Psikologi Menulis
Setelah menulis Kembali Menjadi Pembelajar, sepertinya perlu dilanjutkan dengan tulisan sejenis dalam
blog yang berbeda. Karena, selama hampir setahun tidak aktif
menulis reflektif, baik dalam blog maupun yang dikirim ke media massa—tulisan yang
cukup serius, saya perlu kembali membangkitkan rasa percaya diri saya.
Bukan hanya tulisan reflektif, tulisan-tulisan mandiri semacam cerita perjalanan pun tidak pernah saya
lakukan lagi, padahal menulis feature perjalanan menjadi arena untuk
meningkatkan sense of writing. Bisa melancarakan syaraf dan persendian antara otak dengan jari tangan.
Kehilangan gairah menulis, sama
dengan kehilangan gairah berkarir, rasanya hampa tidak memiliki rasa percaya
diri. Karena seperti dalam Kembali Menjadi Pembelajar, satu
tulisan yang dipublikasikan pada media yang terseleksi dapat mengembalikan rasa percaya diri.
Ini ada kaitannya
dengan kejadian-kejadian yang menimpa saya secara psikologis, walaupun tidak harus
diceritakan di sini. Kehilangan gairah intelektual betul-betul
menjadi mesin pembunuh karir ke depan. Apalah jadinya, jika karakter saya yang
berangkat dari tulisan-tulisan sederhana namun menjadi batu loncatan karir
harus padam tanpa alasan yang jelas. Oleh karena itu, hal tersebut harus segera
diakhiri.
Salah satu cara kembali untuk
mengembalikan gairah intelektual adalah membuka kembali catatan-catatan lama
yang menunjukkan kegairahan terhadap narasi intelektual. Juga kembali pada buku-buku teoritis yang bisa menumbuhkan gagasan saat
bertemu dengan isu-isu aktual. Namun ini tidak cukup, karena harus memiliki
sense intelektual yang tinggi. Sehingga target masa depan juga harus
ditentukan sehingga menjadi pegangan agar karya tetap bertengger dalam list
of the future.
Harus diakui, bahwa rencana penyelesesain buku perdana selalu tertunda. Tujuh bab yang telah dilalui bukan hal yang
mudah bagi saya, lalu tertunda begitu saja karena gangguan yang tidak substantif. Harus diakui bahwa kemampuan saya hanya sebatas menulis artikel reflektif yang
setahun selama pandemic 2021 juga tidak pernah lahir lagi karyanya.
Curcol ini menjadi perlu, untuk
kembali mengingatkan akan pentingnya refleksi-refleksi kecil sebagai bagian
dari tradisi intelektual. Terlepas idenya biasa-biasa saja, idenya tidak akan
berdampak, ataupun terlalu sepele dan juga banyak orang yang memiliki ide
serupa. Itu bukan persoalan. Yang menjadi persoalan adalah jika ide itu hanya sebatas
ada dalam pikiran tanpa mampu diaktualkan dalam bentuk narasi reflektif seperti tulisan ini.
Bisa jadi tulisan-tulisan semacam
ini diulang-ulang. Bukan untuk mengenang, karena kini tidak lagi mampu menulis
hal serupa, tetapi untuk mengembalikan lagi hal-hal yang substantial dalam
mengembalikan kepercayaan diri, gairah intelektual, dan misi untuk terus
berkarya. Istilah orang pinter mah sustainability. Keberlanjutan berkaryanya
harus tetap ada. Tidak terjebak pada rutinitas yang menurut orang-orang bisa
menurunkan kadar kecerdasan hehehe....
Ya, dan ini adalah cara untuk
mengembalikan itu. Blog harus hidup lagi. Terlepas bisa monetisasi atau tidak.
Karena sejak awal tujuan blogging bukan untuk monetisasi tapi memarkirkan
tulisan-tulisan yang tidak tertampung di media massa saat itu. Just it.
Pada sisi lain, aktivitas
blogging selalu terkait dengan aktivitas kekinian lainnya. Kini telah
berkembang sangat pesat, bukan hanya soal fotografi, traveling, vlogging, juga
podcasting yang bisa dilakukan di rumah hanya dengan merekam suara atau obrolan
saja.
Daan ini menjadi penambah daya
untuk terus berkarya. Hanya bisa berkata, SEMOGA. Karena sudah terlalu banyak
ide yang terlewatkan begitu saja, bahan tulisan yang hanya parkir dalam folder,
berikut dengan foto-foto hunting traveling. Apakah hanya akan teronggok
sebagaimana halnya buku-buku yang entah kapan tersentuhnya. Sekali lagi,
SEMOGA. ***
Post a Comment for "Psikologi Menulis"
Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...