Patriarki dalam Hubungan Rumah Tangga

Ilustrasi by AI (abahraka.com)

Posisi Suami dalam Rumah Tangga

Judulnya berat ya, seperti judul makalah riset (hehehe….), 

Tapi enggak apa-apa ya, untuk generasi milenial mungkin gak terlalu asing, bahasanya jadul banget.

Catatan ini setidaknya, ingin menggambarkan, bagaimana posisi suami dalam budaya patriarki yang tidak ketat. Berangkat dari beberapa komentar dalam tulisan Menjadi Suami, Ayah, dan Bapak Rumah Tangga.

Salah satu komentarnya adalah bahwa di Indonesia budaya yang dominan adalah patriarki yang ketat.

Apakah ketika saya menulis dua artikel menjadi suami, ayah dan bapak rumah tangga & artikel Pekerjaan Rumah Tangga yang disambil sama Bapak-bapak saya tidak menerapkan konsep patriarki?

Mungkin saja saya juga menganut sistem patriarki. Budaya ini sudah umum di Indonesia, untuk beberapa mungkin seperti di Minang atau NTT Flores ada yang menganut matriarki. Tapi mayoritas di Indonesia, Bapak Bekerja di luar, dan Ibu bekerja di rumah. Walaupun bapak berada di rumah, sepertinya jika anak nangis atau anak pengen makan, pastilah diserahkan ke Ibunya. Patriarki banget ya....

Ya, di keluarga jikga mencermati kondisi sekarang, tidak beda dengan sistem patriarki. Laki-laki bekerja dan Ibu RT mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Saya sebagai suami bertanggung jawab untuk memenuhi semua kebutuhan keluarga secara ekonomi, penuh.

Akan tetapi yang menjadi catatan saya sebagai bapak-bapak rumah tangga, ingin memberikan keleluasaan kepada isteri, untuk bisa beraktivitas selain hanya mengurus rumah tangga. Misalnya jualan atau ngajar karena kebetulan isteri memiliki kualifikasi itu. Saya bebaskan, itupun dengan beberapa catatan. Sesuai dengan kesepakatan, tidak ada konsep menitipkan anak kepada siapapun dalam jangka waktu yang panjang sebelum anak setidak-tidaknya berumur 7 tahun. Jika pun setelah 7 tahun bisa dititipkan itupun bukan karena bekerja, tapi karena ada urgensi lain.

Pengalaman Tetangga tentang Isteri Bekerja
Ilustrasi by AI (abahraka.com)

Sejak saya kuliah, saya punya tetangga, isterinya bekerja. Suaminya di rumah. Apakah suaminya memang tidak bekerja? Sebetulnya bekerja, hanya setelah resign, sang suami berusaha untuk mencari lagi. Kadang lama berada di rumah, lalu mendapatkan pekerjaan lagi. Seperti itu berulang-ulang.

Saat berada di rumah, antar sekolah, masak, dan beberapa pekerjaan rumah dikerjakan suami. Namun rupanya, kebutuhan ekonomi yang terus bertambah, sang isteri merasa kewalahan. Suami merasa asyik berada di rumah, padahal semua pekerjaan rumah dikerjaan suami. Walaupun isterinya juga sesekali belanja ke warung untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Namun lama-lama seperti bosan dan merasa berat jika suami tidak ikut memikirkan ekonomi keluarga.

Di Indonesia budaya patriarki sudah mendarah daging, agak sulit jika suami tidak bekerja dan tidak memikirkan tanggung jawab ekonomi untuk keluarga. Jadi walaupun isteri bekerja, tapi tanggung jawab ekonomi keluarga sepertinya tetap berada di tangan suami. Keluarga tetangga itu contohnya.

Karena lama tidak lagi bekerja, akhirnya isterinya menggugat suami. Berpisah. Beruntung saat itu, anak-anak seringnya diasuh oleh babysitter karena saat keduanya bekerja, anak tetap harus ada yang menjaga. Saat berpisah, anak-anak relatif sudah beranjak dewasa, kecuali yang bungsu.

Isteri Bekerja, Suami Tetap Bertanggung Jawab

Di Indonesia mungkin sudah banyak isteri yang bekerja, tapi jika suami tidak mengambil peran dan tanggung jawab ekonomi yang utama, sepertinya tidak sedikit yang berakhir seperti tetangga saya.

Isteri bekerja, harus diposisikan oleh suami bukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sekolah, dan semuanya. Namun untuk aktualisasi isteri dan kebutuhan isteri yang belum bisa dipenuhi semuanya oleh suami. Sedangkan semua kebutuhan keluarga apalagi yang berat-berat seperti sekolah dan rumah tetap harus berada di tangan suami.

Artinya, Patriarki mungkin lebih cocok, tapi dengan penyesuaian kebutuhan dan adaptasi. Patriarkinya tidak kaku. Sehingga walaupun suami yang full bertangung jawab untuk ekonomi keluarga, namun tetap mengambil peran di rumah tangga. 

Begitu juga jika isteri bekerja, suami tetap bertanggung jawab penuh untuk kebutuhan keluarga. 

Adakah konsep patriarki yang saya terapkan?

Saya sendiri sebetulnya tidak menerapkan berdasarkan pilihan, karena budaya ini sudah turun temurun. Budaya itu sudah terbentuk begitu saja. Kebetulan, sejak sebelum menikah, memang isteri tidak memilih untuk bekerja. Jika pun bekerja, tapi pekerjaan yang bisa dikerjaan dari rumah. Menjadi blogger mungkin cocok, tapi pilihannya isteri lebih suka jual-jualan yang bisa dikerjaan di dan dari rumah. Sehingga otomatis, semua pekerjaan rumah tangga isteri yang mengerjakan. Karena pilihan itu dan kebetulan berada di rumah. 

Jadi patriarki bukan suatu pemahaman, “kamu kan isteri, ya kamu dong yang mengerjakan ini itu di rumah”. Patriartik di sini lebih ke berbagi peran saja, karena isteri ada di rumah.

Saya yakin, jika posisinya saya yang tidak bekerja dan isteri yang bekerja, secara otomatis pekerjaan rumah itu akan jatuh ke tangan saya yang berada di rumah. Semua pekerjaan rumah.  Karena sudah take for granted.

Begitupun dengan sekarang, istilah take for granted mungkin tepat. Sudah terkondisikan bahwa pekerjaan rumah itu buat yang sepanjang harinya berada di rumah. Bukan karena itu adalah pekerjaan isteri.

Oleh karena itu, saat saya berada di rumah, saya memosisikan diri sebagai bapak rumah tangga, jika ada pekerjaan rumah yang masih belum terpegang. Maka saya mengambil peran itu. Contohnya, saat isteri memiliki aktivitas di luar, dan terdapat peralatan makan minum dan lainnya yang menumpuk di tempat cuci, sering – bahasanya sering ya, tidak hanya sekali, saya yang mencuci.

Begitupun, saat pakaian yang telah dicuci saya lihat masih teronggok di depan mesin, bahkan ini tiap hari saya lakukan, saya jemur, bahkan seringkali dan seringnya saya yang mengangkat jemuran tersebut. Kecuali hujan, posisi saya ada di luar, dan di rumah hanya ada isteri, berarti isteri yang mengangkat.

Dalam tulisan beberapa pekerjaan yang bisa disambil sama suami, itu adalah pekerjaan-pekerjaan yang sering dan sesekali saya kerjakan. Bahkan tiap hari juga ada. Artinya, patriarki yang ada di rumah bukan soal kamu kan isteri, kamu tugasnya ini ini dan ini di rumah.

Sekali lagi, ini hanya soal berbagi peran saja. Jika memang posisinya isteri yang bekerja dan semua pekerjaan rumah masih harus tetap isteri yang mengerjakan. Itu baru namanya patriarki.  Masihkah ada keluarga yang seperti itu? Yakin, banyak banget, tapi bukan berarti budaya ini selalu menjadi pegangan setiap keluarga. Hanya soal kesempatan dan keadaan juga ada.

Tidak Sadar Tiba-tiba

Awal pernikahan, saya juga terkondisikan dengan konsep patriarki. Walaupun penghasilan saya minim, dan seringkali pulang sore kadang pulang saat gelap, saya merasa bahwa ya silakan saja pekerjaan rumah orang rumah yang mengerjakan.

Situasi dan kondisi mengajarkan saya, bahwa seorang suami juga harus bisa mengambil peran pekerjaan di rumah. Karena tidak setiap hari berada di luar. Maka ketika ada kesempatan dan waktunya tidak sedang mengejar dateline, saya pun sesekali dan ada yang seringkali, tiap hari mungkin, mengerjakan pekerjaan rumah.

Hal tersebut sebagai bentuk tanggung jawab sebagai suami, berusaha untuk berempati. Makanya saya Tulis dalam satu artikel Menjadi suami, ayah, dan Bapak Rumah Tangga. Karena sebagai seorang suami, posisi kita tidak hanya memerankan suami, namun juga ayah di hadapan anak-anak, dan pasti Bapak Rumah Tangga saat kita sadar bahwa pekerjaan rumah itu tidak hanya tanggung jawab isteri atau ibu saja.

Jadi pada dasarnya, patriarki itu bukan konsep yang saya terapkan di rumah, hanya berbagi peran saja saat kita berada pada posisi tertentu. Walaupun ada pekerjaan-pekerjaan rumah yang satu isteri lebih dominan, yang satu suami lebih dominan, namun sama-sama pekerjaan rumah tangga, bukan soal siapa yang menafkahi. Mungkin penyebutannya semi-patriarki, walaupun tidak tepat juga.

Menciptakan Rumah Bersama, Sama-sama Mengambil Peran di Rumah

Ilustrai by AI (abahraka.com)

Pada saat artikel ini saya tulis, saya belum maksimal menjadi seorang suami, ayah, dan bapak rumah tangga. Tapi saya tidak alergi untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga bahkan termasuk pengasuhan.

Posisi kita masing-masing dalam keluarga, satu sama lain saling berkontribusi. Suami tidak diam saja, isteri juga tidak sungkan untuk berbicara dengan suami. Agar tidak saling berprasangka satu sama lain.

Isteri boleh bekerja dan berpenghasilan, tapi bukan untuk memenuhi kebutunan keluarga, hanya sebagai hiburan isteri agar tidak beku dan jenuh di rumah. sesekali jika ingin membantu keuangan keluarga bukan karena kewajiban dan tuntutan keluarga, tapi lebih karena kesadaran bahwa rumah adalah tanggung jawab bersama. Jika keduanya berkontribusi, maka keduanya merasa rumah adalah surga bersama.

Jikapun suami yang memenuhi semua kebutuhan keluarga tanpa ada campur tangan pasangan, memang itu yang seharusnya, agar bisa berbagi peran. Agar pasangan bisa fokus pada pendidikan anak yang masih masa golden age. 

Karena bagaimanapun keluarga adalah madrasah pertama dan utama bagi anak, bukan sekolah. Sehingga keduanya berperan dengan masing-masing tanggung jawabnya untuk menciptakan rumah tangga yang samwa. 

Tapi jangan lupa, bapak-bapak juga harus punya peran sebagai guru madrasah pertama di rumah ya...***[]

 




62 komentar untuk "Patriarki dalam Hubungan Rumah Tangga"

  1. Saya setuju bahwa patriaki itu sudah mendarah daging di Indonesia, kecuali wilayah yang menerapkan matrilineal. Namun hemat saya, budaya itu dibentuk oleh manusia dan tidak terjadi begitu saja, ada proses panjang membentuk pemikiran tentang pola kerja budaya patriaki. Sebenarnya akan lebih baik jika keluarga dibentuk berdasarkan kerja sama bukan siapa yang lebih, karena kalau dipikirkan kembali patriaki atau lawannya, akan menghasilkan pemikiran 'siapa yang lebih dari siapa, sehingga siapa lebih berhak atas siapa'. Saya yakin Abah pun ketika memikirkan hal ini tidak terjadi begitu saja. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya betul itu yang saya bahas, kerja sama jadi inti.

      Hapus
  2. Sejujurnya, saya nggak terlalu relate dengan patriarki dalam rumah tangga. Karena dulu, walau bapak setiap hari bekerja sebagai pencari nafkah utama, kalau pulang tetap saja ikut bantu masak, menemani kami bermain, sesekali menyuapi makan kalau saya atau adik lagi mogok makan. Bapak juga sering bantu kami belajar matematika. Makanya, kami punya memori yang indah banget dengan bapak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Faktanya, di Indonesia patriarki ini sangat kental, sehingga isu ini perlu diangkat, agar keluarga merasakan kehadiran sosok lelaki di dalamnya. Posisi laki-laki tidak hanya mencari nafkah, juga menjadi ayah dan ART sekaligus.

      Hapus
  3. Setiap rumah tangga pasti memiliki aturan sendiri dan budaya yang memang mereka berdua ciptakan. Memang peran istri dan suami perlu dibicarakan sebelum menikah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, jangan 'ya udah' gimana nanti. Perlu ada pembicaraan peran sehingga tidak berat sebelah ya

      Hapus
  4. Memang idealnya suami dan isteri saling menjaga, membantu dan melakukan pekerjaan rumah tangga berdua. Namun biasanya si bapak mencari nafkah di luar sehingga patriarki ini berjalan terus :) Win2 solution aja bagaimana baiknya diskusikan bersama. Paling sebal kalau ada orang tua atau mertua yang turut campur dan mengutamakan sang isteri yang harus selalu melayani suami tanpa henti :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makanya sudah ada cerita ya, kalo mertua sama menentu perempuan suka kurang cocok, mungkin karena itu ya suka ikut campur mbak

      Hapus
  5. Patriarki itu bahkan dilanggengkan oleh ikut campurnya mertua (ortu si suami) yang kolot patriarki juga. Misal si suami sukarela ngerjain kerjaan domestik, eh ibunya malah ngomelin si istri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe iya ini bentuk feodalisme yang mendarah daging, orang tua harus ikut campur agar anak lakinya diturut sama isteri

      Hapus
  6. Patriarki di Indonesia tuh udah mendarah daging banget nget nget. Saya juga sering banget menemukan fenomena ini di sekitar lingkungan saya. Ini yang juga menjadi salah satu faktor banyak anak muda ragu untuk menikah. Soalnya saya pun gitu, hehe, teman-teman saya juga banyak yang bilang takut dengan patriarki ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah iya, emang udah mendarah daging, sampe orang ada yang gak sadar kalo ini sebetulnya berdampak negatif...

      Hapus
  7. pembahasan tentang patriarki yang fleksibel ini menarik! Konsep berbagi peran sesuai kondisi, bukan pakem kaku, benar-benar relevan. Take for granted dalam pekerjaan rumah memang sering terjadi. Intinya, komunikasi dan empati kunci utamanya!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yes! komunikasi dan empati jadi kunci..., tanpa empati, patriarki akan menjadi ancaman

      Hapus
  8. Hal semacam ini memang akan menjadi riskan terjadi dalam kehidupan rumah tangga jika tidak dibicarakan sejak awal pernikahan. Komunikasi dan kompromi dari kedua belah pihak sangat penting agar rumah tangga tidak terasa berat sebelah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan karena sudah menjadi budaya, siapapun bisa mengalami ya...

      Hapus
  9. Setujuu bangettt. Alhamdulillah kami udah berkompromi tentang hal itu. Kami sama2 kerja, suami di luar rumah, saya di dalam rumah. Tapi kami sepakat untuk membangun rumah bersama. Dia juga membantu saya mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Berperan juga menjadi madrasah buat anak2. Pokoknya semua dikomunikasikan dengan baik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah ini yang diharapkan, sehingga tidak ada istilah siapa yang berkuasa, karena sama-sama menjalankan.

      Hapus
  10. Aku punya saudara, istrinya bekerja, suaminya mokondo dan masih disokong keluarganya. Bener2 menjengkelkan lihatnya. Semoga kita dijauhkan dari sikap2 kyk begitu.
    Di rumahku alhamdulillah walau suami yang kerja full time tapi tetep mau bantuin ngurusin rumah. Suami juga gak nuntut istrinya kudu masak, beberes dan lain2.
    Intinya komunikasi dan kompromi, memandang peran tu sama rata, gak ada salah satu yang bossy ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mbak, komunikasi, kompromi, dan empati biar patriarki tidak merajalela.

      Hapus
  11. Meski budaya patriarki begitu kental di masyarakat kita, dalam keluarga, suami ngga perlu gengsi buat membantu tugas istri. Kalo kerjaan cepet selesai, semua jadi ikut senang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu kadang gengsi mengalahkan ya, jadi ego kuat, butuh empati untuk menghilangkan itu...

      Hapus
  12. salut banget sama pasangan yang bisa sama2 membagi peran di rumah. aku juga paling sebel sama orang patriarki. maklum di rumah juga cukup kental karena, yaa namanya orang tua boomers ya masih nggak bgtu paham

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga makin banyak pasangan yang sama-sama berperan satu sama lain ya...

      Hapus
  13. Bener banget patriarki rasanya udah melekat dan membudaya. Padahal intinya rumah tangga itu tentang kerjasama atas kesepakatan bersama karena yang menjalankan itu suami dan istri. Aku pun di rumah gitu, suami selalu terlibat dalam pengasuhan. Selepas pulang kerja, waktunya bermain dengan anak. Bahkan dari bayi pun dia yang begadang mengganti popok. Hasilnya jadi lebih tenang, nggak ada yang merasa siapa yang paling banyak berkorban.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keren ini, emang seharusnya ya...

      Hapus
  14. Patriarki ini kan membatasi peran, pilihan, dan potensi individu berdasarkan jenis kelamin ya. Gimana kalau era digital istilahnya diganti kesetaraan sesama individu? Yang kodrati memang sudah ada bagiannya namun yang barries skill sepertinya semua jenis kelamin harus bisa ambil peran

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini sebenernya semacam masalah dalam hubungan. Dan memang bagusnya ada kesetaraan...

      Hapus
  15. Perdebatan patriarki ini, saya rasakan ramainya di medsos. Sedangkan di dunia nyata, kehidupan saya dan orang-orang sekitar sangat beragam. Tapi, mungkin di tempat lain bisa berbeda, ya.

    Saya juga mengenal beberapa keluarga yang bertukar peran. Istri bekerja, sedangkan suami yang menjadi bapak rumah tangga. Tidak mengulik lebih dalam. Tapi, saya lihat semuanya baik-baik saja.

    Kalau saya sendiri, suami yang bekerja. Saya memutuskan resign ketika menikah. Tapi, suami sejak dulu selalu ikut membantu urusan rumah dan anak. Mungkin karena semua saudaranya laki-laki. Mertua juga gak punya asisten rumah tangga. Jadi, semua anaknya terbiasa ikut membantu ibunya mengurus rumah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali sepakat, karena apalagi sudah jadi budaya, agak susah mengubahnya. Namun mewacanakan hal ini, sedikit demi sedikit akan mengikis patriarki ketat di masa depan...

      Hapus
  16. Sejujurnya, saya hilang respek sama suami-suami yang tidak berusaha mencari nafkah dan mengandalkan penghasilan kerja istrinya. Sudah gitu, urusan rumah masih pula harus dikerjakan oleh istri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cukup banyak sepertinya yang model seperti ini teh,

      Hapus
  17. Menurut aku lelaki ngurus rumah tangga tidak akan mengurangi kekuasaannya loh malah justru ia semakin dihormati sebagai ayah dan sekaligus suami yang penyayang dan mengayomi keluarganya....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali teh, justeru jadi contoh buat anak-anaknya kelak ya...

      Hapus
  18. Saya itu salut sekali kalau ada pria yang berpikiran bahwa pekerjaan rumah tidak selalu HARUS dikerjakan wanita. Tidak banyak pria yang berpikiran seperti ini di Indonesia, apalagi lingkup lingkungan yang turut njulid kalau laki-laki bekerja di luar tupoksinya. 🤧

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tapi mungkin kalo emang laki-laki full kerja, sifat berbagi peran laki-laki dalam mengurus rumah terbatas, tapi tetap dengan penuh tanggung jawab ya mbak...

      Hapus
  19. Anonim27/5/25

    Setuju ini. Walaupun istri bekerja. Jadi suami RT juga ga masalah. Yg penting rajin, dan kayanya beberapa kota udah ada kok seperti ini....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di beberapa daerah Indonesia emang ada yang laki-laki full RT, justeru wanitanya yang bekerja seperti petani gitu, bapak-bapak ngasuh dan masak...

      Hapus
  20. semoga semakin maju jaman, para suamipun pemikirannya ikut maju.. bahwa rumah tangga bukan saja tugas perempuan, tapi tugas bersama :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, jangan semakin maju dan modern, pikirannya terus mundur ya hehe

      Hapus

  21. Relate banget sama realita rumah tangga zaman sekarang, di mana peran suami dan istri tuh nggak melulu harus kaku dan dibagi berdasar “kata orang”.

    Yang paling aku apresiasi dari tulisan ini tuh kesadarannya... bahwa berbagi peran itu bukan karena istri cewek dan suami cowok, tapi lebih ke siapa yang lagi ada waktu dan kesempatan.

    Apalagi bagian “kalau saya yang di rumah, ya saya yang ngerjain”, itu ngena banget sih. Semoga banyak laki-laki yang sadar akan perannya di rumah tangga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. "Kata orang" itu sama dengan konvensional ya mbak, jadi gak punya konsep sendiri. Padahal yang menjalankan kita sendiri bukan orang lain ya...

      Hapus
  22. Alhamdulillah MasyaAllah suamiku bukan tipe yng patriaki, bisa bagi tugas dengan baik. Itupun juga nyontoh dari bapakku masyaAllah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dulu pas nikah, pengen punya bapak, karena bapakku meninggal usia masih 10 tahun, eh pas mau nikah bapaknya calon meninggal juga...jadinya menikah gak punya bapak dua-duanya...

      Hapus
  23. wah, tema yang lumayan sensitif ya. hehehe...
    sebenerny inti dari rumah tangga yang baik itu adanya komunikasi antara dua belah pihak. tak jaraang masalah yang terjadi itu berawal dari kurangnya komunikasi anatara suami dan istri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, makanya ditulis panjang lebar biar gak melulu soal kata saya hehe...

      Hapus
  24. Saya setuju dg konsep berbagi peran antara suami-istri dlm rumah tangga, termasuk juga dlm pengasuhan anak. Dan itu sebisa berjalan dg lancar apabila keduanya komitmen dg kesepakatan bersama tsb.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena karena yang ada di rumah bukan tanggung jawab seorang, tapi tanggung jawab dua orang....

      Hapus
  25. Untuk "menciptakan" seorang suami yang mengerti akan posisi istri, tugas orang tua yang mendidik anak lelakinya untuk sejak kecil menghargai wanita sebagaimana menghormati ibunya. Posisi sami mengerti istri tidak bisa disulap secara instan.

    Tidak ada lingkungan yang baik kecuali keluarga. Jadi suami yg pengertian sejatinya lahir dari keluarga yg pegertian lebih dulu.

    Saya yakin Abah mendidik anak-anak untuk itu juga kan? Supaya kelak mereka jadi calon imam yg bisa menghargai dan memahami posisi istri. Apalagi dilihat dari segi ilmu agama.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belajar bagaimana cara menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan gender, karena masih kecil-kecil teh.

      Hapus
  26. Suku ayah saya Semendo juga matrilineal. Tapi lucunya nenek saya dari pihak ayah tetap melarang anak dan cucu lelakinya berperan lebih aktif di lingkungan rumah. Untungnya ayah saya merantau sejak kecil dan bisa mengimplementasikan nilai Agama diatas nilai budaya dalam kehidupan berumah tangga. Jadi di keluarga saya bisa dibilang tak kental budaya patriaki maupun matrilineal-nya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Budaya itu mengakar kuat, jadi susah berubah, kecuali ketika masuk ke dalam budaya baru, mau tidak mau harus adaptasi juga ya....

      Hapus
  27. Saya setuju dengan pendapat teh Okti.
    Karena menciptakan anak lelaki yang patriarki pastinya berasal dari keluarga yang demikian juga.

    Dan aku rasa, saat ini orang lebih terbuka untuk berkomunikasi yaa.. apalagi terhadap pasangan. Kalau gak suka, bilang gak suka. Jangan ditahan-tahan dan pada akhirnya menyakiti diri sendiri.

    Mungkin kebiasaan patriarki dulu menurun dari orangtua, namun kehidupan rumah tangga bukan dengan "aturan" orangtua lagi.

    Jadi intinya, semua bisa dikomunikasikan dengan baik.

    Tapi kalau masalah mencari nafkah, aku pernah dengar teori tentang "Rejekimu ketika menikah yaa.. pasanganmu."

    Perbanyak bersabar dan bersyukur, itu uda kunci banget untuk menghindari fitnah godaan syetan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul banget teh, hidup secara konvensional, meniru apa yang diturunkan orang tua dan lingkungan. Saat masuk dunia baru kita belajar hal baru juga termasuk meminimalisir budaya patriarki secara konvensional menjadi budaya kerja sama yang baru

      Hapus
  28. Iyaya dalam berumah tangga tak perlu patrialis karena semua berperan dalam mendidik anak-anak. Kerjasama ibu dan ayah jadi kolaborasi mengesankan

    BalasHapus
  29. Positive sekali artikel ini. Saya menghargai blogger yg berani mengangkat isu kesetaraan dalam rumah tangga. Suami dan istri bagaikan pakaian yg saling melengkapi, pun dengan tugas domestik bisa saling bekerja sama. Semoga banyak laki2 di luar sana yg jg menyadari bahwa kerja sama dan komunikasi dgn pasangan di dalam rumah tangga itu prlu sekali.

    BalasHapus
  30. Aku bersyukur diasuh oleh zaman sekarang ini. Dimana banyak kampanye antipatriarki yang akhirnya menyadarkan aku tentang banyak ketidakadilan yang diterima perempuan. Banyak laki-laki yang mulai menerjma ide kesetaraan karena patriarki ternyata juga menyakiti laki-laki.

    BalasHapus
  31. Sebagai seorang ibu Bekerja aku mengerti banget situasi tetangganya kak karena walau wanita itu senang bekerja tapi kalau akhirnya jadi pencari nafkah utama ya pasti capek juga karena kayak semua tugas kok jadi istri yang ambil

    BalasHapus
  32. Kalau dalam agama saya, laki² itu wajib mencari nafkah meskioun istrinya bekerja kewajiban mencari nafkah bagi laki² tetap melekat padanya. Naah, kalau urusan pekerjaan di rumah tangga itu berbagi saja, tidak ada kamus dalam hidup saya dan suami bahwa mencuci baju adalah tugas istri dsb, ya kita bagi² tugas saja saling pengertian diantara kami berdua. Tapi kalau urusan mencari nafkah laki² wajib bekerja yang halal apapun bentuknya sebagai bentuk tanggung jawab pada keluarga.

    BalasHapus
  33. Wahh andai semua laki-laki berpikir dan bertindak seperti ini soal patriarki barangkali minim percekcokan dalam keluarga... sayangnya masih lebih banyak laki-laki di sekitar kita yang berpikiran perempuan tidak boleh sejajar dengan mereka

    BalasHapus
  34. Zaman sudah se-modern ini, akses untuk mendapatkan informasi lebih dalam pun sudah begitu mudah tapi masih saja ada yang menganut patriarki. Semoga makin banyak orang yang memiliki pemikiran seperti abah raka, aamiin.

    BalasHapus
  35. Alhamdulillah, punya suami yang mau mengambil peran melakukan pekerjaan rumah tangga juga kalau memang sedang free dan bisa bantu. Apalagi sama-sama bekerja. Pentingnya komunikasi sehat dan produktif antar pasangan ya, Kak, agar tidak saling salah paham

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung, tunggu kunjungan balik saya ya...