Patriarki dalam Hubungan Rumah Tangga
![]() |
Ilustrasi by AI (abahraka.com) |
Posisi Suami dalam Rumah Tangga
Judulnya berat ya, seperti judul makalah riset (hehehe….),
Tapi enggak apa-apa ya, untuk
generasi milenial mungkin gak terlalu asing, bahasanya jadul banget.
Catatan ini setidaknya, ingin menggambarkan,
bagaimana posisi suami dalam budaya patriarki yang tidak ketat. Berangkat dari beberapa komentar
dalam tulisan Menjadi Suami, Ayah, dan Bapak Rumah Tangga.
Salah satu komentarnya adalah
bahwa di Indonesia budaya yang dominan adalah patriarki yang ketat.
Apakah ketika saya menulis dua
artikel menjadi suami, ayah dan bapak rumah tangga & artikel Pekerjaan Rumah Tangga yang disambil sama Bapak-bapak saya tidak menerapkan konsep
patriarki?
Mungkin saja saya juga menganut sistem patriarki.
Budaya ini sudah umum di Indonesia, untuk beberapa mungkin seperti di Minang
atau NTT Flores ada yang menganut matriarki. Tapi mayoritas di Indonesia, Bapak
Bekerja di luar, dan Ibu bekerja di rumah. Walaupun bapak berada di rumah,
sepertinya jika anak nangis atau anak pengen makan, pastilah diserahkan ke Ibunya.
Patriarki banget ya....
Ya, di keluarga jikga mencermati kondisi
sekarang, tidak beda dengan sistem patriarki. Laki-laki bekerja dan Ibu RT
mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Saya sebagai suami bertanggung jawab untuk
memenuhi semua kebutuhan keluarga secara ekonomi, penuh.
Akan tetapi yang menjadi catatan saya sebagai bapak-bapak rumah tangga, ingin memberikan keleluasaan kepada isteri, untuk bisa beraktivitas selain
hanya mengurus rumah tangga. Misalnya jualan atau ngajar karena kebetulan
isteri memiliki kualifikasi itu. Saya bebaskan, itupun dengan beberapa catatan.
Sesuai dengan kesepakatan, tidak ada konsep menitipkan anak kepada siapapun
dalam jangka waktu yang panjang sebelum anak setidak-tidaknya berumur 7 tahun.
Jika pun setelah 7 tahun bisa dititipkan itupun bukan karena bekerja, tapi karena
ada urgensi lain.
Pengalaman Tetangga tentang Isteri Bekerja
Ilustrasi by AI (abahraka.com)

Sejak saya kuliah, saya punya tetangga, isterinya
bekerja. Suaminya di rumah. Apakah suaminya memang tidak bekerja? Sebetulnya
bekerja, hanya setelah resign, sang suami berusaha untuk mencari lagi. Kadang
lama berada di rumah, lalu mendapatkan pekerjaan lagi. Seperti itu
berulang-ulang.
Saat berada di rumah, antar sekolah, masak, dan
beberapa pekerjaan rumah dikerjakan suami. Namun rupanya, kebutuhan
ekonomi yang terus bertambah, sang isteri merasa kewalahan. Suami merasa asyik
berada di rumah, padahal semua pekerjaan rumah dikerjaan suami. Walaupun
isterinya juga sesekali belanja ke warung untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Namun lama-lama seperti bosan dan
merasa berat jika suami tidak ikut memikirkan ekonomi keluarga.
Di Indonesia budaya patriarki sudah
mendarah daging, agak sulit jika suami tidak bekerja dan tidak memikirkan
tanggung jawab ekonomi untuk keluarga. Jadi walaupun isteri bekerja, tapi
tanggung jawab ekonomi keluarga sepertinya tetap berada di tangan suami. Keluarga
tetangga itu contohnya.
Karena lama tidak lagi bekerja, akhirnya
isterinya menggugat suami. Berpisah. Beruntung saat itu, anak-anak
seringnya diasuh oleh babysitter karena saat keduanya bekerja, anak
tetap harus ada yang menjaga. Saat berpisah, anak-anak relatif sudah beranjak
dewasa, kecuali yang bungsu.
Isteri Bekerja, Suami Tetap Bertanggung Jawab
Di Indonesia mungkin sudah banyak isteri yang bekerja, tapi jika suami tidak mengambil peran dan tanggung jawab ekonomi yang utama, sepertinya tidak sedikit yang berakhir seperti tetangga saya.
Isteri bekerja, harus diposisikan oleh suami bukan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, sekolah, dan semuanya. Namun untuk aktualisasi isteri dan
kebutuhan isteri yang belum bisa dipenuhi semuanya oleh suami. Sedangkan semua
kebutuhan keluarga apalagi yang berat-berat seperti sekolah dan rumah tetap
harus berada di tangan suami.
Artinya, Patriarki mungkin lebih cocok, tapi dengan penyesuaian kebutuhan dan adaptasi. Patriarkinya tidak kaku. Sehingga walaupun suami yang full bertangung jawab untuk ekonomi keluarga, namun tetap mengambil peran di rumah tangga.
Begitu juga jika isteri bekerja, suami tetap bertanggung jawab penuh untuk kebutuhan keluarga.
Adakah konsep patriarki yang saya terapkan?
Jadi patriarki bukan suatu pemahaman, “kamu kan isteri, ya kamu dong
yang mengerjakan ini itu di rumah”. Patriartik di sini lebih ke berbagi peran
saja, karena isteri ada di rumah.
Saya yakin, jika posisinya saya yang tidak
bekerja dan isteri yang bekerja, secara otomatis pekerjaan rumah itu akan jatuh
ke tangan saya yang berada di rumah. Semua pekerjaan rumah. Karena sudah take for granted.
Begitupun dengan sekarang,
istilah take for granted mungkin tepat. Sudah terkondisikan bahwa
pekerjaan rumah itu buat yang sepanjang harinya berada di rumah. Bukan karena
itu adalah pekerjaan isteri.
Oleh karena itu, saat saya berada
di rumah, saya memosisikan diri sebagai bapak rumah tangga, jika ada pekerjaan rumah yang masih belum terpegang. Maka saya mengambil peran itu. Contohnya, saat
isteri memiliki aktivitas di luar, dan terdapat peralatan makan minum dan lainnya
yang menumpuk di tempat cuci, sering – bahasanya sering ya, tidak hanya sekali,
saya yang mencuci.
Begitupun, saat pakaian yang telah dicuci saya
lihat masih teronggok di depan mesin, bahkan ini tiap hari saya lakukan, saya
jemur, bahkan seringkali dan seringnya saya yang mengangkat jemuran tersebut. Kecuali
hujan, posisi saya ada di luar, dan di rumah hanya ada isteri, berarti isteri
yang mengangkat.
Dalam tulisan beberapa pekerjaan yang bisa
disambil sama suami, itu adalah pekerjaan-pekerjaan yang sering dan sesekali
saya kerjakan. Bahkan tiap hari juga ada. Artinya, patriarki yang ada di rumah
bukan soal kamu kan isteri, kamu tugasnya ini ini dan ini di rumah.
Sekali lagi, ini hanya soal berbagi
peran saja. Jika memang posisinya isteri yang bekerja dan semua pekerjaan rumah
masih harus tetap isteri yang mengerjakan. Itu baru namanya patriarki. Masihkah
ada keluarga yang seperti itu? Yakin, banyak banget, tapi bukan berarti budaya
ini selalu menjadi pegangan setiap keluarga. Hanya soal kesempatan dan keadaan
juga ada.
Tidak Sadar Tiba-tiba
Awal pernikahan, saya juga terkondisikan
dengan konsep patriarki. Walaupun penghasilan saya minim, dan seringkali pulang
sore kadang pulang saat gelap, saya merasa bahwa ya silakan saja pekerjaan
rumah orang rumah yang mengerjakan.
Situasi dan kondisi mengajarkan saya,
bahwa seorang suami juga harus bisa mengambil peran pekerjaan di rumah. Karena tidak setiap hari berada di
luar. Maka ketika ada kesempatan dan waktunya tidak sedang mengejar dateline, saya
pun sesekali dan ada yang seringkali, tiap hari mungkin, mengerjakan pekerjaan
rumah.
Hal tersebut sebagai bentuk tanggung
jawab sebagai suami, berusaha untuk berempati. Makanya saya Tulis dalam satu
artikel Menjadi suami, ayah, dan Bapak Rumah Tangga. Karena sebagai seorang
suami, posisi kita tidak hanya memerankan suami, namun juga ayah di hadapan
anak-anak, dan pasti Bapak Rumah Tangga saat kita sadar bahwa pekerjaan rumah itu
tidak hanya tanggung jawab isteri atau ibu saja.
Jadi pada dasarnya, patriarki itu
bukan konsep yang saya terapkan di rumah, hanya berbagi peran saja saat kita berada
pada posisi tertentu. Walaupun ada pekerjaan-pekerjaan rumah yang satu isteri
lebih dominan, yang satu suami lebih dominan, namun sama-sama pekerjaan rumah
tangga, bukan soal siapa yang menafkahi. Mungkin penyebutannya semi-patriarki,
walaupun tidak tepat juga.
Menciptakan Rumah Bersama, Sama-sama Mengambil Peran di Rumah
![]() |
Ilustrai by AI (abahraka.com) |
Pada saat artikel ini saya tulis, saya belum maksimal menjadi seorang suami, ayah, dan bapak rumah tangga. Tapi saya tidak alergi untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga bahkan termasuk pengasuhan.
Posisi kita masing-masing dalam
keluarga, satu sama lain saling berkontribusi. Suami tidak diam saja, isteri juga tidak
sungkan untuk berbicara dengan suami. Agar tidak saling berprasangka satu sama
lain.
Isteri boleh bekerja dan berpenghasilan, tapi bukan untuk memenuhi kebutunan keluarga, hanya sebagai hiburan isteri agar tidak beku dan jenuh di rumah. sesekali jika ingin membantu keuangan keluarga bukan karena kewajiban dan tuntutan keluarga, tapi lebih karena kesadaran bahwa rumah adalah tanggung jawab bersama. Jika keduanya berkontribusi, maka keduanya merasa rumah adalah surga bersama.
Jikapun suami yang memenuhi semua kebutuhan keluarga tanpa ada campur tangan pasangan, memang itu yang seharusnya, agar bisa berbagi peran. Agar pasangan bisa fokus pada pendidikan anak yang masih masa golden age.
Karena bagaimanapun keluarga adalah madrasah pertama dan utama bagi anak, bukan sekolah. Sehingga keduanya berperan dengan masing-masing tanggung jawabnya untuk menciptakan rumah tangga yang samwa.
Tapi jangan lupa, bapak-bapak juga harus punya peran sebagai guru madrasah pertama di rumah ya...***[]
Saya setuju bahwa patriaki itu sudah mendarah daging di Indonesia, kecuali wilayah yang menerapkan matrilineal. Namun hemat saya, budaya itu dibentuk oleh manusia dan tidak terjadi begitu saja, ada proses panjang membentuk pemikiran tentang pola kerja budaya patriaki. Sebenarnya akan lebih baik jika keluarga dibentuk berdasarkan kerja sama bukan siapa yang lebih, karena kalau dipikirkan kembali patriaki atau lawannya, akan menghasilkan pemikiran 'siapa yang lebih dari siapa, sehingga siapa lebih berhak atas siapa'. Saya yakin Abah pun ketika memikirkan hal ini tidak terjadi begitu saja. :)
BalasHapusIya betul itu yang saya bahas, kerja sama jadi inti.
HapusSejujurnya, saya nggak terlalu relate dengan patriarki dalam rumah tangga. Karena dulu, walau bapak setiap hari bekerja sebagai pencari nafkah utama, kalau pulang tetap saja ikut bantu masak, menemani kami bermain, sesekali menyuapi makan kalau saya atau adik lagi mogok makan. Bapak juga sering bantu kami belajar matematika. Makanya, kami punya memori yang indah banget dengan bapak
BalasHapusFaktanya, di Indonesia patriarki ini sangat kental, sehingga isu ini perlu diangkat, agar keluarga merasakan kehadiran sosok lelaki di dalamnya. Posisi laki-laki tidak hanya mencari nafkah, juga menjadi ayah dan ART sekaligus.
HapusSetiap rumah tangga pasti memiliki aturan sendiri dan budaya yang memang mereka berdua ciptakan. Memang peran istri dan suami perlu dibicarakan sebelum menikah
BalasHapusBetul sekali, jangan 'ya udah' gimana nanti. Perlu ada pembicaraan peran sehingga tidak berat sebelah ya
HapusMemang idealnya suami dan isteri saling menjaga, membantu dan melakukan pekerjaan rumah tangga berdua. Namun biasanya si bapak mencari nafkah di luar sehingga patriarki ini berjalan terus :) Win2 solution aja bagaimana baiknya diskusikan bersama. Paling sebal kalau ada orang tua atau mertua yang turut campur dan mengutamakan sang isteri yang harus selalu melayani suami tanpa henti :(
BalasHapusMakanya sudah ada cerita ya, kalo mertua sama menentu perempuan suka kurang cocok, mungkin karena itu ya suka ikut campur mbak
HapusPatriarki itu bahkan dilanggengkan oleh ikut campurnya mertua (ortu si suami) yang kolot patriarki juga. Misal si suami sukarela ngerjain kerjaan domestik, eh ibunya malah ngomelin si istri.
BalasHapushehehe iya ini bentuk feodalisme yang mendarah daging, orang tua harus ikut campur agar anak lakinya diturut sama isteri
HapusPatriarki di Indonesia tuh udah mendarah daging banget nget nget. Saya juga sering banget menemukan fenomena ini di sekitar lingkungan saya. Ini yang juga menjadi salah satu faktor banyak anak muda ragu untuk menikah. Soalnya saya pun gitu, hehe, teman-teman saya juga banyak yang bilang takut dengan patriarki ini.
BalasHapusNah iya, emang udah mendarah daging, sampe orang ada yang gak sadar kalo ini sebetulnya berdampak negatif...
Hapuspembahasan tentang patriarki yang fleksibel ini menarik! Konsep berbagi peran sesuai kondisi, bukan pakem kaku, benar-benar relevan. Take for granted dalam pekerjaan rumah memang sering terjadi. Intinya, komunikasi dan empati kunci utamanya!
BalasHapusYes! komunikasi dan empati jadi kunci..., tanpa empati, patriarki akan menjadi ancaman
HapusHal semacam ini memang akan menjadi riskan terjadi dalam kehidupan rumah tangga jika tidak dibicarakan sejak awal pernikahan. Komunikasi dan kompromi dari kedua belah pihak sangat penting agar rumah tangga tidak terasa berat sebelah.
BalasHapusDan karena sudah menjadi budaya, siapapun bisa mengalami ya...
HapusSetujuu bangettt. Alhamdulillah kami udah berkompromi tentang hal itu. Kami sama2 kerja, suami di luar rumah, saya di dalam rumah. Tapi kami sepakat untuk membangun rumah bersama. Dia juga membantu saya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Berperan juga menjadi madrasah buat anak2. Pokoknya semua dikomunikasikan dengan baik.
BalasHapusNah ini yang diharapkan, sehingga tidak ada istilah siapa yang berkuasa, karena sama-sama menjalankan.
HapusAku punya saudara, istrinya bekerja, suaminya mokondo dan masih disokong keluarganya. Bener2 menjengkelkan lihatnya. Semoga kita dijauhkan dari sikap2 kyk begitu.
BalasHapusDi rumahku alhamdulillah walau suami yang kerja full time tapi tetep mau bantuin ngurusin rumah. Suami juga gak nuntut istrinya kudu masak, beberes dan lain2.
Intinya komunikasi dan kompromi, memandang peran tu sama rata, gak ada salah satu yang bossy ya.
Betul mbak, komunikasi, kompromi, dan empati biar patriarki tidak merajalela.
HapusMeski budaya patriarki begitu kental di masyarakat kita, dalam keluarga, suami ngga perlu gengsi buat membantu tugas istri. Kalo kerjaan cepet selesai, semua jadi ikut senang
BalasHapusNah itu kadang gengsi mengalahkan ya, jadi ego kuat, butuh empati untuk menghilangkan itu...
Hapussalut banget sama pasangan yang bisa sama2 membagi peran di rumah. aku juga paling sebel sama orang patriarki. maklum di rumah juga cukup kental karena, yaa namanya orang tua boomers ya masih nggak bgtu paham
BalasHapusSemoga makin banyak pasangan yang sama-sama berperan satu sama lain ya...
HapusBener banget patriarki rasanya udah melekat dan membudaya. Padahal intinya rumah tangga itu tentang kerjasama atas kesepakatan bersama karena yang menjalankan itu suami dan istri. Aku pun di rumah gitu, suami selalu terlibat dalam pengasuhan. Selepas pulang kerja, waktunya bermain dengan anak. Bahkan dari bayi pun dia yang begadang mengganti popok. Hasilnya jadi lebih tenang, nggak ada yang merasa siapa yang paling banyak berkorban.
BalasHapusKeren ini, emang seharusnya ya...
HapusPatriarki ini kan membatasi peran, pilihan, dan potensi individu berdasarkan jenis kelamin ya. Gimana kalau era digital istilahnya diganti kesetaraan sesama individu? Yang kodrati memang sudah ada bagiannya namun yang barries skill sepertinya semua jenis kelamin harus bisa ambil peran
BalasHapusIni sebenernya semacam masalah dalam hubungan. Dan memang bagusnya ada kesetaraan...
HapusPerdebatan patriarki ini, saya rasakan ramainya di medsos. Sedangkan di dunia nyata, kehidupan saya dan orang-orang sekitar sangat beragam. Tapi, mungkin di tempat lain bisa berbeda, ya.
BalasHapusSaya juga mengenal beberapa keluarga yang bertukar peran. Istri bekerja, sedangkan suami yang menjadi bapak rumah tangga. Tidak mengulik lebih dalam. Tapi, saya lihat semuanya baik-baik saja.
Kalau saya sendiri, suami yang bekerja. Saya memutuskan resign ketika menikah. Tapi, suami sejak dulu selalu ikut membantu urusan rumah dan anak. Mungkin karena semua saudaranya laki-laki. Mertua juga gak punya asisten rumah tangga. Jadi, semua anaknya terbiasa ikut membantu ibunya mengurus rumah.
Betul sekali sepakat, karena apalagi sudah jadi budaya, agak susah mengubahnya. Namun mewacanakan hal ini, sedikit demi sedikit akan mengikis patriarki ketat di masa depan...
HapusSejujurnya, saya hilang respek sama suami-suami yang tidak berusaha mencari nafkah dan mengandalkan penghasilan kerja istrinya. Sudah gitu, urusan rumah masih pula harus dikerjakan oleh istri.
BalasHapusCukup banyak sepertinya yang model seperti ini teh,
HapusMenurut aku lelaki ngurus rumah tangga tidak akan mengurangi kekuasaannya loh malah justru ia semakin dihormati sebagai ayah dan sekaligus suami yang penyayang dan mengayomi keluarganya....
BalasHapusBetul sekali teh, justeru jadi contoh buat anak-anaknya kelak ya...
HapusSaya itu salut sekali kalau ada pria yang berpikiran bahwa pekerjaan rumah tidak selalu HARUS dikerjakan wanita. Tidak banyak pria yang berpikiran seperti ini di Indonesia, apalagi lingkup lingkungan yang turut njulid kalau laki-laki bekerja di luar tupoksinya. 🤧
BalasHapusTapi mungkin kalo emang laki-laki full kerja, sifat berbagi peran laki-laki dalam mengurus rumah terbatas, tapi tetap dengan penuh tanggung jawab ya mbak...
HapusSetuju ini. Walaupun istri bekerja. Jadi suami RT juga ga masalah. Yg penting rajin, dan kayanya beberapa kota udah ada kok seperti ini....
BalasHapusDi beberapa daerah Indonesia emang ada yang laki-laki full RT, justeru wanitanya yang bekerja seperti petani gitu, bapak-bapak ngasuh dan masak...
Hapussemoga semakin maju jaman, para suamipun pemikirannya ikut maju.. bahwa rumah tangga bukan saja tugas perempuan, tapi tugas bersama :)
BalasHapusAamiin, jangan semakin maju dan modern, pikirannya terus mundur ya hehe
Hapus
BalasHapusRelate banget sama realita rumah tangga zaman sekarang, di mana peran suami dan istri tuh nggak melulu harus kaku dan dibagi berdasar “kata orang”.
Yang paling aku apresiasi dari tulisan ini tuh kesadarannya... bahwa berbagi peran itu bukan karena istri cewek dan suami cowok, tapi lebih ke siapa yang lagi ada waktu dan kesempatan.
Apalagi bagian “kalau saya yang di rumah, ya saya yang ngerjain”, itu ngena banget sih. Semoga banyak laki-laki yang sadar akan perannya di rumah tangga.
"Kata orang" itu sama dengan konvensional ya mbak, jadi gak punya konsep sendiri. Padahal yang menjalankan kita sendiri bukan orang lain ya...
HapusAlhamdulillah MasyaAllah suamiku bukan tipe yng patriaki, bisa bagi tugas dengan baik. Itupun juga nyontoh dari bapakku masyaAllah
BalasHapusDulu pas nikah, pengen punya bapak, karena bapakku meninggal usia masih 10 tahun, eh pas mau nikah bapaknya calon meninggal juga...jadinya menikah gak punya bapak dua-duanya...
Hapuswah, tema yang lumayan sensitif ya. hehehe...
BalasHapussebenerny inti dari rumah tangga yang baik itu adanya komunikasi antara dua belah pihak. tak jaraang masalah yang terjadi itu berawal dari kurangnya komunikasi anatara suami dan istri.
Betul, makanya ditulis panjang lebar biar gak melulu soal kata saya hehe...
HapusSaya setuju dg konsep berbagi peran antara suami-istri dlm rumah tangga, termasuk juga dlm pengasuhan anak. Dan itu sebisa berjalan dg lancar apabila keduanya komitmen dg kesepakatan bersama tsb.
BalasHapusKarena karena yang ada di rumah bukan tanggung jawab seorang, tapi tanggung jawab dua orang....
HapusUntuk "menciptakan" seorang suami yang mengerti akan posisi istri, tugas orang tua yang mendidik anak lelakinya untuk sejak kecil menghargai wanita sebagaimana menghormati ibunya. Posisi sami mengerti istri tidak bisa disulap secara instan.
BalasHapusTidak ada lingkungan yang baik kecuali keluarga. Jadi suami yg pengertian sejatinya lahir dari keluarga yg pegertian lebih dulu.
Saya yakin Abah mendidik anak-anak untuk itu juga kan? Supaya kelak mereka jadi calon imam yg bisa menghargai dan memahami posisi istri. Apalagi dilihat dari segi ilmu agama.
Belajar bagaimana cara menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan gender, karena masih kecil-kecil teh.
HapusSuku ayah saya Semendo juga matrilineal. Tapi lucunya nenek saya dari pihak ayah tetap melarang anak dan cucu lelakinya berperan lebih aktif di lingkungan rumah. Untungnya ayah saya merantau sejak kecil dan bisa mengimplementasikan nilai Agama diatas nilai budaya dalam kehidupan berumah tangga. Jadi di keluarga saya bisa dibilang tak kental budaya patriaki maupun matrilineal-nya
BalasHapusBudaya itu mengakar kuat, jadi susah berubah, kecuali ketika masuk ke dalam budaya baru, mau tidak mau harus adaptasi juga ya....
HapusSaya setuju dengan pendapat teh Okti.
BalasHapusKarena menciptakan anak lelaki yang patriarki pastinya berasal dari keluarga yang demikian juga.
Dan aku rasa, saat ini orang lebih terbuka untuk berkomunikasi yaa.. apalagi terhadap pasangan. Kalau gak suka, bilang gak suka. Jangan ditahan-tahan dan pada akhirnya menyakiti diri sendiri.
Mungkin kebiasaan patriarki dulu menurun dari orangtua, namun kehidupan rumah tangga bukan dengan "aturan" orangtua lagi.
Jadi intinya, semua bisa dikomunikasikan dengan baik.
Tapi kalau masalah mencari nafkah, aku pernah dengar teori tentang "Rejekimu ketika menikah yaa.. pasanganmu."
Perbanyak bersabar dan bersyukur, itu uda kunci banget untuk menghindari fitnah godaan syetan.
Betul banget teh, hidup secara konvensional, meniru apa yang diturunkan orang tua dan lingkungan. Saat masuk dunia baru kita belajar hal baru juga termasuk meminimalisir budaya patriarki secara konvensional menjadi budaya kerja sama yang baru
HapusIyaya dalam berumah tangga tak perlu patrialis karena semua berperan dalam mendidik anak-anak. Kerjasama ibu dan ayah jadi kolaborasi mengesankan
BalasHapusPositive sekali artikel ini. Saya menghargai blogger yg berani mengangkat isu kesetaraan dalam rumah tangga. Suami dan istri bagaikan pakaian yg saling melengkapi, pun dengan tugas domestik bisa saling bekerja sama. Semoga banyak laki2 di luar sana yg jg menyadari bahwa kerja sama dan komunikasi dgn pasangan di dalam rumah tangga itu prlu sekali.
BalasHapusAku bersyukur diasuh oleh zaman sekarang ini. Dimana banyak kampanye antipatriarki yang akhirnya menyadarkan aku tentang banyak ketidakadilan yang diterima perempuan. Banyak laki-laki yang mulai menerjma ide kesetaraan karena patriarki ternyata juga menyakiti laki-laki.
BalasHapusSebagai seorang ibu Bekerja aku mengerti banget situasi tetangganya kak karena walau wanita itu senang bekerja tapi kalau akhirnya jadi pencari nafkah utama ya pasti capek juga karena kayak semua tugas kok jadi istri yang ambil
BalasHapusKalau dalam agama saya, laki² itu wajib mencari nafkah meskioun istrinya bekerja kewajiban mencari nafkah bagi laki² tetap melekat padanya. Naah, kalau urusan pekerjaan di rumah tangga itu berbagi saja, tidak ada kamus dalam hidup saya dan suami bahwa mencuci baju adalah tugas istri dsb, ya kita bagi² tugas saja saling pengertian diantara kami berdua. Tapi kalau urusan mencari nafkah laki² wajib bekerja yang halal apapun bentuknya sebagai bentuk tanggung jawab pada keluarga.
BalasHapusWahh andai semua laki-laki berpikir dan bertindak seperti ini soal patriarki barangkali minim percekcokan dalam keluarga... sayangnya masih lebih banyak laki-laki di sekitar kita yang berpikiran perempuan tidak boleh sejajar dengan mereka
BalasHapusZaman sudah se-modern ini, akses untuk mendapatkan informasi lebih dalam pun sudah begitu mudah tapi masih saja ada yang menganut patriarki. Semoga makin banyak orang yang memiliki pemikiran seperti abah raka, aamiin.
BalasHapusAlhamdulillah, punya suami yang mau mengambil peran melakukan pekerjaan rumah tangga juga kalau memang sedang free dan bisa bantu. Apalagi sama-sama bekerja. Pentingnya komunikasi sehat dan produktif antar pasangan ya, Kak, agar tidak saling salah paham
BalasHapus