pantas bahkan merugikan pribuminya sendiri. Tentu, ini adalah sebuah pemaknaan dari komunikasi yang mereka lakukan dalam konsep komunikasi politik nonverbal yang mereka ekspresikan. Sehingga konsep ‘datang katinggali tarang, indit katinggali imbit, dapat dijadikan konsep dalam mengukur sejauh mana mereka memiliki itikad baik dan etika dalam hubungannya dengan pribumi sebagai pemiliki ‘Rumah Rakyat’.

Kalah-menang harus disikapi dengan bijak, baik yang kalah atau menang tetaplah sebagai tamu rakyat. Sehingga konsep di atas harus menjadi pijakan, sehingga tidak muncul kesan bahwa (mantan) wakil rakyat tidak beretika. Apakah para (mantan) wakil rakyat yang telah mewakili rakyatnya tidak beretika? Semoga saja tidak. Wallohu a’lam.

Bagaimana di daerah Kompasianer Sendiri, apakah banyak spanduk berjejer mengucapkan rasa terima kasih kepada pendukungnya? Baik yang kalah atau yang menang, terkhusus bagi yang kalah?

Post a Comment for "Etika (Mantan) Wakil Rakyat"